Gambar: Jejaktourandtravel.blogspot.com |
Lima belas tahoen telah lamanja berdiri; bermatjam-matjamlah poela jang ditanggoengnja didalam masa jang sekian lamanja itoe; tiadalah akan dapat kita menjeboetkan satoe persatoe dihalaman Soeara ini, tentoelah engkoe pembatja djoea jang akan mengetahoei bagaimana matjamnja pertjobaan jang telah diderita oleh perkoempoelan negeri ini dari….anak negeri kita sendiri, sehingga terkadang-kadang didalam masa jang limabelas tahoen jang soedah terlampau itoe, tjemaslah kita akan lenjapnja dari moeka boemi dan tiadalah rasanja akan olehnja oesia jang sekian tahoen lamanja, hal mana roepanja sekarang adalah bersalahan benar dengan angka2 kita dahoeloe itoe, jaitoe soenggoehpoen dengan tertegoen-tegoen, mentjapai djoea ia akan oesia jang sekian lamanja berkat oesaha engkoe2pemimpin Vereeniging kita itoe dengan membawa djoea hasil jang kita tjita-tjita dari padanja sela[r]oet selama ini, jaitoe mengijam djoea anak negeri kita akan pengjadjaran jang dilimpahkan sekolah Studiefonds itoe kepada beberapa merekaitoe ilmoe pengetahoean tjoekoep sekedar pentjahari penghidoepan oentoeh (sic) bekas moerid2 sekolah itoe masing2dan soedah berobat rasanja djerih pajah pemimpin2 Vereeniging serta soedahlah poela berhasil oeang boelanan leden perkoempoelan djika dibandingkan dengan hasil pendapatan bekas moerid-moerid sekolah DKG, soenggoeh beloem boleh kita mengatakan sekarang Vereeniging SKG telah semporna benar, karena kita poen mengharapkan djoea, moedah-moedahan bertambah djoealah hendaknja kokohnja pendirian SKG karena sebenarnjalah sekolah SKG ini soeatoe tingkat jang pertama bagi sebagian besar anak negeri kita oentoek pentjari djalan penghidoepan jang halal.
[…]
‘Diabolo’”
***
Keratan tulisan seorang putra Koto Gadang ber-pseudonym ‘Diabolo’ dalam koran SOEARA–KOTA GEDANG, No. 12, Taoen ke X, December 1925. Tulisan itu adalah catatan untuk menyambut ulang tahun ke-10 Studiefonds Kota Gedang (1910-1925). Tulisan ‘Diabolo’ ini menggarisbawahi berbagai capaian yang sudah diraih oleh yayasan beasiswa milik masyarakat Koto Gadang tersebut.
Studiefonds Kota Gedang sudah digagas sejak 1909, namun statuta-nya baru mendapag pengakuan resmi dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada awal tahun 1910, sebagaimana dapat dikesan dari laporan Bataviaasch Nieuwsblad edisi 29 Januari 1910 sbb: “Drang naar onderwijs. – De statuten der vereeniging “Studiefonds Kota Gedang” te Kota Gedang (Sumatra’s Westkust) zijn goedgekeurd.”
‘Diabolo’ menulis: “Akan segala hasil jang diperoleh anak negeri dari pada Vereeniging SKG [Suara Kota Gedang] ini tiadalah perloe benar kita terangkan disini lagi, karena bolehlah dikatakan sekalian kita mengetahoei bahwasanja tiadalah ada seorang djoea bekas moerid SKG jang boleh kita katakan beloem mendapat berkat ilmoe jang telah ditoentoetja, banjak sedikitnja menoeroet nasib mereka itoe masing2, akan tetapi tjoekoeplah sekedar penghidoepannja anak beranak seorang seorang.”
Nyatalah betapa besar manfaat studiefonds ini bagi anak negeri Koto Gadang. ‘Diabolo’ mengajak masyarakat Koto Gadang untuk bersyukur kepada Allah atas berbagai capaian yang sudah diraih oleh studiefonds ini.
Studiefonds Kota Gedang pun memperluas jangkauannya ke rantau. ‘Diabolo’ menulis: “Setelah berdiri tjabang2 Betawi, Bandoeng, Medan dll,[…] boekankah ini soeatoe tanda bagi kita bahwa telah seloeroehnja anak negeri kita merasa pada setiap boelannja bahasa tiadalah dapat kita membantoe anak negeri kita selain dari dengan memberinja pengadjaran, soepaja dengan pengetahoean jang ditoentoetnja itoe [mereka] mendapat ia soeatoe djalan pentjari penghidoepannaja kelak[…].”
‘Diabolo’ mengatakan bahwa untuk memajukan anak negeri Koto Gadang tiada lain ialah dengan ilmu pengetahuan yang dapat membawa mereka “menempoeh djalan jang halal dan menghindarkan [diri] dari pada segala kedjahatan jang biasanja terbit pada mereka jang tiada berilmoe, karena sebenarnjalah kekoerangan ilmoe itoe djoea jang kerap kali membawa manoesia ini kepada berbagai bagai kebentjanaan seperti tiap2 ilmoe membawa manoesia kepada bermatjam matjam poela kebaikan dan kesentosaan.”
‘Diabolo’ berharap “moga-moga berkat toeloes dan ichlas hati segala anak negeri kita akan tetap djoelah Vereeniging SKG. itoe berdiri selamanja agar selama negeri dihoeni menginjam djoea anak tjoetjoe lazatnja (sic) boeah jang ditanan nenek ditahoen 1909, sebagai kita sekarang menginjam lezatnja hasil sawah ladang jang ditaroekoi dengan hati jang toeloes serta ichlas poela oleh nenek2 kita dizaman dahoeloe2.”
“Mati harimau tinggal belangnja, mati gadjah tinggal gadingnja, mati manoesia tinggal namanja, mati mamak tinggal poesako”, demikian kata ‘Diabolo’ mengakhiri tulisannya.
Namun, tak yang abadi di dunia yang fana ini. Di senja kala kolonialisme Belanda di Indonesia, Studiefonds Kota Gedang pun mati pula. Pada tahun 1951, beberapa putra Koto Gadang mencoba menghidupkannya kembali (Haluan, No.24, Tahun ke III, Senin 5 Februari 1951), tapi tampaknya pisang memang jarang berbuah dua kali.
Dr. Suryadi – Leiden University, Belanda/ Padang Ekspres, Minggu 5 Mei 2019
____________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri: //niadilova.wordpress.com