Gambar: buka lapak |
Disalin dari kiriman FB. Mamoek Kincai
,,Harimau nan salapan”.
Kegelisan-kegelisahan dan rasa tidak senang terhadap penipuan jang dilakukan oleh Kompeni Belanda pada tahun 1821 itu men djalar kemana-mana diseluruh daerah di Minangkabau. Setahun sebelum itu, jaitu pada tahun 1820 beberapa orang Alim Ulama jang berpengaruh dan bertempat tinggal ditengah-tengah Alam Minangkabau telah mempersiapkan diri mereka untuk mem pelopori pertempuran guna menghapuskan penipuan Kompeni Belanda itu. Gerakan pemberontakan dan perlawanan ini dikepalai oleh Tuanku nan Rentjeh dan Tuanku Imam Bondjol.
Gerakan mereka ini mendapat sambutan jang sangat baik dan besar dari rakjat, sehingga dalam waktu jang singkat sadja mereka sudah dapat menjusun suatu kekuatan dan angkatan perang jang tjukup besar djumlahnja. Karena gerakan ini dipimpin oleh delapan orang kijai-kijai besar jang dipandang oleh rakjat sebagai pendorong semangat perdjoangan dan bersemangat matjan,[1] maka gerakan ini dinamai mereka dengan ,,Gerakan Harimau nan Salapan" (Harimau jang delapan).
Dalam gerakan pembersihan jang mereka lakukan didaerah-daerah jang mendjadi daerah ,,kekuasaan" Belanda, mereka selalu beroleh kemenangan-kemenangan besar. Kekuasaan keradjaan Minangkabau jang semendjak beberapa tahun jang lampau dipetjah-belah oleh kompeni Belanda, mereka persatukan kembali. Pemerintahan Alam Minangkabau jang mereka bebaskan itu mereka pusatkan kembali ke Pagarrujung, dimana Tuanku Pasa man [Pasaman] bertindak sebagai kepala Pemerintahan. Hampir seluruh daerah kekuasaan Belanda itu mereka bebaskan kembali.
Gerakan Harimau nan Salapan ini boleh dipandang sebagai langkah pertama dari rakjat Minangkabau dalam menghadapi perlawanan jang berpandjang-pandjang dan tidak sedikit meminta pengorbanan. Dan gerakan ini pula merupakan gerakan jang mempelopori Perang Padri jang sangat masjhur itu.
Perdjuangan ,,Sulit Air”.
Perdjuangan berlangsung hampir bersamaan dengan sedang berkobarnja gerakan Harimau nan Salapan. Timbulnja perdjuang an ini adalah disebabkan karena tidak senangnja beberapa orang ulama jang berpendirian ,,kolot" atau jang biasa disebut dengan ,,kaum tua" terhadap tindakan-tindakan jang dilakukan oleh ulama-ulama jang progresip itu.
Melihat timbulnja kekatjauan-kekatjauan jang terdjadi disebab kan karena berlangsungnja perlawanan terhadap kekuasaan kom peni Belanda, maka beberapa orang ulama jang berpendirian pitjik itu pergi dengan tjara menjelundup ke Bengkulen untuk menemui pembesar Inggeris jang berkuasa disana pada waktu itu, jaitu Letnan Djenderal Thomas S. Raffles. Kedatangan mereka adalah untuk meminta pertolongan dan bantuan dari pembesar Inggeris ini untuk mengembalikan keamanan di Minangkabau.
Achirnja Raffles datang dengan tenteranja. Untuk menghantjur kan kekuasaan Minangkabau jang berpusat di Pagarrujung, maka Raffles mendirikan sebuah kubu (benteng) dipinggir danau Singkarak, di negeri Sinawang. Tapi karena serangan ini tertahan disebabkan oleh perlawanan jang dilakukan oleh rakjat dari arah Sulit Air, maka rentjana penggempuran Raffles itu mendjadi gagal dan Pagarrujung tidak djadi dapat dialahkannja.
Mungkin karena mendapat teguran dari Pemerintah Inggeris, bahwa dia tidak dibolehkan ikut serta mentjampuri perdjoangan antara rakjat dengan tentera kompeni Belanda, maka achirnja Raffles meninggalkan daerah Minangkabau dan kembali ke Beng kulen, dengan meninggalkan benteng jang baru dipersendjatainja (Port Simawang)
Peranan ulama-ulama Islam dalam perdjoangan menentang pendjadjahan: ...Hampir semua perlawanan dan peperangan menentang pendja djahan Belanda di Sumatera Barat (Minangkabau)[2] dipelopori oleh para alim-ulama atau orang-orang jang terkemuka dalam kalangan Agama Islam. Perlawanan jang sudah berlangsung semendjak bangsa Belanda mendjedjakkan kaki di Minangkabau merupakan perlawanan-perlawanan jang digerakkan oleh dan dari kaum-kaum Kijai inilah. Disamping Tuanku nan Rentjeh dan Tuanku Imam Bondjol, jang selandjutnja akan memegang peranan penting dalam perang Padri nanti, tertjatat pula nama-nama Hadji Miskin, jang kuburannja di Kuala Tinggi (Suliki), Hadji Sumanik dari Tanah Datar dan Hadji Piobang dari Pajakumbuh, sebagai pahlawan
perdjoangan. Ketiga orang ulama besar inilah sebenarnja jang mempelopori revolusi besar didalam negeri, jaitu perobahan perobahan jang menjebabkan timbulnja perlawanan-perlawanan dan pemberontakan-pemberontakan terhadap hukum adat jang jang sangat kolot dan terhadap pendjadjahan itu.
Paham baru jang disebarkan oleh Hadji Miskin dan kawan-kawannja sekembalinja mereka dari Mekkah pada tahun 1803 telah menggerakkan hati rakjat Minangkabau untuk membentji pendjadjahan dan menentang kungkungan adat jang kolot itu.
Karena itu maka Hadji Miskin dan kawan-kawannja mendapat tantangan dari dalam dan luar, jaitu dari kalangan pemimpin-pemimpin adat dan dari kalang an tentera Belanda sendiri. Karena dorongan ketiga ulama diatas itu pulalah timbulnja perlawanan jang dipimpin oleh delapan orang ulama tadi.
...Bersambung .
========================
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Kiyai dan Macan bukanlah kosa-kata Melayu di Minangkabau. Kedua kata/istilah/nama ini tidak dikenal dan dipakai di Minangkabau. Para ulama di Minangkabau dipanggil dengan panggilan Tuanku atau Syekh. Sedangkan 'macan' disini merujuk kepada Harimau.
[2] Minangkabau tidak sama dengan Sumatera Barat, walaupun seluruh wilayah Minangkabau berada dalam wilayah Propinsi Sumatera Barat sekarang.