Sumber Gambar: https://khazanah.republika.co.id |
“PERGOEROEAN MOESLIM
Boekit Tinggi
Menerima moerid baroe poetera dan poeteri bahagian Tsanawijah dan Ibtidaij[a]h
“Sjarat moerid jang diterima”
- Bahagian Tsanawijah jang telah tamat klas IV Thawalib, Dinijah, Tarbijah dan jang sama dengan dia.
- Wang masoek boeat moerid baroe f 1,50 bajar dimoeka beserta dengan soerat keterangan.
- Wang sekolah seboelan f 1 – bajar dimoeka dan boleh djoega sekali bajar boeat setahoen atau berkwartal.
- Bahagian Ibtidaijah: jang tahoe toelis batja hoeroef Arab dan jang telah tamat sekolah klas doea atau klas IV H.I.S. atau jang sama dengan dia.
- Wang masoek f 1. Disertakan dengan soerat keterangan.
- Wang sekolah seboelan f 0,75 bajar dimoeka.
Moerid jang datang dari djaoeh diwadjibkan tinggal diinternaat, boeat poetera dan boeat poeteri jang didjaga dengan rapi.
Pembajaran internaat dengan penerangan dan air f 1- boeat seorang dalam seboelan.
Kalau dengan makan doea kali sehari dan pagi dapat teh, tambah f 4
– lagi, pembajaran dimoeka. Perkakas tempat tidoer tanggoeng sendiri.
Siapa jang berkepentingan boleh beroeroesan dengan Directeur “Pergoeroean Moeslim”, Landbouwweg No. 80 Boekit Tinggi.”
***
Iklan pendidikan yang disalin dari surat kabar Sinar Sumatra, No. 2, Tahoen ke 32, Hari Djoemahat 3 Januari 1936/4 Tjap Dji Gwee 2486 -8 Sjawal 1354.
Melalui iklan ini dan berita-berita terkait semasa yang banyak
disiarkan dalam media-media vernakular dapat dikesan beberapa hal
mengenai dunia pendidikan di Sumatera Barat/Minangkabau pada tahun tahun
1920-an dan 30-an.
Pertama, sekolah-sekolah yang bersifat keislaman berkembang di tengah
penetrasi sekolah-sekolah sekuler yang diperkenalkan dan disokong
secara moral dan finansial oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Sebagaimana sudah sama diketahui, orang Minangkabau, paling tidak di
wilayah-wilayah tertentu, khususnya di Koto Gadang, sangat antusias
menerima sistem pendidikan ala Eropa (lihat Elizabeth E. Graves, The Minangkabau response to Dutch colonial rule in the nineteenth century. Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, 1981).
Sebagai etnis penganut agama Islam, tampaknya sebagian orang
Minangkabau menganggap pendidikan sekuler itu membahayakan masyarakat,
dalam arti akan membawa pengaruh keduniawian atau sekularisme dalam
masyarakat. Oleh sebab itu perlu adanya imbangan terhadapnya dengan
mengembangkan pendidikan yang tetap berpijak pada keislaman.
Maka berkembanglah di banyak nagari di Minangkabau sekolah-sekolah agama seperti Tsanawiyah, Diniyah, Thawalib, Tarbiyah, Ibtidaiyah, Muallimin,
dan lain-lain. Bermunculan pula tokoh-tokoh pendidik yang berciri
keislaman, baik laki-laki maupun perempuan, seperti Zainuddin Labay,
Rahmah El Yunisiyah, dll.
Kedua, kehadiran sekolah agama ini memberi peluang lebih besar kepada
anak perempuan Minangkabau untuk mengecap pendidikan. Mereka
berlomba-lomba dengan anak laki-laki dalam mengejar kemajuan. Bahkan,
berkat sekolah-sekolah agama tersebut, pada tahun 1930an sudah ada
remaja putri Minangkabau yang pergi ke Universitas Al Azhar di Kairo,
Mesir, untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Namun, ternyata sekolah-sekolah agama tersebut mengadopsi hal-hal
tertentu dalam sistem pendidikan sekuler ala Eropa itu. Demikianlah
umpamanya, mereka juga mengajarkan bahasa Belanda, bahasa Inggris, ilmu
berhitung, ilmu alam, dll.
Dengan kata lain, terjadi proses peniruan. Sebagaimana dapat dikesan dari iklan di atas, peniruan itu juga menyangkut treatment terhadap pelajar: sekolah-sekolah agama tersebut juga memakai sistem internaat (pengasramaan) yang sudah lebih dulu diterapkan di Kweekschool (Sekolah Raja) Fort de Kock.
Demikianlah, melalui banyak iklan mengenai sekolah-sekolah yang
dikelola oleh PERGOROEAN MOESLIM seperti di atas, dan juga dari banyak
laporan media semasa, dapat disimpulkan bahwa sepanjang paroh pertama
abad ke-20 terjadi dinamika pendidikan di Minangkabau di mana sistem
pendidikan sekuler ala Eropa ‘dihadang’ oleh sistem pendidikan yang
berbasis keislaman. Kedua sistem pendidikan ini saling berhadapan, yang
merefleksikan proses pendefinisian yang terus-menerus identitas
keminangan di tengah perubahan zaman. Kiranya menarik untuk mengkaji hal
ini secara lebih mendalam dalam perspektif sejarah sosial.
Dr. Suryadi – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 29 September 2019
___________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri: niadilova.wordpress.com