Foto: bukittinggiminangkabau
Oleh: Isma Darmayanti, SS, M.Hum
Alam Minangkabau adalah sebutan untuk daerah yang didiami salah satu suku mayoritas yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat, yaitu Suku Minangkabau. Suku Minangkabau mengambil garis keturunan dari garis ibu dan terkenal dengan falsafah hidupnya, yakni “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Berdasarkan hal tersebut, orang Minangkabau adalah penganut agama Islam yang taat.
Tanah Alam Minangkabau ini terletak di tengah-tengah Pulau Sumatera Bahagian Barat. Dalam Tambo dikatakan [batas-batasnya], Sejak Sikilang Air Bangis sampai ke Durian Ditakuak Rajo (dalam wilayah provinsi Jambi); dari Ombak yang Berdebur (Pantai di Laut Padang Pariman) sampai Sialang Dilantak Basi, dan Dari Laut Yang Sadidiah (dalam Wilayah Provinsi Riau) lalu ke Sipisak Pisau Hanyut sampai ke Buaya Putih Dagu (dalam Wilayah Provinsi Jambi).
Wilayah Minangkabau dibagi menjadi dua, yakni wilayah Darek dan wilayau Rantau. Wilayah Darek disebut dengan Luhak, terdiri dari yakni Luhak Tanah Datar mencakup [sebagian besar] Kapubaten Tanah Datar [dan Kota Padang Panjang]; Luhak Agam mencakup [sebagian besar] Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi; Luhak Limo Puluah Kota mencakup [sebagian besar] Kebupaten Limo Puluah Kota dan Kota Payakumbuh. Wilayah rantau adalah wilayah-wilayah yang berada diluar ketiga Luhak tersebut.
Dalam Tambo Alam Minangkabau dikisahkan tentang kedatangan seorang pemimpin agung ke negeri Minangkabau yang indah dan kaya raya. Ia adalah seorang pemimpin yang adil, bijaksana dan berilmu tinggi bergelar Sang Sapurba atau Sultan Maharaja Diraja.[1] Sang Sapurba atau Sultan Maharaja Diradja adalah keturunan langsung Raja Iskandar Zulkarnaini Yang Agung yang bertahta dalam kerajaan yang sangat besar yakni Kerajan Macedonia di Benua Ruhum.[2] Sultan Maharaja Diraja merupakan salah satu pewaris kekuasan Raja Iskandar Zulkarnaini Yang Agung. Ia memiliki impian memelihara dan memperluas kebesaran kerajaannya. Untuk itu Sultan Maharaja Diradja berlayar meninggalkan Kerajaan Macedonia di Benua Ruhum hingga sampai di Pulau Andalas atau Pulau Sumatera.[3]
Rombongan Sulthan Maharaja Diraja
Anggota rombongan Sultan Maharaja Diradja yang datang dari Kerajaan Macedonia di Benua Ruhum terdiri dari enam belas orang pria dan wanita yang berasal dari golongan kesatria. Diantara anggota rombongan yang sangat penting adalah Datuak Suri Dirajo dan Catri [Cati/Sati] Bilang Pandai. Sesuai dengan namanya kedua orang ini sangat cerdas, cerdik cendikia, lubuak akal lautan budi, tau diereng dengan gendeng, pandai mengaji dan sangat bijaksana.
Selain enam belas anggota rombongan tersebut, Sultan Maharaja Diraja juga membawa lima orang putri yang berasal dari Hindia Belakang.[4] Kelima orang putri itu diberi nama sesuai dengan sifat, tingkah laku, dan asal usul mereka masing-masing, yakni: 1. Anak Raja 2. Kucing Siam 3. Harimau Campa 4. Kambing Utan 5. Anjing Mua’alim.
Anak Raja adalah anak kandung Sultan Maharaja Diradja yang sangat pintar dalam membuat rencana; Kucing Siam adalah putri yang berasal dari daerah Kocin di Negeri Siam yang memiliki sifat sangat lemah lembut kepada temannya namun sangat buas dan kejam kepada musuh-musuhnya; Harimau Campa adalah putri yang berasal Kerajaan Campa dan sangat suka memakan daging, pintar berkelahi, gemar masuk hutan dan semak belukar dan tidak takut menghadapi mara bahaya; Kambing Utan adalah Putri yang berasal dari daerah Kambayn di Birma dan suka memakan sayur-sayuran, suka bersembunyi sambil mengintai musuh; dan Anjing Mua’alim adalah putri yang berasal daerah Kamboja yang memiliki sifat yang sangat setia, selalu mendampingi Sultan Maharaja Diradja dan rela menyerahkan nyawanya demi menyelamatkan temannya.
Katik Sampono Rajo
Di dalam anggota rombongan yang berjumlah enam orang tersebut, terdapat seorang pemuda yang bertugas sebagai pengawal pribadi Sultan Maharaja Diraja. Ia adalah orang yang alim dan taat dalam menjalankan agama. Ia adalah kakak laki-laki dari Harimau Campa -Putri cantik dari Kerajaan Campa-. Dalam kehidupan sehari-harinya, pemuda tersebut selalu menggunakan pakaian serba hitam dengan sulaman benang merah pada lingkaran leher dan lengannya. Rambutnya hitam pekat tergerai menutupi kedua pundaknya. Kepala dililit kain hitam yang menggambarkan keteguhan hatinya. Tubuhnya tinggi semampai dengan bahu yang kokoh dan lebar. Wajahnya elok dan tampan. Ulas bibirnya yang tipis dan sinar matanya yang tajam, mengisyaratkan kekerasan hati dan keberanian si pemiliknya. Karena keelokan rupanya, sikapnya, dan ketaatannya dalam menjalankan perintah Tuhan ia dinamai dengan Katik Sampono Radjo, yang artinya orang yang sangat taat dan paham agama
Katik Sampono Radjo besama Datuk Suri Diradjo dan Catri Bilang Pandai selalu mendampingi Sultan Maharaja Diradja dalam menjelajahi Pulau Andalas yang sekarang disebut dengan Alam Minangkabau.[5] Kesetiaan Katik Sampono Radjo terhadap Sultan Maharadja membuat Sultan Maharaja Diradja merestuinya untuk tinggal bersama adiknya [yang bernama] Harimau Campa di Luhak Agam, karena Harimau Campa dan anak keturunannya berkembang di dalam Luhak Agam. Katik Sampono Radjo ingin tinggal bersama adiknya karena ia ingin mendampingi adik serta kemenakannya dalam menyusun dan mengatur tata pemerintahan di Luhak Agam.[6]
Sepanjang perjalanannya menyusuri Minangkabau bersama Sultan Maharaja Diradja hingga akhirnya diizinkan menetap di Luhak Agam, Katik Sampono Radjo merasakan keelokan Alam Minangkabau dan keramah tamahan masyarakat yang sangat memuliakannya. Masyarakat selalu patuh pada setiap ajaran dan perintah yang ia berikan. Hal ini menimbulkan rasa serakah, keinginan untuk berkuasa dalam hatinya. Ia ingin berkuasa dan menjadi raja di Luhak Agam, sebagaimana dulu di Kerajaan Campa ia adalah seorang putra mahkota calon raja.[7]
“Aku adalah orang yang pintar, taat, sakti mandraguna dan setiap perkataanku selalu dituruti oleh rakyat di Luhak Agam, Aku adalah putra mahkota Kerajaan Campa. Dalam tubuhku mengalir darah penguasa. Oleh karena itu aku sangat pantas dan layak menjadi penguasa atau raja di Luhak Agam”
Perihal keinginan ini disampaikan Katik Sampono Radjo kepada Sultan Maharaja Diradja. Sayangnya, Keinginan Katik Sampono Radjo untuk menjadi raja di Luhak Agam ditolak oleh Sultan Maharaja Diradja dan juga ditentang oleh Harimau Campa adik kandungnya sendiri.[8] Penolakan ini dan hasrat ingin menguasai Alam Minangkabau telah merubah karakter Katik Sampono Radjo dari seorang yang alim, taat, penyayang menjadi seorang yang kejam, jahat. Ia menjadi dendam kepada Sultan Maharaja Diradja dan adiknya Harimau Campa.
Dago Dagi[9]
Untuk menyampaikan keinginannya menjadi raja, Katik Sampono Radjo membentuk pasukan yang sangat kejam. Pasukan tersebut melakukan pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan. Banyak rakyat yang kehilangan nyawa, harta dan keluarga karena menentangnya, hewan ternak habis, sawah ladang menjadi hancur. Kejahatan Katik Sampono Radjo dan pasukannya membuat rakyat Minangkabau menderita, sengsara dan ketakutan yang teramat sangat, hingga rakyat merubah namanya dari Katik Sampono Radjo menjadi Katik Muno yang berarti Katik Yang Gila.[10] Kelakuannya yang penuh murka dan kejahatan bagaikan perangai ular naga ganas yang menghancurkan, hingga ia digelari oleh masyarakat Minangkabau di Luhak Agam “Nago Kati Muno, ula nan gadang, pahabih padi di ladang”.
Kabar tentang kekejaman Katik Sampono Radjo yang sekarang bergelar Kati Muno sampai ketelinga Sultan Maharadja Diradja yang berkedudukan di Paringan Padang Panjang. Sultan Maharadja Diradja mengutus Datuak Suri Dirajo, Catri Bilang Pandai, Datuak Bandaharo Kayo dan Datuak Maharajo Basa untuk menemui Katik Muno untuk menyampaikan pesan yang berbunyi:
"Wahau Katik Sampono Rajo, engkau adalah pengawal kesayangan daku. Daku telah mempercayakan engkau untuk membimbing rakyat di Luhak Agam. Apakah engkau lupa, bahwa keseimbangan dan keselarasan Alam Minangkabau dan isinya adalah titik pedoman bagi rakyat Minangkabau dalam berprilaku, bertingkah kurenah dan bertindak tanduk. Manusia Minangkabau memiliki kewajiban dan tangggung jawab penuh dalam memelihara dan menjaga kesimbangan dan keselarasan alam dan isinya. Kerusakan alam akan membawa malapetaka, rusak alam-rusak kehidupan, rusak adat-rusak budi-, berobatlah Katik Sampono Radjo sebelum murka Tuhan melulur dirimu!!!“
Namun, Katik Muno tidak mau menerima peringatan Sultan Maharadja Diradja. Bahkan, Ia mencuri Mahkota Sultan Maharaja Diradja dan berusaha membunuh anak kandung Sultan Maharaja Diraja yang bergelar Anak Raja. Selain itu, dengan kekuatan yang Ia miliki, Katik Muno membagi Luhak Agam menjadi dua bagian. Batas kedua bagian itu ditandai dengan jurang dalam yang di dasarnya mengalir lahar merah yang panas. Pembagian ini dilakukannya sebagai tanda pembagian wilayah Minangkabau. Separoh untuk Sultan Maharaja Diradja separohnya untuk dirinya.
Ikhtiar Sulthan Maharaja Diraja
Perbuatannya ini membuat Sultan Maha Diradja marah besar. Sultan Maharaja Diraja merasa dikhianati. Kebaikan dan kasih sayangnya telah dibalas dengan kejahatan dan penghianatan oleh Katik Muno. Air susu dibalas dengan air tuba. Demi menjaga kesimbangan Alam Minangkabau, Sultan Maharaja Diradja mengundang Katik Muno agar datang ke kediamannya di Batu Gadang untuk berunding mencari kata sepakat. Namun, perundingan tersebut tidak menemukan kata selesai sehingga terjadi peperangan antara Sultan Maharaja Diradja dan Katik Muno. Pertarungan antara Sutan Maharadja Diradja dengan Kati Muno berlangsung berhari-hari, sehingga membuat pedang Sultan Maharadja Diradja sumbing sebanyak 99 buah. Peperangan tersebut membuat masyarakat semakin takut dan menderita. Menyadari hal ini, Sultan Maharadja Diradja bersiasat dan pura-pura mengalah dengan tujuan untuk mengambil keris sakti Katik Muno. Sultan Maharadja Diradja teringat kata-kata Katik Sampono Radjo atau Katik Muno saat ia masih setia pada Sultan Maharadja Diraja, ia mengatakan:
“Tidak ada satupun senjata yang dapat melukai ku ataupun mengakhiri hidup ku, selain sebilah keris yang ku buat dengan kesaktianku, keris ini ku beri nama “Keris Nago Katik Sampono Radjo”.
Mengingat hal tersebut, Sultan Maharadja Diradja bersama para pembesarnya menjalankan siasat dengan menyerahkan kediamannya yang berada di Batu Gadang beserta pengawalnya kepada Katik Muno. Bersamaan dengan itu Harimau Campa (adik kandung Katik Muno yang dulu menentangnya juga mengakui kekuasaanya). Hal ini membuat Katik Muno merasa sangat senang karena apa yang ia impikan akhirnya tercapai. Dengan sombongnya ia berkata:
“ Akulah raja yang perkasa, mulai saat ini tidak aka ada yang mampu melawanku!!!!”
Larut dalam kebahagiaan karena telah merasa menang, Katik Muno mengadakan perayaan kemenangnya, berbagai kesenian Minangkabau ditampilkan untuk memeriahkan perayaan tersebut, seperti Silek, Saluang, Randai, Tari Piriang dan berbagai kesenian tradisonal Minangkabau lainnya. Perayaan itu juga dilakukannya karena Katik Muno berniat melamar Puti Indo Jalito adik perempuan Datuak Suri Diradjo. Larut dalam suasana bahagia akan kemenangannya, Katik Muno menjadi lengah. Keris Nago Katik Sampono Radjo yang biasanya selalu terselip di pinggangnya diletakkan di dalam kamar pribadinya. Ia merasa yakin tidak akan ada satu orang pun yang akan berani memasuki kamarnya dan mengambil kerisnya.
Kesempatan ini diambil oleh Harimau Campa. Ia dengan leluasa dapat memasuki kamar Katik Muno. Tidak ada pengawal atau pelayan yang akan mencurigainya. Karena ia adalah adik kandung Katik Muno. Dengan tenang, Harimau Campa mengambil “Keris Nago Katik Sampono Radjo” tersebut dan menyerahkannya kepada Sultan Maharadja Diradja. Katik Muno tidak menyadari akan hal itu, sehingga pada saat Sultan Maharadja Diradja menantangnya untuk bertarung kembali ia terheran-heran dan mengatakan:
“ Tidak akan ada yang mampu mengalahkan ku, tidak engkau wahai Sultan Maharaja Diradja dan tidak juga orang lain. Aku adalah Putra Mahkota Kerajaan Campa. Aku memiliki kesaktian yang tiada tandingan. Mulutku bisa menyemburkan api. Keringat ku bisa membunuh orang yang terkena. Dan Aku memiliki keris sakti yang aku buat sendiri. Hahahahaha… kau hanyalah mantan raja wahai Sultan Maharadja Diradja!” ejeknya.
Sultan Maharadja Diradja tidak terpancing emosi mendengarkan perkataan Katik Muno. Sultan Maharadja Diradja dengan tenang mengatakan: “Wahai Katik Muno, sekarang kau bukan Katik Sampono Radjo yang hebat, arif, taat, dan bijaksana! Kau bukan lagi Putra Mahkota Kerajaan campa!. Kau sekarang adalah orang jahat yang tidak pantas menjadi raja! Kau adalah laki-laki zalim yang demi kekuasaan melupakan sanak saudaranya! menyakiti adik kandung dan kemenakannya! mengkhianati teman sejawatnya! serta tidak pandai membalas budi orang yang menyayanginnya! Kau bagaikan “Kacang yang lupa akan kulitnya! Kau bergelimang noda dan dosa! Kau rusak harapan dan rasa bangga sanak saudaramu! Korong kampungmu! Kau rusak keseimbangan alam dan isinya! Kau telah melupakan amanat Ayahanda dan Ibundamu di Kerajaan Campa! Kau akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atas kejahatannmu!”.
Mendengar perkataan tersebut tersebut Katik Muno termenung. Jauh di lubuk hatinya, Ia mulai menyadari bahwa Ia telah mengambil jalan yang salah. Ia telah menyaksikan bagaimana adiknya Harimau Campa meneteskan air mata melihat kekejaman dan keserakahannya. Ia rindu ayahanda dan ibundanya di Kerajaan Campa. Ia teringat pesan ayahanda dan ibundanya untuk selalu menyayangi adiknya Harimau Campa. Namun, semuanya telah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin surut kembali. Keserakahan hatinya lebih menang dari kebenaran yang disampaikan menyusup telinganya. Keserakahan itu menimbulkan rasa amarah di hatinya dan Ia memenuhi tantangan Sultan Maharadja Diradja untuk bertarung Kembali. Pada pertarungan kali ini Sultan Maharadja Diradja dapat mengalahkan Katik Sampono Radjo atau Kati Muno dengan menikamkan “Keris Nago Katik Sampono Radjo” tepat di jantung Katik Muno.
Kematian Si Kati Muno
Tubuh katik muno bergetar, darah membasahi dada dan tubuhnya. Sinar matanya mulai hilang. Dalam kegelapan yang mulai menerpanya, wajah ayahanda dan ibundanya di Kerajaan Campa membayang, begitu juga wajah adiknya Harimau Campa. Mereka sedih akan perbuatannya. Air mata menetes membasahi pipi Katik Muno. Ia menyesal
“ Wahai ayahanda dan ibunda, wahai adindaku Harimau Campa! Lihatlah akhir hidupku yang penuh noda dan dosa. Maafkanlah aku! Wahai pimpinanku Sultan Maharaja Diradja. Telah kulawan dirimu! Tidak ku hiraukan nasehatmu! Maafkanlah aku!, Wahai masyarakat Minangkabau ampunilah aku!!”
Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir Katik Muno mengakui kesalahannya. Ia menyesali tindakanya yang telah merusak kesimbangan Alam Minangkabau dan membagi Luhak Agam menjadi dua bagian. Ia menyadari, bahwa Alam Minangkabau adalah satu. Tidak boleh dibagi atau dikuasai dengan cara kekerasan.
Sebagai bukti penyesalannya, dengan kekuatan yang tersisa Katik Muno memadamkan aliran api di dasar Ngarai dengan air mata penyesalan dan pertobatannya, sehingga alirah api tersebut berubah menjadi aliran sungai yang jernih. Kelak air sungai tersebut menjadi sumber penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Aliran sungai yang bersumber dari air mata penyesalan Katik Muno sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk mengairi persawahan yang ada disepanjang aliran sungai. Kesaktian Katik Sampono Radjo atau Katik Muno diserap aneka tanaman yang tumbuh sepanjang aliran sungai. Aneka tumbuhan tersebut bermanfaat untuk penyembuhan berbagai penyakit, seperti Sitawa, Sidingin, Sikumpai, Sihanyuik, Batang Silapadang, Batang Jilatang. Kesaktian Katik Sampono Radjo juga diserap oleh binatang yang hidup disepanjang aliran sungai tersebut seperti ular, kala jengking, sipasan, salimado dan penyengat. Katik Muno juga mengutuk siapa saja yang berbuat seperti dirinya. Barang siapa yang berniat untuk membagi Alam Minangkabau, ingin menguasinya dengan cara yang salah serta membuat masyarakat menderita maka ia akan memperoleh kehancuran.
Agar menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat, raga Katik Sampono Radjo atau Kati Mudo tidak dapat dikuburkan. Raganya membatu dan sekarang tersimpan di Museum Rumah Adat Nan Baajuang Kota Bukittinggi
Harimau Campo & Luhak Agam
Kepada adiknya Harimau Campa, Katik Sampono Radjo atau Kati Muno menyerahkan mustika yang dimilikinya. Keteguhan Hati Harimau Campa pada kebenaran, tidak takut melawan kejahatan membuat Harimau Campa dikenal sebagai penjaga dan pelindung oleh masyarakat di Luhak Agam. Harimau Campa menjadi simbol Luhak Agam. Sekarang, Harimau Campa lebih terkenal dengan sebutan Harimau Campo oleh masyarakat di Luhak Agam, yakni masyarakat di Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi
Di Kota Bukittinggi dibuat patung Putri Harimau Campa dalam wujud harimau (binatang) sebagai tanda bahwa keberanian dan kasih sayangnya akan selalu melindungi masyarakat Kota Bukittinggi. Masyarakat mewarisi sifat- sifat Harimau Campa/ Harimau Campo yang tersirat dari kiasan:
“ Airnya Keruh, Ikannya Liar, Buminya Panas, Padinya Menjadi”
Bendera kebesaran yang menjadi kebanggaan di Luhak Agam adalah bewarna merah yang menyiratkan keberanian.
Semenjak kematian Katik Sampono Radjo atau Kati Muno hingga sekarang, ngarai curam dengan aliran sungai indah bak liukan ular naga dengan airnya yang jernih dipermukaannya diberi nama Ngarai Si Anok dan Batang Si Anok yang berarti ngarai dan Batang atau aliran sungai yang tenang. Ketenangan yang tercipta dengan berakhirnya peperangan, kekacauan, dan kesengsaraan. Saat ini Ngarai Sianok atau Batang Sianok adalah tempat yang dapat memberikan ketenangan bagi siapa saja yang datang berkungjung ke sana. Padi-padi yang menghijau menambah indah panoramanya.
Ngarai Sianok atau Batang Sianok juga menjadi simbol, bahwa dalam menghadapi kejahatan kita harus bersikap tenang serta bijaksana. Sebagaimana Sultan Maharaja Diradja yang baru bisa mengalahkan Katik Sampono Radjo atau Kati Muno dengan bersikap tenang dan bijaksana.
Minangkabau tanah na denai cinto Pusako bundo nan dahulunyo Rumah gadang nan sambilan ruang Rangkiang baririk di halamannyo Bilo den kana Hati den taibo Tabayang-bayang Di ruang mato
Catatan:
Tulisan ini merupakan versi lain dari asal Usul Ngarai Sinaok yang penulis Tulis pada tahun 2018. https://bukittinggiminangkabau.blogspot.com/2018/05/legenda-ngarai-sianok-peran-strategis.html
Penyempurnaan sengaja penulis lakukan agar lebih bernilai edukasi dan bisa dipahami oleh banyak orang. Penulis ingin memperkenalkan fakta budaya, fakta sosial, fakta mental yang hidup dalam Tradisi Lisan Masyarakat Minangkabau. Hakikatnya bukan kebenaran cerita dari sudut Fakta Sejarah yang ingin penulis sampaikan. Tetapi kebenaran Fakta budaya, mental, dan sosial yang hidup dan menjadi dasar kehidupan orang Minangkabau. Yakni, kesimbangan dan keselarasan Alam Minangkabau dan isinya adalah titik pedoman bagi rakyat Minangkabau dalam berprilaku, bertingkah kurenah dan bertindak tanduk. Manusia Minangkabau memiliki kewajiban dan tangggung jawab penuh dalam memelihara dan menjaga kesimbangan dan keselarasan alam dan isinya. Kerusakan alam akan membawa malapetaka- rusak alam rusak kehidupan, rusak adat rusak budi.
Filosofisnya “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” merupakan pedoman hidup orang Minangkabau. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter seperti yang tengah dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengatur bahwa fungsi pendidikan nasional itu adalah mengembangkan budaya nasional berdasarkan budaya lokal. Pengembangan budaya lokal memberikan warna terhadap pendidikan karakter yang ingin diterapkan.
Penulisan Legenda Asal Usul Ngarai Sianok ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menanamkan pendidikan karakter bagi generasi muda. Artinya, pengenalan fakta-fakta budaya kepada generasi muda dapat dilakukan dengan penulisan cerita-cerita yang memuat fakta-fakta budaya tersebut.
Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada:
Bapak Hasanadi, SS (Peneliti pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang), Bapak DR. Zulqaiyyim, M.Hum (Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Unand), Bapak DR. Hasanuudin, M.Si ( Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Unand) atas arahan-arahan dan masukan-masukan yang tiada putus sejak pertama kali penulis melangkahkan kaki di Fakultas Ilmu Budaya dahulunya Fakultas Sastra pada tahun 2003 hingga kini.
Hakikatnya
“ Bukan dirilah yang hebat, Namun Allah telah mempertemukan dengan orang-orang hebat”
Disalin dari webblog: bukittinggiminangkaba
=====================
*Kata dan kalimat dalam tanda [] ditambahkan admin
_______________________
Catatan kaki:
[1] Dalam Tambo hanya dikisahkan tentang kedatangan rombongan yang dipimpin oleh Sultan Maharaja Diraja. Tidak disebut mengenai Sang Sapurba dan tak pula disebutkan apakah kedua sosok ini orang yang sama atau dua orang yang berlainan. Mungkin dalam teks Tambo yang lain, karena terdapat-hingga kini-setidaknya lima macam naskah Tambo. Nama Sang Sapurba lebih banyak muncul dalam hikayat dari orang Melayu di bagian selatan pulau Sumatera. Yakni terkait hikayat Demang Lebar Daun, silahkan klik DISINI
[2]Tambo juga tidak menyebutkan soal Kerajaan Macedonia, namun nama Banua Ruhum (Romawi) terdapat dalam Tambo. Kemudian terkait sosok Iskandar Zulqarnain dan Iskandar Agung, terdapat dua pendapat mengenai hal ini; 1) Berpendapat bahwa keduanya merupakan orang yang berbeda, yang satu Raja Muslim yang ta'at dan yang satu lagi Raja Kafir (silahkan baca DISINI) 2) Berpendapat keduanya orang yang sama, hanya sahaja cerita Dunia Barat mengenai sosok ini tiada dapat dipercaya karena bertentangan dengan kisah dalam Al Qur'an. Penisbatan sebagai keturunan Sulthan Iskandar Zulqarnain merupakan ciri dari Bangsa Melayu, ciri lain ialah mereka menganut falsafah yang sama yakni "Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah".
[3] Dalam Tambo dikisahkan tentang tiga orang anak raja Iskandar Zulqarnain berlayar dari 'Tanah Basa'; 1) Sulthan Maharaja Alif yang menjadi Raja di Benua Ruhum, 2) Sulthan Maharaja Dipang yang menjadi raja di Benua Cina, 3) Sulthan Maharaja Diraja yang menjadi raja di Pulau Perca (Sumatera). Tanah Basa sendiri dimaknai berbeda-beda, orang-orang yang terpengaruh kabar berita yang mengatakan bahwa agama orang Minangkabau dahulu ialah Budha (sebagian besar menggnakan kata Hindu-Budha), berpendapat bahwa Tanah Basa ialah Negeri Hindustan. Namun hal ini ditolak karena dimasa sebelum Islam masuk, Budha hanya dianut oleh para pembesar sahaja, adapun rakyat masih tetap berpegang teguh dengan Agama Tauhid. Sehingga tatkala Islam datang, maka dengan mudah agama ini dapat diterima karena terdapat kesesuaian ajaran. Sehingga Tanah Basa dalam hal ini diartikan sebagai negeri-negeri yang berada di jazirah Arabia, Persia, dan Afganistan sekarang. Selengkapnya, silahkan baca DISINI
[4] Maksudnya Indocina sekarang
[5] Pulau Andalas atau Pulau Perca atau Pulau Sumatera. Dimasa Budha dikenal dengan nama Swarnabhumi. Minangkabau terletak dalam pulau ini dengan batas-batas yang disebutkan pada paragraf awal.
[6] Didalam Tambo disebutkan bahwa rombongan pertama yang dipimpin oleh Sulthan Maharajo Dirajo mendatangi Pulau Perca ini tatkala Gunung Merapi masih sebesar Telur Itik. Banyak yang menafsirkan bahwa maksudnya tatkala dilihat dari kejauhan. Ada pula yang menambahkan bahwa tatkala air laut sedang besar (naik) dimana sebagian besar Pulau Perca berada dibawah laut. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari nama-namaa negeri di pedalaman Pulau Sumatera yang menggunakan kata; pasia (pasir), tanjuang (tanjung), pantai, dan lain sebagainya. Dikisahkan pula dalam Tambo bahwa pemukiman awal ialah di lereng Gunuang Marapi kemudian tatkala jumlah penduduk terus berambah maka dicarilah negeri bari ke bagian kaki gunung, wilayah sekitar gunung, dan akhirnya menyebar ke Pulau Sumatera dan daerah lain di Jazirah Melayu (pulau-pulau lainnya). Hal ini beriringan dengan surutnya air laut. Jadi pertumbuhan tiap-tiap wilayah berlangsung secara bertahap seiring dengan surutnya air laut dan terjadi dalam jangka waktu yang lama atau beberapa keturunan setelah pembukaan wilayah sebelumnya. Kemudian dalam penamaan dan gelar di Minangkabau, tidak menjadi kebiasaan (adat) mencantumkan nomor sehingga suatu gelar tidak dapat diketahui telah disandang (dijabat/dipakai/dikenakan) oleh berapa orang. Hal ini menyebabkan kerancuan atau bahkan kesalahan dalam memaknai sebuah peristiwa yang dipaparkan dalam Tambo.
[7] Baca catatan kaki No.6
Luhak Agam merupakan Luhak Yang Tengah digambarkan keadaannya (penduduk) dalam tambo; Buminya panas, airnya keruh, ikannya liar, warnanya merah dan lambangnya Harimau Campo. Dalam hal ketatanegaraan baik itu di Luhak maupun di Alam Minangkabau sendiri berbentuk federasi. Unit pemerintahan terkecil ialah Nagari (sama dengan polis di Yunani) yang dikelola dan diselenggarakan pemerintahannya oleh sekelompok penghulu. Tidak dikenal pemerintahan/kekuasaan tunggal di Minangkabau. Kerajaan sendiri maksudnya ialah konfederasi dengan Rajo Alam sebagai kepalanya. Sebagai konfederasi, raja dan para pembesar kerajaan tidak memiliki wewenang dan kekuasaan mutlak atas wilayah kerajaan. Melihat karakter dari orang Luhak Agam seperti yang diumpamakan oleh Tambo di atas, maka kecil kemungkinan orang Agam merupakan orang yang patuh atas perintah. Watak khas orang Agam ialah pemberontak, sesuai dengan warna kebesaran mereka merah, dimana darah mereka selalu mendidih dan sukar untuk ditaklukkan apalagi diatur.
[8] Dalam adat (dan hukum ketatanegaraan) di Minangkabau, gelar tidak diminta melainkan diberikan. Dan dalam wilayah inti yakni Luhak, Raja tidak berkuasa melainkan hanya perlambang sahaja. Seperti yang digambarkan dalam pepatah "Luhak Berpenghulu - Rantau Beraja". Raja tidak memiliki wewenang memberikan gelar raja, karena ia bukan penguasa melainkan "orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting". Terkait raja-raja di Alam Minangkabau dan Melayu silahkan baca Sapih Belahan, Kudung Karatan, Kapak Radai, & Timbang Pacahan atau klik DISINI
[9] Pasal pertama dari Undang Undang nan Salapan, silahkan klik DISINI
[10] Muno berarti Gila