Ilustrasi Gambar: wartapontianak |
Disalin dari kiriman FB Irwan Effendi
Tahun 1882 pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan, Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari nasehat badan inilah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang-orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintahan Belanda.
1. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai/buya) boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapat semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
2. Tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonatie).
Tidak hanya sampai di situ, bahwa tindakan pemerintah Hindia Belanda tersebut, telah menempuh berbagai usaha lain, dengan maksud menekan dan mematikan kegiatan-kegiatan keagamaan (Islam). Strategi kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap aktivitas keIslaman oleh penduduk pribumi semakin rapih dan terkesan akomodatif setelah adanya salah seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda di bidang keagamaan, yaitu Snouck Horgronye.
Selanjutnya Snouck Hurgronye setelah mempelajari seluk beluk masyarakat Muslim Indonesia dengan segala karakteristiknya, lalu menasihatkan kepada pemerintah Hindia Belanda bahwa:
Menyarankan azas pemerintah Hindia Belanda bersifat netral terhadap agama, tidak memihak terhadap salah satu agama yang ada. Menurut Snouck bahwa fanatisme Islam itu akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses pendidikan secara evolusi.
Pemerintah Hindia Belanda diharapkan dapat membendung Pan-Islamisme yang sedang berkembang di Timur Tengah, dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku atau brosur ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung ataupun tidak dari tokoh-tokoh Islam dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang-orang yang pergi ke Makkah, bahkan jika memungkinkan melarangnya.
Demikianlah beberapa kebijakan pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap umat Islam di Indonesia. Jika kita lihat peraturan-peraturan pemerintah Hindia Belanda yang demikian ketat dan keras tersebut, maka tampaknya dalam tempo yang tidak lama pendidikan Islam akan menjadi lumpuh dan porak poranda, akan tetapi kenyataannya berbicara lain, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah justeru adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam pada zaman itu laksana air hujan atau bagaikan gelombang air laut “Tsunami” yang tak dapat dibendung.
Begitu juga praduga pemerintah Hindia Belanda, sesuai dengan saran dan nasihat Snouck Horgronye ternyata jauh meleset yakni tokoh-tokoh agama Islam di Indonesia banyak yang mendapatkan majalah-majalah atau brosur-brosur serta literatur lain dari dunia luar seperti Timur Tengah. Kenyataan lain adalah orang-orang yang berpendidikan Baratpun tidak kehilangan identitasnya sebagai Muslim dan bangsa Indonesia. Politik Islam dan politik pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menomor satukan anak-anak pejabat dan pembesar dan membatasi pendidikan pribumi justeru menggiring putra pribumi tersebut pergi ke pondok-pondok pesantren. Proses ini di satu pihak justru mendasari kuatnya kepercayaan beragama bagi penduduk pribumi yang beragama Islam.
Oleh sebab itu, benar sekali yang diungkapkan oleh Wertheim bahwa: “Apapun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaannya tersebut.” Tekanan demi tekanan sama sekali tidak menggoyahkan mereka. Tentang kondisi pendidikan Islam itu sendiri tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya, meskipun berbagai kebijakasanaan yang diterapkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
E.Gobeen dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C Snouck Horgronye Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda, Jakarta: Seri Khusus INIS VIII,1993