Tulisn ini disalin dari aswilblog.wordpress.com silahkan klik tautan pada akhir tulisan untuk menuju ke blog tersebut.
[caption id="" align="alignleft" width="211"] Picture: Here[/caption]
Artikel ini ditujukan bagi generasi muda Indonesia yang mungkin belum banyak tahu atau bahkan belum pernah mendengar satu diantara sejumlah tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang seolah tenggelam dengan berlalunya sang waktu.
Dr. Abdul Halim yang pernah menjabat Perdana Menteri RI di Yogyakarta dan Menteri Pertahanan NKRI Pertama di tahun 1950 merupakan satu diantara 3 tokoh alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang “dinobatkan” oleh ILUNI FK sebagai tokoh Salemba 6 yang memiliki "nilai kejoangan" yang patut diteladani. Dua tokoh lainnya adalah dr. Abdurrahman Saleh (pendiri RRI dan perintis AURI) dan dr. Darma Setiawan, yang pernah menjadi Menteri Kesehatan di kabinet Sjahrir dan direktur kedua CBZ (kini RSCM).
Cuplikan dibawah ini diambil dari buku sejarah lisan yang diterbitkan secara terbatas oleh Arsip Nasional R.I. pada tgl kelahiran alm. dr. Halim, 27 Desember 1981 yang diberi judul Diantara Hempasan dan Benturan,kenang-kenangan dr. Abdul Halim 1942-1950.
Semoga ada manfaatnya.
===================================================
I. GERAKAN BAWAH TANAH.
Red : (Pada pertemuan yang pertama pewawancara membacakan Riwayat Hidup Pengkisah, dan setelah itu baru dilanjutkan dengan wawancara. Riwayat hidup tersebut dapat dilihat di bagian belakang buku).
T : Selamat sore pak Halim. Tadi telah dibacakan riwayat singkat Bapak, dalam bidang sosial, pendidikan dan kedokteran, dan dalam bidang politik. Pada kali ini kami ingin Bapak memberikan keterangan tentang [aktivitas bapak] pada jaman Jepang. Dalam curriculum vitae itu Bapak menyebut tentang kegiatan Bapak di dalam masalah kesehatan dan rumah-sakit. Nah, kalau boleh kami mohon dulu keterangan mengenai kegiatan-kegiatan Bapak yang berhubungan dengan kesehatan, atau lebih dikhususkan lagi selama Bapak memimpin RSUP di jaman Jepang. Jadi bisa mulai misalnya di mana Bapak ketika Jepang masuk, dan kemudian Bapak teruskan sampai masa Bapak menjadi wakil pimpinan rumah-sakit.
J : Ya. Ketika Jepang masuk saya bekerja di rumah sakit. Saya dan kawan-kawan menerima Jepang itu dengan bermacam-macam perasaan. Ada dengan perasaan yang sedikit senang, karena orang Barat dapat dikalahkan oleh orang Asia. Tapi pada saya dan beberapa kawan, timbul pikiran bahwa mungkin penjajahan yang satu hanya diganti penjajahan yang lain. Dan memang tidak lama Jepang masuk, Direktur [rumah-sakit orang] Belanda dr. Bochart di internir. Dan penguasa Jepang pada waktu itu mengangkat seorang pemimpin, Prof. Dr. Asikin almarhum. Apa [saudara] kenal dengan dokter Asikin, orang Sumedang.
T: Kenal namanya saja pak…
J : Wah, seorang internis terkemuka. Anaknya menjadi seorang jenderal. Yang mengangkat Jepang, besluitnya ada pada saya. Tidak lama [kemudian] saya diangkat sebagai wakil pemimpin kedua, di bawah Prof. Asikin. Kita membagi(berhenti sejenak) kewajiban. Pada rapat tiga kali seminggu, Prof. Asikin lebih banyak memperdalam soal medis sedikit, dan saya diberi tiga kali seminggu, dan itu saya pakai untuk medis sedikit, tapi sesudah itu (berpikir sejenak) kalau saya katakan ceramah tidak benar, tetapi berdiskusi tentang issu-issu politik. Sebab sejak Jepang mulai [berkuasa] saya sudah mulai mendengarkan ke sana(sambil menunjuk kearah barat) dengan almarhum Prof. Sutomo Tjokronegoro, mendengarkan radio Allied Forces (sekutu). (Berhenti sejenak), Supaya saudara tidak salah paham, banyak dari kita yang tua itu, mula-mula betul-betul [merasa] “wah Jepang itu baik, Jepang itu akan menang.”
T: Itu dari Australia ya’?
J: Australia, dan juga BBC. Jadi beberapa orang dari kami, sejak mula sudah sak wasangka terhadap apa yang Jepang inginkan. Nah, ini antara lain dibuktikan ketika Jepang sudah setahun berkuasa, mereka mulai unjuk gigi. Mereka datang dengan satu team dokter dan ditaroh di kamar Prof. Asikin, seorang Jepang untuk mengepalai [rumah sakit]
T: Jadi dr. Asikin sebagai apa lagi?
J : Ya berhenti deh. Dia kan sebagai internis. Nah ketika itulah saya ditawarkan untuk menjadi direktur di Madiun; saya tidak mau terima. Saya bilang, kalau tuan-tuan betul-betul datang ke sini untuk membantu kami ke arah kemerdekaan, maka apa perlunya Jepang di sini, dalam rumah sakit ini, yang kami sendiri telah buktikan dapat memimpinnya. Nah saya dikasi waktu 24 jam untuk menerimanya oleh direktur Jepang.
T: Direkturnya namanya siapa.
J: Lupa saya.
T: Apa bukan Prof. Itagaki…
J : Prof Itagaki adalah Gakuco atau Dekan. Saya diangkat oleh Dekan. Rumah sakit itu di bawah Ikadaigakuco. Prof. Itagaki itu adalah seorang yang berpangkat tinggi.
T: Jadi yang pertama kali mengangkat Bapak dan Prof. Asikin di rumah-sakit itu siapa?
J: Yang mengangkat adalah Prof. Itagaki. Prof. Itagaki termasuk orang Jepang yang mempunyai pandangan enlightened, progressif terhadap Indonesia. Lain dengan orang Jepang belakangan ini, hanya ingin menjajah saja. Mereka yang datang belakangan khusus dari Tokyo University. Saya dipanggil oleh Prof. Itagaki. Saya ceritakan, dengan cara begini I lost confidence in you, kepercayaan saya hilang samasekali, saya bilang, dengan tindakan serupa itu. Beliau diam saia. Beliau sudah tua. Dia tahu bagaimana kerja saya. Dia bilang, “Kamu harus hati-hati, kepada saya boleh bicara begitu, tetapi tidak kepada orang Jepang lainnya.” Sudah itu, Jepang mulai kasih lihat giginya, kami diharuskan belajar bahasa Jepang.
T: Apa saja tindakan yang diharuskan kepada orang Indonesia pada waktu itu?
J: Ooooo, kalau ketemu dokter Jepang di jalan jalan di rumah sakit kirei gitu
T: Semacam itu Bapak tidak bisa.
J : Tidak bisa, sebab ini belum terjadi sebelum Jepang masuk, artinya belum de facto. Kita sudah dengar bahwa Jepang akan masuk, tapi sebelum itu terjadi sudah ada event, kejadian. Direktur yang akan datang itu dibawa oleh penterjemah ke kamar saya, kamar direktur. Saya katakan, kalau saya pergi ke Prof. Itagaki saya mesti kirei [kalau] masuk kamar. Dan mereka saya suruh juga begitu. Dan memang itu mereka laksanakan (berhenti sejenak). Dan setelah saya dengar apa yang akan terjadi, sudah tahu dan saya lebih dahulu menganalisa keadaan. Jelas tidak kuat kelompok yang enlightened, yang ingin Indonesia merdeka. Barangkali hanya 1%, yang lain memang menginginkan Asia Timur Raya. Kalau toh ada, tadi sudah saya katakan, sudah kurang sreg. Maka itu saya ajarkan para dokter saya, kalau melihat dokter Jepang, putar saja jalan lain, tidak usah pakai kirei toh. Nah, akhirnya saya dipanggil lagi oleh Prof. Itagaki. “Sebetulnya tanggal 29 April ini dr. Harim ini akan mendapat bintang, seorang muda sudah bisa memimpin rumah-sakit. Tapi karena kelakuannya anti Jepang etc, maka tidak jadi. Saudara beruntung masih ada saya. Kalau tidak, saudara akan ditangkap.” Itu kata Prof. Itagaki di rumah-sakit. Karena saya mendengar radio, saya isi; ini keadaan, ini keadaan. (Suara rekaman terganggu karena suara anjing).
T: [Jadi ada permohonan agar bapak dipertahankan sebagai wakil kepala]
J : Ya. Dus kita berapa orang kira-kira itu, lima puluh orang dokter. Saya memang, kalau boleh disebut, dibutuhkan pula oleh Jepang di bidang olahraga. Saya dulu olahragawan. Disebut dulu Gelora, yang merupakan top organisasi-organisasi olahraga di Oman Jepang yang dikoordinasikan di bawah Putera. Saya berempat waktu itu [ditunjuk] , yaitu Otto Iskandardinata, Azis Saleh, saya, dan satu lagi saya lupa. Pada suatu ketika Gelora ini diubah namanya jadiTaiikukai, sejalan dengan perubahan Putera jadi Jawa Hokokai. Saya tidak setuju Putera jadi Jawa Hokokai, pendeknya sudah kelihatan itu maksudnya. Saya tidak mau terima. Saya pergi ke Bung Karno di Jalan Sunda. Beliau ‘kan Ketua Jawa Hokokai (Sambil mengetok meja). Saya bilang, tidak bisa. Tapi Bung Karno tidak percaya pada saya. Tapi untuk rumah-sakit saya kasih bukti. Lho apa yang terjadi di luar tidak kelihatan. Jadi sudah itu saya exit, dalam arti kata bukan exit. Saya pindah ke laboratorium.
T: Tadinya bagian THT.
J: Tidak, THT dan pimpinan. Saya pergi ke laboratorium dengan dokter Nita, keluyuran apa raja, tapi itu hanya untuk menghabiskan waktu, oleh sebab saya tidak diikutkan lagi dalam pimpinan. Jepang menganggap saya tidak ada lagi.
T: Dalam bulan September 1943, Bapak bilang ada permohonan [untuk mempertahankan] Bapak jadi wakil direktur.
J: Memang, saya menarik diri. Keluarlah permohonan itu, nanti yang orisinilnya ada itu. Saya anggap permintaan kawan-kawan saya itu sangat naif. Saya tidak bilang begitu, sebab mereka lebih tua dari saya. Semua yang tanda tangan praktis lebih tua dari saya. Tapi saya tahu bagaimana Jepang, ya toh. Mereka tidak tahu dan masih banyak percaya dengan Jepang, good will Jepang. Maka dibuat surat, dan itu tidak diladeni oleh Gakuco kita. (Berpikir sejenak). Jadi pendek kata, di rumah-sakit itu, di jaman Jepang, sudah berhasil dan sangat mudah, dua mahasiswa ikut, kita membuat persiapan-persiapan. Bukan tahun pertama dan kedua. Jepang masih sangat glory digitukan. Setelah Jepang mulai sedikit [lemah] , jadi gampang untuk saya.
T: [Aktivitas apa] itu di Jalan Cianjur
J : [Mendengar] radio di Jalan Cianjur No. 10. Sekarang rumahnya masih ada, bertingkat [kepunyaan] dari anggota Raad van Indie, Haryono apa ya [namanya], sudah lupa. Dia sudah meninggal, rumah itu masih ada. Saudara bisa lihat. Cuma satu yang bertingkat sebelah kanan kalau dari sini. Kita dengar peperangan di Solomon dengar Prof. Sutomo, almarhum. K ita mengetahui betul bagaimana perkembangan tenaga. Jadi mempunyai clear picture bahwa kemungkinan sekali United States akan come back.
T: Waktu itu rumah Bapak di mana.
J: Rumah saya waktu itu di Jalan Muria No. 19.
T: Jadi waktu itu ada pertemuan rutin di Jalan Cianjur.
J: Ya, di jaman Jepang ini Prof. Sutomo kenal baik dengan Sjahrir. Saya dihubungkan dengan Sutan Syahrir, kita bertemu di Jalan Tambak, jalan ke Manggarai itu, Jalan Tambak 21. Di situ meeting-an kita dengan Sjahrir, saya baru kenal dengan dia…
T: Selalu di situ.
J: Ya, dan saya diajak oleh Sjahrir juga.
T: Ke rumah siapa pak.
J: Ke rumah Prof. Sutomo Tjokronegoro. Di situlah saya dapat pandangan dari Sjahrir. Saya belajar dari Sjahrir. Saya tunggu di situ, dia naik sepeda dan tidak pernah [segera] masuk. Dia putaaar dulu sampai tiga kali.
T: Maksudnya.
J: Melihat apakah aman apa tidak, berputar-putar tiga atau empat kali, baru dia masuk.
T: Biasanya kapan diadakan pertemuan, setiap jam-jam berapa itu.
J: Oooo malam. Dan selalu di belakang dindingnya diberi tangga.
T: Tengah malam.
J: Tidak. Pukul 7. Dus ini rumahnya. Ini dinding (sambil menggambarkan lokasi di meja), dan tembok itu sudah ada tangganya. Tidak dari depan, tapi di belakang. Maksudnya andai kata Jepang masuk, kita sudah tahu ke mana kita akan lari. Tangganya di belakang. Kita sudah tahu turun dari mana, mau ke mana (diam sejenak). Di situlah saya dapat didikan sedikit.
T: Biasanya kalau mengadakan pertemuan di Jalan Tambak itu siapa-siapa saja.
J : Cuma sedikit (berhenti sejenak). Ada satu orang [asing] , saudara mungkin belum pernah dengar namanya, Charles Thambu, orang Ceylon, orang Tamil itu.
T: Waktu itu sebagai apa.
J: Dia itu sebagai orang tangkapan Jepang di Singapura (berpikir sejenak).
Charles Thambu juga hadir di situ. Dan dengan Charles Thambu ini saya belajar membuat karangan-karangan. Dengan Charles Thambu pulalah kami membuat “Indonesia Times” pada waktu itu atau “Indonesia Daily” kita buat.
T: Harian?
J: Ya, harian. Di [gedung] yang sekarang di muka lapangan Banteng yang tinggi itu. Dulu Departemen van financien.
T: O ya, Departemen Keuangan.
J: a. Di jaman Jepang itu, di situ kita membuat [koran] itu, dan penting, supaya saudara tahu, pada suatu hari Charles Thambu, ketika Jepang sudah bertekuk lutut. Dus ini bukan di jaman Jepang lagi sebetulnya, sudah transition. Thambu diminta Bung Hatta untuk mencari berita sangat penting dari Jenderal Christison di Singapura. Thambu bilang, bahwa “kita akan dapat berita itu, jika kita sanggup mencurinya dari kamar seorang opsir penghubung Jepang,” yang kebetulan sekantor dengan Thambu. Kami berhasil. Christison bilang, bahwa dia “prepares to recognize de facto the Republic of Indonesia, if… if… if… “, banyak deh syarat-syaratnya. Kita buat head line, “Letnan Jenderal Christisonrecognizes the Republic Indonesia.” (Berhenti sejenak). Kita dipanggil ke Sokony (berpikir sejenak). Sekarang tempatnya dekat air mancur, dulu itu gedung Sokony, kantor perusahaan minyak, kemudian dijadikan markas besar Inggris. Kita dipanggil untuk mempertanggungjawabkan [berita] Kita bilang [pada Inggris] benar apa tidak berita itu. [Mereka jawab], “ya benar, tapi tuan tidak lengkap. Maksud kita memang gitu. I am warning you etc. You bikin sulit kita dengan Belanda.” Kita bilang, apa itu bukan pengakuan, (diam sejenak).
T: [Kembali ke jaman Jepang] , jadi hubungannya pertemuan di Jalan Tambak 21 dengan informasi radio di Jalan Cianjur No. 10 dengan kegiatan Bapak di rumah-sakit itu bagaimana.
J: Begini. Seperti saya katakan, tiga kali seminggu di rumah-sakit, (berpikir sejenak) saya mendapat kesempatan [berbicara] dalam rapat di kamar besar itu [untuk] para dokter, semua orang Indonesia.
T: Kalau sekarang di kamar mana itu.
J: Sudah dibongkar. Wachtkamer namanya itu. Ada juga satu conference room, itu sudah tidak ada lagi sekarang.
T: Yang sekarang dijadikan tingkat tiga.
J: Ya, dulu [di bagian] depan itu, di bawah itu kamar dokter juga. Ada di situcoffee room, di sebelah kanan. Nah itu buat dokter jaga di belakang itu ke dalam sedikit ada kamar direktur. Saya masih duduk [di situ]
dari tahun 1951 sampai dengan 1961. Jadi, hubungan dengan, saudara tanyakan begitulah, Plus, di Batu Ceper (berpikir sejenak) Charles Thambu ini tinggal.
T: Kok [dia] bisa bebas itu.
J : Dia bisa bebas karena dia bukan orang putih. Kan Jepang mau kasih lihat itu. Dia banyak dapat info, darimana saya tidak tahu. Dulu di jaman Jepang, kalau saya kerjakan begini-begini dan begitu, saya tidak akan membual atau akan mengatakan [pada anda] kalau you tidak insist dari mana saya punya sources. Dus Charles Thambu mungkin juga mempunyai jaringan-jaringan sendiri. [Informasi] itu saya olah, yang bawa dari sana adalah Prof. Sutomo Tjokronegoro, naik sepeda, guru saya itu, tapi dalam politik dia muda. Berita-berita dia bawa ke Jalan Muria, [kemudian] saya olah (sambil ketawa dan diam sejenak). [ Sedangkan] radio di Jalan Cianjur itu, yang sering kami ikuti adalah soal peperangan, sea battles. Karena saya rapat betul [dengan dokter-dokter] di rumah sakit, dan karena mereka juga takut sama Jepang, jadi mereka sangat patuh pada saya. Apa saja, mau prei, tidak usah menemui guco, saya sendiri bisa buat, ketika saya belum dicopot oleh Jepang, sangat kuasa saya. Nama saya disebut “Tora san“, atau tora sama dengan harimau. Sebab harimau itu artinya Halim. Jadi “tora san” dikasi. Na, karena itu, dahulu enaknya bukan main. Semua itu satu blok. Kalau ada apa-apa, “dokter Harim, dokter Harim”, saya enak menghadap Jepang itu, of cource. Kembali kepada yang saudara tanyakan, jadi saya mendapat [informasi] di situ. Sudah itu juga pergi, kalau ada pertemuan dengan Sjahrir. Saya anggap sjahrir jauh lebih pintar dari saya, dalam arti kata politis, walaupun saya bukan orang politik, baru ikutan saja toh. Saya dengarkan. Dia kasih [keterangan] , “ini kejadian”. Setelah itu saya isi lagi kepada dokter-dokter muda, dan juga kepada mahasiswa-mahasiswa, kayak Sudarpo itu masih mahasiswa dulu, Sudjatmoko [dan] masih banyak lagi.
T: Tapi waktu mereka menerima keterangan-keterangan atau informasi-informasi itu apakah Bapak sendiri tidak kuatir menceritakan kepada mereka atau mereka sendiri menerima tidak kritis atau bagaimana itu.
J: Saya ulangi sekali lagi, saya mempunyai [atau] dapat kepercayaan penuh, dan mereka tahu itu, (berpikir sejenak) sincerity dari saya, itu mereka tahu. Kan saya bikin, begini kejadian, sebegitu, sekarang siapa yang akan bertanya dan cocokkan, semua saya kasih mereka. Ada beberapa di antara mereka yang takut. Tapi saya bilang, di sini pimpinan adalah saya, I am responsible. Kan direktur nih. Jadi tak usah takut. Dan saya dalam soal-soal politis itu jauh lebih cepat mengerti dari kawan-kawan.
T: Biasanya informasi yang Bapak berikan atau yang Bapak terima dari Jalan Cianjur No. 10, Batuceper dan Jalan Tambak, apakah hanya informasi pertempuran-pertempuran di laut dengan Jepang, atau apa saja.
J: Tidak. Juga umpamanya Ratu Wilhelmina membuat pidato tentang otonomi [Indonesia] dan sebagainya. Dus juga political analysis toh. Jadi tidak hanya sea battle. Yang penting adalah kita banyak mendengarkan (berpikir sejenak),Declaration of Potsdam etc, juga kita dengar itu.
T: Kembali kepada pertanyaan saya tadi, biasanya pertemuan di Jalan Tambak itu kira-kira berapa, siapa saja [yang hadir] begitu, penting saya kira itu.
J: Ya, tapi yang saya ingat, Sjahrir terang, Sutomo, Tjokronegoro, Charles Thambu, dan saya, itu ada satu dua lagi.
T: Pak Badio ikut.
J: Kadang-kadang, Subadio Sastrosatomo.
T: Pak Suwandi begitu.
J: Tidak ada, Adam pun tidak ikut. Adam kalau ada datang di Jalan Muria No. 19, [di] rumah saya.
T: Ya; ya, ya. Saya ingin kembalikan kepada cerita Bapak di rumah-sakit tadi. Tentu Jepang itu punya alasan-alasan tertentu untuk mengangkat dokter Asikin sebagai Direktur Rumah-sakit dan Bapak sebagai Wakil Direktur. Waktu itu kan banyak dokter-dokter [lain] , yang seperti Bapak Katakan tadi yang lebih senior dari Bapak.
J : Prof Asikin was the most senior dan interns nomor satu di seluruh Indonesia, juga tua. Saya itu, seperti pernah saya katakan, sebetulnya sejak transition period (Belanda-Jepang) itu sudah ikut memimpin rumah-sakit. Belanda sendiri menaroh saya untuk mengatur giliran dokter jaga itu, dan memang saya telah mengasih lihat bahwa saya bisa bekerja. Karena itu, dokter Asikin ajukan [saya) setelah beliau berunding dengan the seniors. Dus jangan salah paham: I was completely trusted by all seniors. Bukan karena sayang kepada saya, ada juga yang punya pikiran lain. Soalnya, ya, takut dibeginiin Jepang (sambil tangan ke leher memperagakan orang disembelih), lebih baik to stay out. Syukur ada yang mau. Jangan lupa yang lain Prof Sarwono, yang sekarang masih ada, support saya, dan, juga Prof Sukaryo almarhum.
T: Kemudian diwaktu (berpikir sejenak) seorang pejabat Jepang itu datang untuk menjadi pimpinan RSUP, kenapa Bapak dipertahankan sebagai wakil direktur, kenapa tidak Prof Asikin begitu.
J: Saya tidak dipertahankan, saudara jangan salah paham. Setelah Jepang itu betul-betul sudah duduk di situ, saya dipanggil oleh direktur yang baru. Saya akan dipindahkan ke Madiun untuk dijadikan Der Haupt arts; dia berbahasa Jerman waktu itu. Dikatakan : “dr Harim tuan masih muda, muda betul. Dapat rumah-sakit begitu besar di Madiun. Seharusnya tuan girang, terimakasih pada Dai Nippon”. Saya dikasi waktu 24 jam, untuk memikirkannya. Di samping itu kawan-kawan yang masih mempunyai harapan (berpikir sejenak), katakanlah pandangan bahwa Jepang itu hanya akan mengambil pimpinan di mana orang Indonesia belum sanggup. Itulah sebabnya mereka ingin mempertahankan saya.
T: Jadi itu sebabnya mereka memberikan semacam surat permohonan kepada Prof Itagaki agar mempertahankan Bapak sebagai pimpinan RSUP.
J: Ya.
T: Kembali kepada informasi tadi yang Bapak terima dari tiga tempat yang disampaikan kembali kepada dokter-dokter yang ada di rumah sakit. Apa sasaran Bapak dengan memberikan informasi ini, apakah supaya mereka itu hanya lebih kuat rasa nasionalismenya, atau ada sasaran-sasaran tertentu yang sudah menjadi program kelompok Bapak pada waktu itu.
J: Tidak. Saya waktu itu belum boleh dikatakan mempunyai suatu kelompok. Saya waktu itu sebetulnya menjadi semacam bridge antara the undergrond, seperti Sjahrir Cs dengan Bung Karno dan Bunga Hatta ; saya.selalu in close cooperation dengan Bung Hatta. Dengan Bung Karno kadang-kadang clash sejak dari dulu. Jadi [kegiatan] itu tanpa saya sadari, bukan maksud saya untuk begitu (rekaman tidak jelas karena ada suara mobil yang baru datang di halaman), tapi memang orang luar [merasa] , seperti orang-orang intelijen dan sebagainya dari Allied Forces, menganggap saya seperti begitu, yakni bukanbridge antara Sukarno-Hatta dengan Sjahrir Cs. [Hal ini] saya baca sesudah tahun 1950 bahwa “dia punya begini”, sedangkan saya tidak ada [kelompok]. Apa yang saya kerjakan itu saya rasa natural. Sebab saya kebetulan [dengan] Bung Hatta bukan main rapatnya, hampir setiap hari [bertemu] di rumahnya. Saya cerita toh [pada Hatta], begini… begini… begitu… itu. Salah satu buku [menulis tentang] saya “undergroundman during the Japanese occupation itu, tetap berhubungan dengan Sukarno-Hatta yang bergerak di atas tanah, pro dan bersama-sama dengan Jepang.
T: Jadi Bapak berperan waktu itu tanpa disadari sepenuhnya.
J: Tanpa. Saya cuma mau kasih tahu Bung Hatta sebagai one of the leaders, dia harus tahu keadaan sewaktu-waktu. (Diam sejenak). Saya melompat sedikit, you bayangkan, ketika 14 Agustus [1945], gue sudah dengar born meledak, Jepang akan menyerah (sambil tertawa tertahan), saya pergi kepada Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 itu. [Dia bilang], “bung Halim, apa! Saya tidak percaya, bung Halim bohong”. Ah, sudahlah kalau tak percaya.
T: Pada saat itu Bung Karno baru pulang dari Dalat.
J: Saya pergi kesana the next day, tapi kami telah mendengar di radio Allied Forces. Saya bawa [informasi itu] pada Bung Karno bahwa repang akan menyerah, dia tidak percaya.
T: Itu duluan mana dengan bapak Subianto dan Subadio datang ke pak Hatta.
J: Begini ya. Saya jaman Jepang itu dengan Badio tidak ada hubungan. Entah bagaimana kejadian begitu, seakan-akan kayak diatur. Begini umpamanya,yang instinktif saya kerjakan umpamanya,itu saya kerjakan dengan mayor Santoso, KNIL, groot Nederlander. Waktu Jepang kita sejajar, saya diajar, umpamanya bagaimana caranya kita akan membikin kacau atau menguasai suatu jalan. Dia seorang mayor dari KNIL, bapak dari dr Iwan Santoso. Saya berteman dengan dia, saya banyak dapat pelajaran dari dia. Tapi dia punya kesetiaan pada Nederland, saya ke Indonesia, disitulah kita bercerai. Tapi dalam [hal] itu, saya banyak dapat pelajaran, karena itu ketika Yogya diduduki, biarpun saya berapa kali kena angkat naik truck dan sebagainya. Saya sudah tahu, sering betul pelajaran-pelajaran itu membantu saya.
T: Kembali kepada silang informasi tadi pak. Kalau Bapak bercerita pada Bung Hatta, tentang informasi-informasi yang didapat dari radio itu, bagaimana- caranya Bapak berikan pada Bung Hatta.
J: Begini ya (berpikir sejenak), Bung Hatta sebetulnya tidak whole heartedlybersama dengan Jepang. Saya terima, saya kemukakan itu, Bung, semua orang sudah tahu, begini, begini. “yo-yo” [katanya] (sambil mengetok meja). Kalau Bung Karno tidak percaya, [ disangka] bohong. Supaya saudara mengetahui, Prof. Sutomo Tjokronegoro itu ditangkap Jepang, sebab dia tulis itu hasil the battle of the coral sea, berapa cruiser dan kapal Jepang tenggelam, langsung dipegang dia (ucapan pengkisah tidak jelas lagi karena berbicara sambil tertawa) ditangkap dia. Itu kan pekerjaan orang boddh yang tidak memakai otaknya, saya bilang. Kita mesti tahu caranya kalau kita illegal
T: Maksudnya ditulis [kemudian] dibagi-bagikan kawan-kawan.
J: Ya, tidak itu saja, ketika rumahnya dimasuki Jepang ketemu itu [ bahanbahan] , Prof.Sutomo Tjokronegoro (sambil ketawa cekikikan).
T: Itu informasi ke Bung Hatta tadi selalu diberikan [dalam] bentuk tertulis.
J: Tidak. Saya selalu langsung ngomong. Tidak ada cara itu buat saya. Saya bisa bercerita sama saudara, umpamanya Nasution 17) ketika Yogya baru diduduki (1948-1949). Dia kirim kurir seorang kapten kepada saya. [Pang-lima] Komando Jawa, Abdul Hans Nasution. Masak saya mesti teken pada buku ekspedisi. Nah ini balasan saya. Apa yang saya bilang, sekali lagi repeat, sekali lagi repeat, bawa itu, tidak ada pakai surat. Masak kita kasih senjata pada musuh (sambil meninggikan nada suara), yang benar dong, yang benar dong, pakai tulis [ketawa] , tidak bisa.
T: Apa ada juga informasi yang dikirim kepada mahasiswa kedokteran.
J: Sure, tidak melalui saya, [tapi] Prof.Sutomo. Saya tidak mau ribut mengikuti mahasiswa.
T: Jadi Bapak samasekali tidak mempunyai hubungan dengan mahasiswa.
J: Ada, tapi saya tidak mau kompromi, bahwa saya nanti [dianggap] di belakang mahasiswa.
T: Prof. Sutomo mungkin yang kasih.
J: Ooooo dia dekat dengan Badio dan Sudarpo Sastrosatomo, yang sekarang kaya raya itu, shipping.
T: [Bagaimana dengan] dr. Subandrio.
J Na, you tanya itu, dia pindah ke Semarang, di Bojong. Saya [akan] cerita tentang dia di jaman Jepang. Subandrio berada di rumah-sakit sama saya dan [juga] almarhum dokter Darmasetiawan. Orang dua itu berkelahi dengan Jepang, tetapi saya yang mempertanggung jawabkan.
T: Sebabnya berkelahi dengan Jepang.
J: Ya. Tidak tahu persoalan, pendeknya Darma sudah mata gelap. Saya dipanggil ke depan. Saya ceritakan pada Prof. Itagaki. Dia [pakai] bahasa Inggris, “you are responsible” bertanggungjawab. Saya bilang, OK. “What are you going to do“, katanya. Saya pikir, saya akan bicara dengan mereka. Maka itu saya dipanggil. Sudah itu saya bilang : Darma you kerja terus, tapi jangan deh ngomong-ngomong. Baca buku aja, dan jangan membuat diri mata gelap begitu. Dia bilang: “saya Lim, apa aje you bilang [setuju saja] . Tapi sebelum saya mati, satu Jepang harus saya bawa mati”, kata dokter Darmasetiawan; wah beraninya bukan main. Dan kalau [kepada] Bandrio, kamu pindah deh ke Bojong.
T: Mereka itu mata gelap kenapa.
J: Begini ya, kita yang muda-muda itu sudah jijik melihat mereka, sakura-sakura mereka, bagaimana mereka memperlakukan kita. Dan di rumah sakit itu betul-betul kita dihina. (Berpikir sejenak). Kan banyak jalan itu di rumah-sakit. Siapa aja yang kalau kita mau kasih tabe, tapi yang tidak, ya tidak. Kalau ketemu orang Jepang, seorang sakura pun mesti kirei.
T: Pak Darmasetiawan tidak mau.
J: Ooooo keras, tidak mau, entah bagaimana kejadiannya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Ooooo sudah main jorok-jorokan. Untung Prof.Sarwono memisahkan, saya pikir dia sama-sama mati. Darma sendiri yang lapor ke pos jaga. Saudara jangan salah paham, kita mendapat full support dari yang tua-tua, Prof. Asikin, Prof Hidayat, Prof Sartono, Prof Sarwono, pokoknya semua. (Diam sejenak).
T: Jadi kalau tidak Bapak lindungi pak Darmasetiawan sudah ditangkap Jepang.
J: Ya. Darmasetiawan itu terus datang ke rumah, betul-betul datang ke Jalan Muria. Kami sekelas, dia pintar, kita sama-sama (sambil mengetuk meja). [Waktu itulah dia bilang] , “Lim apa aje jij bilang sekarang akan saya laksanakan, saya tidak mau kirei-kirei“.
T: Jadi pimpinan rumah-sakit menyerahkan kepada kebijaksanaan Bapak.
J: Kalau itu bisa saya katakan [ya] dengan tanpa malu (ketawa). Justru karena apa yang mereka alami, apa yang saya kerjakan dengan Jepang, ketika kita kembali ke sini dari Yogya (1950) Prof dokter Suwadji baru empat bulan jadi direktur [RSUP] . dia datang ke Jalan Muria. Dia bilang, “You mesti jadi direktur lagi”. Karena itu saya jadi direktur lagi. Karena di jaman Jepang itu, semua cuti saya atur. Dulu tidak kayak sekarang, [RSUP] sudah kurang rumput toh. Sekarang ini kayak sumpek kelihatannya rumah-saldt. Jepang perintahkan mesti tanam jarak, ya. Saya OK. Cuma letaknya dipinggiran saja, dan ditengah ditanami dengan ubi dan singkong. Kita diperintahkan untuk menanam jarak itu buat membuat oli. Pada suatu ketika, di barak kelas, Pay. VI itu beberapa Jepang sakit. Diminta perawat-perawat kita, cewek-cewek.
T: Itu tentara…
J: Tidak, sakura, civilian. Tidak [boleh] sama saya. Saya tahu mereka mau main-main.
T: Sakitnya memang benar-benar apa.
J: Sakit, memang sakit. Tapi kita dahulu tidak biasa begitu (berhenti sejenak). Anak-anak, cewek-cewek itu sudah nangis tidak mau ke situ. Dulu itu saya pernah menjual raket tennis saya, saya jual buat beli kecap untuk asrama supaya anak-anak asrama bisa makan.
T: Asrama putri
J: Putri. Dus saya katakan, kenapa saya after all mempunyai kedudukan kuat di rumah sakit. Ketika Prof Sartono akan diangkat jadi direktur oleh Pemerintah kita sendiri, beliau kirim surat kepada saya ke Yogya, tahun 1946. ” Saya begini-begini, saya tidak mau terima [jabatan] jika dr Halim tidak kasi green lightkemari”. Tanggal 3 Januari [1946] kami berangkat dari sini bersama Sukarno-Hatta [dari] jalan Pegangsaan. Saya masih ikut rapat sama Sjahrir. “Presiden keluarin aja dari Jakarta, sebab kalau Presiden hilang susah. Perdana Menteri gampang diganti”, kata Sjahrir. Sjahrir tinggal di Jakarta. Berangkat dari belakang Pegangsaan Timur.
T:Jadi Bapak di rumah-sakit di jaman Jepang itu, sampai tahun 45 jadi wakil direktur.
J: Aaaaaaa (berpikir sejenak) sudah [berhenti]. Ketika Proklamasi saya sudah tidak ikut lagi. Ketika betul-betul [Jepang] datang Profesor [dalam ] Radiologi Yang jadi direktur. Betul-betul Profesor. Dia kasi lihat bukunya, dia kemana [saja] dan sebagainya.
T: Apakah sebelumnya dari Korea.
J : Dari Tokyo, apakah Tokyo University saya sudah lupa. Itu betul-betulqualified. Masih ingat saya, Prof. Murakani. Direktur saya itu Profesor radiologi, tapi bisa berbahasa Jerman.
T: Shabis berhenti jadi wakil direktur, kembali ke THT apa tidak.
J: Tdak, tidak bisa saudara bilang kembali, saya tidak pernah meninggalkan THT.
T: Tapi kegiatan silang-silang informasi tetap jalan.
J : Ooo ya. The most important thing. Dan karena saya tahu saya dimata-matai, setiap sore saya pergi ke TIM, sekarang, itu dulu [namanyal Porpetusi. [Dalam] kebun binatang itu [ada] pool bilyard. Dahulu saya sering kesana. (Berpikir sejenak). Disitulah saya dapat hadiah dari Jepang… cue.
T: Apa itu.
J: Dipukulin pakai tongkat bilyard.
T: Kenapa itu…
J: Ya kita lagi main, datang Jepang, “kresek-kresek” [bunyi] sepatunya. (berpikir sejenak). Mungkin mata saya yang jelek, saya lihat [dia], begitu langsung dia marah. “Indonesia”, [katanya] Saya bilang, saya dokter Indonesia. Dia ambil tongkat bilyard saya dipukul, wah ramai. Saya lawan, dia jatuh di ubin, karena memakai sepatu yang laarsnya tinggi, jatuh dia. Saya lari (sambil ketawa cekikikan), sampai sekarang masih ada bekas lukanya.
T: Tapi tidak ada hubungan dengan kegiatan rumah-sakit.
J: Tidak, samasekali. Sebab dia hanya kebetulan datang menurut dugaan saya. Mula-mula saya pikir akan ada apa-apa, tetapi nothing. Dus sebetulnya tidak usah disebut, itu cuma kejadian [biasa] yang memang tiap kali bisa ada.
T: Pertanyaan saya yang terakhir kepada Bapak adalah masalah peristiwa Prof. Muchtar, yang sebagian orang menyebutnya sebagai drama terbesar dalam dunia kedokteran di jaman Jepang. Ada beberapa orang Indonesia yang meninggal setelah mendapat suntikan. Apa yang Bapak ketahui tentang masalah ini.
J: Mengenai Prof. Muchtar saya tidak begitu kenal dengan beliau. Orangnya begitu anggun, sehingga seolah-olah ada jarak antara saya dengan beliau. Sayang sekali saya tidak mendalami peristiwa ini. Saudara sebetulnya agak terlambat. Masalah ini sebeturnya bisa ditanyakan kepada Prof. Hanafiah (alm) dan Prof. Bander Djohan (alm). Memang saya dengar ada beberapa orang dokter lain yang ditangkap Jepang selain Prof. Muchtar sendiri, dan kemudian kabarnya mereka dibunuh. Namun detailnya saya tidak tahu.
T: Ya. Baiklah. Waktunya sudah lewat saya kira.
Red: (kemudian bagian ini hanya merupakan omong-omong perpisahan).
Disalin dari blog: https://aswilblog.wordpress.com/2008/12/07/kenang-kenangan-dr-abdul-halim-bab-i/