FB Melawan Lupa - Setelah penyerbuan Belanda yang tahun 1873 seluruhnya gagal. Pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan kembali angkatan perangnya untuk melakukan penyerangan kedua. Selama persiapan tersebut, angkatan laut Belanda memblokade perairan pantai Aceh untuk menghalangi negara (kerajaan) Aceh berhubungan dengan dunia luar.
Pihak Aceh pun tidak tinggal diam menghadapi keadaan ini. Di Penang dibuatlah pos muka di luar negeri yang lebih dikenal Dewan Delapan yang diketuai oleh Teuku Paya. Adapun fungsi Dewan Delapan adalah untuk mewakili kepentingan negara Aceh di luar negeri, mengusahakan dan mengangkut perbekalan perang dengan menembus blokade Belanda.
Dewan Delapan yang terdiri dari 4 orang bangsawan Aceh, 2 orang Arab, dan 2 orang Keling kelahiran Penang aktif membicarakan perihal kondisi dalam negeri yang sedang berkecamuk perang. Dewan Delapanpun gencar mengabarkan Informasi-informasi tentang kondisi belahan dunia luar kepada kepada Pemerintah Kerajaan Aceh.
Salah satunya dengan mengirim surat melalui Panglima Polim Seri Muda Peurkasa dan Panglima Sagi XXVI yang dikenal dengan gelar Panglima Setia Alam, perwira negara sultan. Surat yang bertanggal 20 Muharram Hijrah 1291 (8 Maret 1874) diantaranya berisikan informasi tentang kondisi keuangan Belanda dan perpolitikan di Inggris. Berikut isi surat yang telah di bahasa-Indonesia moderenkan, sebagaimana termaktub dalam buku Aceh sepanjang Abad.
(Didahului ucapan selamat, dan sebagainya).
"Bersama ini kami menyampaikan kabar dari Penang bahwa pada dewasa ini hal ihwal antara kerajaan negeri Aceh dengan negeri Belanda telah menjadi masalah negeri-negeri besar di Eropa. Terutama dengan bantuan kerajaan baginda ratu Victoria, negeri Inggris, dengan campur tangan negeri Eropa, mudah-mudahan pengepungan di laut (blokade) dalam dua bulan ini akan dicabut. Demikian kami mendapat kabar.
Kami pun ingin mengabarkan juga bahwa perdana menteri Inggris yang bernama Gladstone sudah diganti oleh perdana menteri baru yang bernama Disraeli, Gladstone dijatuhkan karena terlalu memihak Belanda. Sedangkan sebaliknya Disraeli bukanlah sahabat Belanda.
Belanda sendiri pada waktu ini mengalami kesusahan uang. Kopi yang belum sampai (masih di perjalanan) sudah dijual murah sebab Belanda kekurangan uang. Selain daripada itu, sudah luas tersiar kabar bahwa Belanda sudah banyak sekali tewas di dalam pertempuran. Jumlahnya 7000 orang. Demikian juga jenderal-jenderalnya, ada sejumlah 27 opsir yang berpangkat tinggi mati dan ada seorang panglima bernama Nino Bixio dan ada seorang pangeran Jawa turut tewas.”
Pada akhir surat tersebut juga mengabarkan tentang keberadaan Habib Abdu'r-Rahman. Dikatakan bahwa Habib Abdurrahman saat itu berada di Penang dan selanjutnya akan pulang ke Aceh setelah melakukan hubungan luar negeri untuk Aceh dengan Turki dan Eropa.
Informasi tersebut telah menguatkan bahwa Habib Abdurrahman benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai orang besar Aceh dan mematahkan kabar Belanda yang mengatakan Habib Abdurrahman telah lari dari tugas yang diberikan oleh Sultan Aceh.
Ketika Belanda mengetahui keberadaan Habib Abdurrahman di Penang, dengan menggunakan peranan Sultan Djohor (Abubakar) mengundang beliau datang ke Singapura untuk mengadakan pertemuan.
Undangan tersebut diterima oleh Habib Abdurrahman dan mengajak serta para anggota Dewan Delapan untuk mengikuti pertemuan dengan Sultan Johor. Pertemuan tersebut berlangsung pada tanggal 30 Maret 1874.
Dalam pertemuan tersebut Sultan Johor mengemukakan tentang kesia-siaan melawan Belanda. Dengan alasan kondisi orang Barat sudah maju. Sultan Johor mengatakan diri bersedia untuk menjadi penengah dan menjamin tokoh-tokoh atasan Aceh akan tetap berkuasa seperti sediakala.
Kondisi tersebut membuat sebagian tokoh dari Dewan Delapan menjadi goyang dan ragu. Namun ketua Dewan Delapan, Teuku Paya sendiri yang turut hadir menentang dengan keras. Tuanku Paya mengatakan bahwa dia tidak melihat adanya jalan dibolehkan mengadakan perdamaian dengan kafir, lebih-lebih jika kafir itu mengacau dan merusak kemerdekaan sesuatu bangsa.
“Tidak dibenarkan seseorang memeluk agama Islam diperintahi oleh kafir. Dari pada takluk pada Belanda, lebih baik hancur,” ujar Teuku Paya di pertemuan tersebut.
Pertemuan itupun berakhir tanpa adanya kesepakatan apapun sebagai harapan pihak Belanda melalui peranan Sultan Johor.
Langkah selanjutnya bagi pihak Aceh baik yang berada di tanah air maupun di Penang adalah menguatkan tekad kembali untuk melanjutkan perang mengusir Belanda. Kewajiban bagi dewan delapan adalah mencari segala cara dan celah dalam memenuhi kebutuhan perang di tanah air.
Sumber :
Said, H. Mohammad. 1985. Aceh Sepanjang Abad II. Medan: Harian Waspada
Gambar;
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan).
Sekitar tahun 1870-an. @id.wikipedia.org