Mahmud Marzuki - Harimau Kampar di Masa Pendudukan Kolonial
Bag. 1
Oleh : HG Sutan Adil
Sejak setahun yang lalu sahabat saya di Kampar, Bang Dino Aritaba dan Datuk Abdul Latief Hasyim dan Sejarawan lainnya, sibuk melakukan usaha mengangkat kembali cerita kepahlawan dari warga asli Kampar yang bernama Tuan Mahmud Marzuki untuk diusulkan dalam penanugerahan menjadi Pahlawan Nasional. Mungkin banyak orang di Indonesia ini yang belum mengenal kepahlawanan beliau dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan di Riau.
Dari berbagai literasi yang didapat, Tuan Mahmud Marzuki ini dilahirkan di Desa/Kampung Kumantan, Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau pada tahun 1911. Ayahnya bernama Pakih Rajo, bekerja sebagai Andemar dan di samping itu anggota partai Serikat Islam. Ia berasal dari Kubang Putih-Bukittinggi, Sumatera Bartat sekarang ini. Ibunya bernama Hainah, pekerjaan dagang beras di pasar Bangkinang. Masa kecil nya sudah menjadi anak yatim, karena sang ayah Paki Rajo asal Bukittingi, Sumatera Barat meninggal dunia. Kondisi ekonomi keluarganya juga pas-pasan. Walau demikian, semangat “anak pisang” rang Bukittinggi ini untuk menempuh pendidikan terus dia gelorakan.
Diceritakan oleh bang Dino Aritaba, pada masa penjajahan Belanda, Mahmud Marzuki bersekolah di Velkschool di Bangkinang 1918 hingga 1921. Hingga kemudian, putra Kampar ini melanjutkan pendidikan di Tarbiyah Islamiyah di kota yang sama sampai tamat 1934.
Berbekal tamatan Tarbiyah Islamiyah dia bertekad untuk melanjutkan perkuliahan di luar negeri. Dengan adanya bantuan dari beberapa warga, akhirnya pada tahun 1935 diapun meninggalkan kampung halamannya. Dia langkahkan cita-citanya menuntut ilmu agama yang lebih tinggi lagi di perguruan Islam Nazmia Arabic College Lucknow di India.
Tiga tahun lamanya di India menekuni dan memperdalam ilmu filsafat dan perbandingan agama. Pada tahun 1938, usai menempuh pendidikan, dia kembali ke kampung halamannya di Kab Kamar. Kepulangannya disambut hangat masyarakat setempat. Berbekal ilmu agama yang dipelajari, Marzuki pun bertemu dengan sejumlah tokoh adat, tokoh agama, dan para gurunya di pondok pesantrennya dulu. Dia pun mengajar kembali di mana dia dulu bersekolah.
Bertahun-tahun lamanya mengajar, diapun dipercayakan oleh gurunya untuk menjadi Rois (pemilik sekolah) di pesantren Tarbiyatul Islamiyah dan sejumlah sederatan sekolah lainnya yang ada di Kampar.
Pada tahun 1939, Mahmud Marzuki masuk dalam organisasi Muhammadiyah di pengurusan ranting. Masuknya Marzuki ke organisasi Muhamadiyah, ternyata menjadi ihwal perpecahan dengan gurunya sendiri Buya Haji Abdul Malik. “Paham Muhamadiyah dianggap tidak satu aliran dengan pesantren Tarbiyatul Islamiyah. Sejak itu, sang guru melarangnya untuk mengajar di pondok pesantren tersebut” ungkap Bang Dino Aritaba melanjutkan ceritanya.
Sekitar tahun 1940, melalui bantuan dari istri dari gurunya tersebut, yaitu Ibu Salamah, disarankan untuk mengajar ke Payakumbuh, Sumatera Barat Sekarang. Ibu Salamah mengerti betul perbedaan pandangan antara suaminya dengan muridnya itu. Atas sarannya, Marzuki akhirnya ‘hijrah’ ke tanah Minang. Di Bumi Bundo Kanduang itu, Marzuki terus berdakwah dan mengajar. Tak lama, diapun dipercayakan sebagai Pimpinan Cabang Muhamadiyah di Bangkinang, setelah dia kembali dari Bukittinggi. Disini beliau banyak bertemu dengan tokoh tokoh Muhammadiyah lainnya seperti ; Buya Hamka, Buya Alimin, Buya Rasyid dan banyak lagi.
Tahun 1942 adalah kedatangan tentara Jepang yang memasuki daerah Bangkinang. Saat itu tentara jepang diterima dengan banyak harapan, karena Jepang jauh hari sebelumnya telah memberikan bujukan dan janji-janji yang muluk-muluk kepada masyarakat Bangkinang. Seakan-akan ia tidak hendak memusihi kita, malah hendak bekerja sama dalam menghadapi tentara sekutu, termasuk Belanda yang sedang menjajah kita.
Akan tetapi, setelah memperhatikan bahwa janji Jepang yang muluk itu kenyataannya busuk, ungkap Bang Dino, yang katanya mau bekerja sama, akan tapi prakteknya sangat bertolak belakang, bahkan telah memperlihatkan sikap zalimnya.
Banyak Pemimpin-pemimpin di daerah Kampar mulai mengadakan perlawanan, seperti juga memalui organisasi Muhammadiyah, yang memberikan Latihan Keterampilan Kepanduan (HW) untuk memperisapkan diri. Dalam hal ini Mahmud Marzuki banyak berkecimpung didalamnya. (Bersambung)
*) Penulis Adalah Pemerhati Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 24 Januari 2022
MAHMUD MARZUKI – SINGA PODIUM DARI KAMPAR
Bag. 2
Oleh : HG Sutan Adil
Sebagaimana telah di tulis di bagian sebelumnya, bahwa Mahmud Marzuki adalah putra asli Kampar yang berpendidikan cukup tinggi dimasanya dan juga seorang tokoh masyarakat yang dihormati, dan dalam kesempatan beliau ada di ranah minang, beliau sempat bertemu tokoh tokoh Muhammadiyah lainnya seperti ; Buya Hamka, Buya Alimin, Buya Rasyid dan banyak lagi yang juga memberi semangat beliau untuk terus berjuang dari pendudukan kolonial.
Selama peralihan penjahan Belanda ke Jepang dalam perang dunia ke II, kondisi masyarakat di Kampar di bawah tekanan. Awalnya kehadiran Jepang disambut hangat karena dianggap sebagai penyelamat dari jajahan Belanda.
Dilanjukan ceritanya Oleh Bang Dino Aritaba bahwa, Saat itu Marzuki dipanggil dari Payakumbuh untuk menjadi anggota Su Sangi Kai (sejenis Parlemen) tingkat Provinsi dari masyarakat Kampar. Badan badan ini beranggotakan 200 orang Ulama dan berkantor di Pekanbaru. Sebagai mewakili ulama dari daaerah Limo Koto, selanjutnya Ninik-Mamak menunjuk Mahmud Marzuki untuk memimpinnya, saat penjajahan Jepang itu.
Sejumlah tokoh alim ulama di Lima Koto Kampar, ditangkap dan ditahan Jepang. Alasannya karena alim ulama dianggap menentang keberadaan tentara Jepang. Untuk itulah akhirnya Marzuki dan tokoh lainnya kala itu, menyemangatkan untuk melawan Jepang dengan sebutan sebagai kafir. Selanjutnya gerakan yang mereka lalukan adalah memboikot beberapa hasil panen padi. Warga diminta untuk tidak menyerahkan seluruh hasil panennya. Usaha yang dilakukan berjalan dengan baik, padi yang diberikan ke Jepang sebagian diisi dengan gabah.
Pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun, saat itu kabar kemerdekaan tidak langsung diterima masyarakat di daerah, termasuk di Kabupaten Kampar, Riau. Pada 5 September 1945, berita proklamasi tersiar di Air Tiris (Kampar) lewat tempelan pamplet yang ditempelkan orang yang datang dari Bukittinggi. Adanya pamplet itu mendorong Mahmud Marzuki dan tokoh lainnya, Muhamad Amin, pergi mengecek atau mencari informasi kebenaran cerita itu.
Kedua tokoh masyarakat itu pergi ke Botok, Kepala Kantor Pos dan Telegraf Bangkinang. Rupanya Botok benar telah mendapat berita kemerdekaan tetapi dia tak berani untuk menyebar luaskan karena takut ancaman Jepang.
Diduga teks proklamasi itu ditempelkan oleh petugas dari Sumatera Barat yang mulai menyebarkan teks tersebut setelah menerima berita resmi dari TM Hasan dan Dr M Amin selaku anggota PPKI dari Jakarta. Mereka datang ke Bukittinggi membawa teks proklamasi tersebut.
Pada 6 September 1945, bertepatan Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan sholat Idul Fitri (lapangan tengah sawah Simpang Kubu, Air Tiris), Marzuki kala itu menyampaikan khotbah bergelora di hadapan masyarakat. Saat menutup khotbahnya Mahmud Marzuki menyampaikan kepastian kemerdekaan yang telah dibacakan Bung Karno dan Hatta. Rakyat diminta bersedia berkorban mempertahankan kemerdekaan.
Melanjutkan ceritanya, Bang Dino Aritaba mengatakan akhirnya bahwa pada Senin 11 September 1945, Marzuki mengajak seluruh masyarakat berkumpul di lapangan Controleur depan Kantor Demang Bangkinang untuk menggelar upacara kemerdekaan. Kabar ini terdengar oleh Jepang yang selanjutnya bala tentaranya dikerahkan di lapangan Controleur tersebut yang kini bernama Lapangan Merdeka itu.
Di hadapan 2.600 warga, Ribuan Pasukan Sekutu/Belanda dan Ribuan Pasukan Jepang, Mahmud Marzuki pidato yang berapi-api, inilah Singa Podium sesungguhnya, mengajak agar seluruh rakyat terutama yang hadir bertekad mempertahankan Merah Putih tetap di tiangnya dan mengancam para penjajah kolonial yg saat itu hadir untuk menurunkannya.
Kemudian, dua orang remaja datang ke Mahmud Marzuki menyerahkan bendera merah putih. Dengan beraninya Mahmud Marzuki membawa bendera itu di tiang. Saat akan dikibarkan hujan mengguyur deras. Sebagian warga mencari tempat berteduh.
Selaku pemimpin upacara Mahmud Marzuki tetap di tempat walau hujan deras hingga bendera naik sampai ke puncak tiang. Pasukan Belanda dan Jepang kala itu sama-sama berada di tempat. Mereka hanya terdiam dan terpukau menyaksikan para pemuda tersebut dengan semangat mengibarkan bendera merah putih walaupun disaat hujan lebat. Pasukan Belanda dan Jepang yang hadir di sana tidak bisa bertindak lebih jauh atas pengibaran merah putih, karena mereka masih dalam kondisi stustus quo akibat adanya perjanjian di perang dunia ke dua saat itu, tapi justru merasa kagum dan salut melihat persatuan penduduk di bawah kepimpinan Mahmud Marzuki.
Singa Podium adalah julukan yg diberikan kepada Mahmud Marzuki, karena disetiap pidato maupun ceramah agamanya, selalu dibanjiri masyarakat yang datang dan selalu terpukau atas keberanian serta kehebatannya dalam berpidato dan berceramah, demikian ungkap Bang Dino Aritaba mengakhiri pembicaraan. (Bersambung)
*) Penulis Adalah Pemerhati Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 25 Januari 2022
Mahmud Marzuki - Si Harimau Kampar
Bag. 3 (Habis)
Oleh : HG Sutan Adil
Dalam masa kolonial Jepang, Mahmud Marzuki adalah salah satu tokoh yang paling dicari. Jiwa nasionalismenya yang tinggi dan sangat memberikan semangat ke rakyat, dianggap ancaman bagi Jepang. Bentrokan pun pernah terjadi pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Akibat dari hilangnya bendera merah putih yang dikibarkan di Lapangan Controlleur, Mahmud Marzuki dan kelompoknya mastikan itu tentara Jepang yg melakukannya, untuk itu mereka mencegat bala tentara Jepang yang akan masuk ke kota Bangkinang, dari Pekanbaru. Di tengah jalan, mobil serdadu Jepang dihadang para pemuda. Di saat itu 7 tentara Jepang dibunuh, kecuali Kepala Polisi Jepang di Bangkinang, Yamamoto.
Di perbatasan Kampar dengan Sumatera Barat di Rantau Berangin juga ada tiga orang Jepang juga dibunuh. Peristiwa ini sering disebut sebagai “Insiden Durian”, karena saat itu tentara jepang disergap oleh tentara rakyat/Hisbullah ketika sedang makan durian di Danau Bingkuang dan dengan peristiwa inilah tentara jepang sangat marah sekali.
Berdasarkan literasi yang didapat dari buku ‘Biografi Calon Pahlawan Nasional Mahmud Marzuki Sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia” yang ditulis oleh pakar sejarah Profesor Suwardi MS. Dkk, Yamamoto ini akhirnya meminta bantuan tentara Jepang dari Pekanbaru. Kala itu 1.600 tentang Jepang datang ke Kampar.
Jepang menuduh Mahmud Marzuki sebagai dalang karena begitu getolnya menyuarakan pengusiran kolonial dan sebagai aktor pengibaran bendera di lapangan Controlleur di depan Kantor Demang Bangkinang, sebagaimana di ceritakan pada tulisan sebelumnya.
Saat Jepang datang ke Bangkinang untuk menangkapnya, Mahmud Marzuki sedang mengadakan rapat Komite Nasional Indonesia dan lokasi rapat sudah dikepung. Saat itu tentara Jepang membuat sandera dari masyarakat sekitar agar Mahmud Marzuki menyerah. Agar tidak membuat suasana kacau dan demi melindungi masyarakat banyak, Mahmud Marzuki dan peserta rapat lainnya menyerahkan diri dan selanjutnya 13 orang peserta rapat itu ditangkap termasuk Marzuki dan selanjutnya Mereka dibawa ke Pekanbaru.
Dari beberapa info dan literasi umum yang didapat, didalam tahanan, Marzuki dan kawan kawannya disiksa. Mereka dipukuli dengan berbagai macam siksaan yang keji. Selama seminggu, para tahanan ini kakinya diikat dan digantung dengan posisi kepala di bawah.
“Mulut mereka dituangi busa sabun. Badannya dipukuli dengan kayu-kayu berduri. Mereka tidak diberikan makan,” kata pakar sejarah Riau, Prof Suwardi kepada detikcom, Minggu (19/8/2018).
Mahmud Marzuki ditahan selama 21 hari, rekan lainnya M Amin ditahan 51 hari. Selebihnya hanya ditahan beberapa hari saja. Marzuki dan M Amin lama ditahan karena dianggap pentolan penggerak untuk melakukan perlawanan kepada Jepang.
“Selama mereka ditahan, rakyat kehilangan pedoman dari pemimpinnya dan setelah mereka dipulangkan kembali, rakyat kembali bersemangat. Dibuat acara penyambutan dengan memotong 200 ekor kambing dan 20 ekor kerbau,” kata Prof. Suwardi.
Keluar dari tahanan Jepang, Marzuki masih tetap berdakwah ke sana kemari sembari menggelorakan pengusiran Jepang. Namun, akhirnya dia jatuh sakit akibat dari siksaan biadab serdadu Jepang saat penjara, yang akhirnya Mahmud Marzuki meninggal dunia pada 5 Agustus 1946 di usia yang masih muda, yaitu 35 tahun.
Sudah hampir 4 tahunan ini, para pakar sejarah di Riau bersama Pemprov Riau mengajukan sejarah kelam Mahmud Marzuki untuk bisa mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Pusat sebagai pahlawan nasional.
“Kita sudah memberikan sejumlah dokumen terkait sejarah Marzuki ke pemerintah pusat. Tim dari pemerintah pusat juga sudah memverifikasinya. Semoga saja usulan kita ini bisa diterima,” tutup Prof. Suwardi yang juga panitia pengusulan dari daerah.
Semoga saja dengan upaya dari sahabat sejarawan di Kampar ini, maka upaya untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tuan Mahmud Marzuki ini dapat dilegalisir oleh Negara.
Pusara Pahlawan Nasional Mahmud Marzuki tersebut, saat ini berada tepat di depan Sekolah Muhammadiyah di Desa Kumantan Bangkinang Kota Kabupaten Kampar Riau dan tak jauh dari makamnya tersebut nama beliau juga diabadikan sebagai nama jalan guna mengenang jasanya.
Beliau berpulang, sebelum sempat menikmati kemerdekaan bangsa ini. Mahmud Marzuki meninggalkan dua orang istri dengan 7 orang anak.
*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 26 Januari 2022