Foto: https://langgam.id |
Batik di Sumbar Lahir Sejak Abad ke-13 Masehi
Langgam.id – Tradisi membatik di Sumatra Barat (Sumbar) sudah berlangsung sejak abad ke-13 Masehi. Hingga hari ini, sejarah batik Sumbar diasumsikan sudah melewati 5 periodisasi. Hal ini dijelaskan Herwandi saat orasi ilmiah, ketika ia dikukuhkan
sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (Unand)
dalam rapat majelis guru besar Unand di Gedung Convention Hall, Senin
(7/10/2019).
Hasil penelitiannya menyatakan bahwa tradisi menggambar di atas kain
dengan canting merupakan asli budaya Indonesia. Meski pun ada negara
lain yang juga punya tradisi membatik. Menurutnya, batik di Sumbar
dipengaruhi sejarah para raja dan kesultanan di pulau Jawa. “Pusat pesebaran batik di Indonesia bermula di pulau Jawa, termasuk penyebaran ke Sumbar,” katanya.
Ia menjelaskan, batik tiba di Sumbar diperkirakan sekitar abad ke-13.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya patung amoghapasa di
Dharmasraya. Patung itu dikirim dari Jawa oleh raja Singosari
Kertanegara ke Dharmasraya ketika terjadi peristiwa Pamalayu pada tahun
1298.
“Amoghapasa merepsentasikan seorang tokoh yang memakai carik yang
bermotif batik. Disekitarnya juga ditemukan gerabah yang dihiasi pola
bungaan yang juga jadi pola hiasan batik di Jawa,” ujarnya.
Batik pada periode kedua terjadi pada abad ke-16. Seni batik terlihat
di pusat kekuasaan kerajaan Pagaruyung. Batik diperdagangkan tidak
hanya dari Jawa bahkan juga ke Cina. Mundurnya kerajaan Pagaruyung turut
memundurkan seni batik.
Periode selanjutnya pada masa penjajahan Belanda. Saat itu, penjajah
menghentikan pasokan kain batik dari Jawa. Kondisi ini membuat sejumlah
pedagang mulai memproduksi batik sendiri.
Periode keempatnya pada masa awal kemerdekaan. Saat itu, tercatat
sejumlah pengusaha batik di Pariaman, Payakumbuh. Sejumlah kota-kota
lain juga sudah memiliki sentra batik. Hingga pada tahun 1994 tidak lagi
jelas perkembangannya.
Industri batik dapat angin segar pada akhir abad ke-20. Usaha dari
Gubernur Sumbar, Hasan Basri Durin (1987-2997) bersama istrinya kembali
menghidupkan industri batik di Sumbar. Hasan Basri memotivasi pengrajin
batik dengan mengirimkan mereka belajar ke Jogjakarta pada tahun 1994.
“Sejak saat itu muncul sejumlah orang-orang yang berminat untuk mengembangkan batik sampai saat ini,” katanya.
Menurutnya, masih banyak peluang untuk usaha batik di Sumbar. Sebagai
industri kreatif, masih banyak kekurangan SDM. Kadang karena tidak
mampu memenuhi pesanan pasar, malah memesan ke sentra produksi batik di
Jawa.
“Permintaan pasar sebetulnya jauh lebih besar dari permintaan yang ada, namun tidak terpenuhi oleh produksi lokal,” ujarnya. (Rahmadi/RC)
Tulisan asli dapat dilihat di:
Tulisan asli dapat dilihat di:
Persembahan 42 Motif Batik Minang dari Guru Besar Unand
Langgam.id –
Sumatra Barat (Sumbar) memiliki banyak motif arkaik (kuno) dari
perkembangan adat Minangkabau. Sebagai usaha melestarikannya, dapat
dilakukan revitalisasi motif tersebut ke dalam bentuk baru.
Motif itu bisa dipakai pada benda-benda fungsional baru. Meski
dipakai media yang baru atau kemudian ada motif baru, nilai-nilai
filosofinya harus tetap dipertahankan. Usaha pelestarian itu dilakukan
Herwandi dengan menciptakan motif baru pada baju batik khas Minangkabau.
Ia menyampaikan itu saat dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas di Convention Hall Unand, Padang, Senin (7/10/2019).
Sejak tahun 2017, Herwandi telah mencatatkan 42 motif batik baru.
Semuanya telah dipatenkan. 36 motif di antaranya pengembangan dari motif
khas Minangkabau dan 6 lagi merupakan pengembangan motif dari Aceh.
“Saya ambil dari artefak seni juga, masih ada yang dalam proses
sekitar 60 lagi. Kita tidak akan kehabisan ide karena masih banyak yang
bisa dikembangkan,” katanya.
Menurutnya, motif di batik Minang diambil dari nama tumbuhan, hewan,
benda, nama manusia dan lainnya. Batik Minang juga harus sesuai dengan
nilai adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah. Seperti tidak
boleh menggambarkan mahluk hidup dengan jelas.
“Ini yang banyak salah mengerti, batik Minang tidak boleh
menggambarkan mahkluk hidup, hal ini sesuai dengan seni dalam Islam,”
ujarnya.
Dalam pengukuhan itu, ia juga memperlihatkan beberapa model yang
memakai batik motif ciptaannya. Di antaranya, motif Menhir Pucuk Pakis,
Garundang Mandi, Kabek Daun Kacang, Ayam Balatiang, Ayam Jantan,
Layang-layang, Sakilek Ikan Dalam Aie, Tirai Bungo Paga, Balam Tigo
Gayo, dan Daun Puluik Puluik. (Rahmadi/RC)
Tulisan asli dapat dilihat di:
https://langgam.id/persembahan-42-motif-batik-minang-dari-guru-besar-unand/
https://langgam.id/persembahan-42-motif-batik-minang-dari-guru-besar-unand/
Bertentangan Dengan Adat, Batik Minang Jangan Pakai Motif Mahkluk Hidup
Langgam.id –
Kain batik khas Minangkabau seharusnya tidak bermotif makhluk hidup.
Sebab, hal itu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai adat
Minangkabau. Namun seringkali tidak dipahami masyarakat Minang itu
sendiri.
Hal ini dipaparkan Herwandi dalam orasi ilmiah ketika ia dikukuhkan menjadi Guru
Besar Tetap dalam bidang Arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Andalas (Unand) dalam rapat majelis guru besar Unand di Gedung
Convention Hall, Senin (7/10/2019). Orasi ilmiahnya berjudul “Arkeologi Seni: Pola Hias Minangkabau dari Artefak Seni ke Motif Batik Kreatif di Sumatra Barat”.
Ia mengatakan, banyak masyarakat yang tidak mengerti filosofi adat
Minangkabau. Contohnya motif layang-layang dibuat burung nyata. Lalu,
alang babega dibuat gambar elang nyata.
Ada juga yang menggambarkan kuda pedati dengan kuda nyata, kemudian
kabau padati juga demikian. “Itu sebenarnya tidak boleh dalam adat.
Sebab, tradisi Minang itu abstrak, seninya berlandaskan Islam yang tidak
boleh menggambarkan makhluk hidup secara natural. Jadi Islam yang
menentukan,” katanya.
Ia mengaku telah memberikan pemahaman kepada sejumlah pengrajin
batik. Namun, banyak yang tidak mau mengubah motifnya dengan alasan
permintaan pasar butuh menggambar makhluk hidup.
“Saya sudah katakan, tapi mereka bilang orang minta kayak gitu pak.
Ya gimana lagi, yang jelas itu tidak sesuai dengan adat Minangkabau,”
ujarnya.
Menurutnya, filosofi adat Minangkabau yang mengikuti Islam bahwa seni
tidak boleh menggambarkan binatang. Hal ini mungkin saja berbeda dengan
batik dari daerah lain yang memiliki motif binatang.
“Intinya kalau ada yang buat pakai gambar binatang berarti mereka
tidak mengerti adat Minang, kalau selain Minang terserah mereka lah,”
katanya.
Ia berharap agar masyarakat memahami hal ini, bahwa tidak ada
pengambaran binatang secara nyata dalam motif pola hiasan dalam adat
Minangkabau.
Menurutnya, pola hias di Minangkabau berdasarkan nama tumbuhan
seperti Aka Cino Sagagang, Aka Badaun, Aka Bapilin dan lainya. Sedangkan
pola hias berdasarkan nama binatang yaitu Ayam Mancotok, Gajah
Badorong, Itiak Pulang Patang dan masih banyak lainnya. (Rahmadi/RC)
Tulisan asli dapat dilihat di:
https://langgam.id/bertentangan-dengan-adat-batik-minang-jangan-pakai-motif-mahkluk-hidup/
https://langgam.id/bertentangan-dengan-adat-batik-minang-jangan-pakai-motif-mahkluk-hidup/