*Sumatera Bagian Tengah, sejak 1821*
Pada 10 Februari 1821, Perang saudara di Pagaruyung yang dikenal sebagai perang Padri [Kaum Putih] mencapai puncaknya. Sengketa ini melibatkan Raja Alam Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah yang didukung Kaum Adat [Kaum Hitam] dengan saudaranya Raja Ibadat, Tuanku Nan Renceh yang didukung Kaum Padri [Kaum Putih] yang kala itu sudah berlangsung selama 17 tahun. Istano Basa Pagaruyung dikepung dan dibakar habis. Ini sudah kali ketiga selama kurun waktu itu. Sementara Sultan Arifin Mungsyah melarikan diri ke Lubuk Jambi. mengingat rumitnya adat Pagaruyung serta tidak pernah ada jabatan Putra/Tuanku Mahkota Sultan yang baru tidak bisa segera ditetapkan.
Pada 17 Maret 1824, Traktaat London ditandatangani, diantaranya berisikan pertukaran daerah koloni antara Inggris dan Belanda. Tercantum, Seluruh pos maritim (pelabuhan) milik EIC di Pesisir Barat Sumatera seperti Barus, Pariaman, Indrapura, Bengkulu dan Lampung bagian barat diserahkan kepada Belanda oleh Inggris. Sebaliknya negeri negeri selat di Semenanjung Malaya meliputi Singapura, Penang dan Malaka diserahkan kepada Inggris.
Pada Agustus 1825, Sultan Arifin Muningsyah mangkat di pengasingan, kemudian dimakamkan di komplek makam raja raja pagaruyung di Saruaso, Tanah Datar. Bagagarsyah, keponakan atau versi lainnya cucu Sultan Arifin Mumingsyah secara sepihak melakukan perjanjian dengan Belanda. Sebetulnya Ia tidak berhak melakukan perjanjian mengatasnamakan Kesultanan Pagaruyung. Kemudian akibat dari perjanjian ini, dijadikan oleh Belanda sebagai tanda penyerahan kedaulatan Pagaruyung. Ia beserta 19 orang pengikutnya bersama pasukan Belanda yg dipimpin Letnan Kolonel Raaff, yang berkedudukan di Kota Padang berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri. Ia kemudian menyebut dirinya Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Tungkal Alam Bagagar, namun demikian Belanda hanya merestui Bagagarsyah sebatas regent atau sultan wali, dengan wilayah yang jauh menyusut seluas kurang lebih sekitar ibukota Batusangkar saja. Sementara itu Belanda tidak melakukan ekspedisi lanjutan, disaat yang sama di Jawa Balanda juga sedang disibukkan dengan perang Diponegoro.
Pada 2 Mei 1833, Bagagarsyah ditangkap Kolonel Elout atas tuduhan pengkhianatan karena secara diam-diam dianggap telah membantu perlawanan Kaum Padri yang kala itu dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Pada fase ini Perang Padri juga dikenal dengan Perang Bonjol. Selanjutnya Ia dibuang ke Batavia. Raja Adat, Tuan Gadang di Batipuh menggantikan Bagagarsyah sebagai regent.
Pada 1834 , Sultan Muhammad Fakhruddin (1829-1841) melakukan serangan terhadap wilayah-wilayah Palembang. Hal ini dijadikan alasan Belanda untuk memaklumkan perang. Jambi berhasil dipukul mundur oleh Belanda hingga menderita kekalahan. Momentum kekalahan Jambi ini dimanfaatkan Belanda untuk memaksa Sultan Muhammad Fakhruddin menandatangani Korter Valkering (Traktat Pendek) .
Pada 22 Mei 1841, Seluruh perlawanan terbuka dalam menentang kehadiran Belanda di Negeri Pagaruyung sepenuhnya dipatahkan. Secara resmi Kesultanan Pagaruyung Darul Qarar dihapuskan Belanda, untuk kemudian digantikan oleh Gewest Sumatra Westkust, dipimpin oleh seorang pejabat residen belanda.
Pada 1855, Sultan Taha Safiuddin (1855-1904) yang baru naik tahta menolak menandatangani Korter Valkering. Belanda menerjunkan ekspedisi ke Jambi yang mengakibatkan pengambilan Keraton serta kerugian yang besar. Belanda memecatannya, Taha sendiri melarikan diri ke pedalaman di mana ia menetap sampai 1904. Meskipun tidak lagi menjadi sultan, Taha mempertahankan tingkat otoritas tinggi atas orang Jambi terutama di dataran tinggi. Belanda menunjuk beberapa orang sultan pengganti, sebagai perantara antara Belanda dengan Sultan. Perlawanan di pedalaman Jambi secara gerilya terus berlanjut.
Pada 1 Februari 1858, Belanda memaksa Sultan Sayyid Ismail untuk menandatangani korte verklaring atau traktat pendek. Hal ini menjadikan Kesultanan Siak sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Demikian Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya. Untuk seterusnya dalam setiap pengangkatan Raja Siak yang baru harus mendapat persetujuan dari Belanda. Walau demikian Belanda masih mengakui Hak Pemerintahan Otonom Kesultanan Siak beserta negri-negri takluknya meliputi Indragiri dan Pelalawan. Kurang lebih seluas Provinsi Riau sekarang.
Pada 4 Mei 1906, Kesultanan Jambi secara resmi dihapuskan Belanda. Jambi ditetapkan sebagai Gewest dan masuk ke dalam wilayah Hindia Belanda dipimpin oleh seorang pejabat residen Belanda. Raja terakhirnya, Sultan Thaha Syaifuddin gugur dalam sebuah pertempuran di Desa Betung Bedarah saat melawan serdadu marsose Belanda pimpinan Letnan Badings. Ia dimakamkan di Tanah Garo, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo.
Pada 3 Februari 1911, Kesultanan Riau-Lingga secara resmi dihapus Belanda. Sultan Abdul rahman Muazzamsyah dimakzulkan oleh Belanda karena dianggap menentang dan melanggar perjanjian yang dibuat oleh Belanda. Sultan Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah diusir dan diasingkan ke Singapura. Tidak dibentuk satuan pemerintahan kolonial tapi langsung dibawah kendali Gubernur Jendral Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia, melalui Letnan Gubernur Jenderal untuk wilayah Sumatera yang berkedudukan di Medan.
Pada 22 Agustus 1945, Menjadi bagian dari Propinsi Sumatera, satu dari 8 propisni pertama indonesia dengan Tengku Muhammad Hasan sebagai Gubernur pertamanya, Ibukotanya di Medan kemudian pada 9 Juni 1947 dipindahkan Bukittinggi
Pada 28 November 1945, Sultan Syarif Kasim II menyatakan Kesultanan Siak beserta seluruh negri takluknya adalah bagian wilayah Republik Indonesia. Ia turut menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik atau setara 88 juta euro pada tahun 2020.Bersama Sultan Serdang Ia juga berusaha membujuk para sultan lainnya di Sumatra Timur lainnya untuk turut memihak Republik Indonesia.
Pada 23 Januari 1948 , Atas intervensi NICA, Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung dalam Federasi Bangka Belitung dan Riau (FABERI) yang merupakan suatu bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian Dewan Riau membentuk Daerah Otonom Riau meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang . Riau (kepulauan) dalam Konstitusi RIS adalah satu dari 16 Negara Konstituen RIS dengan Radja Muhammad sebagai Pemangku jabatan Wali Negara. Namun tidak berlangsung lama sampai RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950.
Pada 15 April 1948, Provinsi Sumatera dimekarkan, umtuk selanjutnya menjadi bagian Provinsi Sumatera Tengah dengan ibukota di Bukittinggi. Wilayahnya meliputi Sumatra Barat, Riau dan Jambi pada masa sekarang. Gubernur pertamanya adalah Mohammad Nasroen
Pada 23 Desember 1948, 4 hari sebelumnya Belanda menduduki ibu kota Yogyakarta serta menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia,. Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Kolonel Hidayat, serta Gubernur/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat untuk wilayah Sumatera, Mr. Tengku Mohammad Hasan membentuk suatu Pemerintahaan Darurat Republik Indonesia. Melalui siaran radio Syafrudin menegaskan bahwa Republik Indonesia masih ada. Dari Bukittinggi, Syafruddin mengumumkan susunan Kabinet PDRI, dengan dirinya sebagai Ketua presidium kabinet merangkap Menteri Pertahanan/ Menteri Luar Negeri ad interim dan Tengku Muhammad Hasan sebagai Wakil Ketua merangkap Menteri Dalam Negeri ad interim.
Pada 20 November 1956, Panglima Divisi IX/ Komando Daerah Militer Sumatera Tengah/Banteng, Kolonel Ahmad Husein mengumumkan Dewan Banteng. Dukungaan luas didapat dari semua elemen masyarakat Sumatra Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum adat. Namun demikian Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Letnan Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah serta mengusir Gubernur Ruslan Mulyoharjo yang ditunjuk Presiden Sukarno. Langkah tersebut diikuti pembentukan Dewan Gajah di Sumatera Utara oleh Kolonel Maludin Simbolon, Dewan Garuda di Sumatra Selatan oleh Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual.
Pada 1 Januari 1957, Tuntutan dari Dewan Banteng kepada pemerintah pusat seperti otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil tidak dapat dipenuhi oleh karena itu Provinsi Sumatera Tengah memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat. Sumatera Tengah tidak lagi mengirimkan Pendapatan Daerah Sumatera Tengah kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya digunakan untuk membangun daerah nya sendiri. Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatra Tengah dengan Pemerintah Pusat menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/Permesta dideklarasikan pada 15 Februari 1958.
Pada 25 Juni 1958, Provinsi Sumatera Tengah secara resmi dibubarkan. Untuk selanjutnya dimekarkan menjadi 3 provinsi sekaligus; Sumatra Barat, dengan Gubernur pertamanya Kaharudin Datuk Rangkayo Basa, Riau dengan Gubernur pertamanya Sutan Mohammad Amin Nasution dan Jambi, dengan Gubernur pertamanya Djamin Datuk Bagindo.
Pada 24 September 2002, Provinsi Riau dimekarkan, dibentuk Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi ini mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Lingga. Gubernur pertamanya Ismeth Abdullah.
Demikian
Kurang lebihnya saya mohon maaf
Disalin dari kiriman FB: Riff ben Dahl pada 16 Juni 2020 2020