FB Benny Blis | Pemerintah Kolonial Belanda menangkap Permaisuri Sultan Aceh Tengku Putroe untuk menekan Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud Syah menyerah. Namun perang tak pernah berakhir dengan penangkapan tersebut.
Sebulan kemudian pada 25 Desember 1902, pasukan marsose pimpinan K van der Maaten juga menahan istri sultan yang satu lagi Pocut Murong bersama Tuanku Ibrahim putra sultan di Lamlo, Pidie. Politik penangkapan dan menyandera keluarga sultan Aceh tersebut dikenal Belanda sebagai “Metode Christoffel” yang dijalankan atas saran Snouck Hourgronje selaku penasehat pemerintah kolonial Belanda di Aceh.
Namun, meski kedua istri dan anaknya sudah ditawan Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah tidak menyerah. Ia tetap bersama ulama melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Tentang ini ditulis oleh GDEJ Hotz dalam buku Beknop Geshiedkundig Overzicht van den Atjeh-Oorlog. Buku ini diterbitkan pada tahun 1924 di Batavia.
Hotz mengungkapkan, belum menyerahnya Sultan Muhammad Daud Syah membuat Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh, Jendral van Huetsz berang. Ia mengancam jika dalam waktu sebulan Sultan Muhammad Daud Syah tidak menyerahkan diri kepada Belanda, maka kedua istri dan anaknya akan diasingkan ke pulau Jawa.
Demi menyelamatkan istri dan putranya itu, Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya turun gunung, tapi bukan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Belanda. Politik Belanda yan disebut “Metode Christoffel” akan dilawan dengan politik Aceh yang mencengangkan Belanda.
Sultan Muhammad Daud Syah menuju Sigli dengan menumpang kereta api. Ketika ia turun di stasiun kereta api Sigli, beberapa pejabat Belanda sudah menungunya untuk dibawa ke tempat digelarnya “perdamaian” yang telah disiapkan Belanda.
Tapi ada yang mencolok dari penampilan Sultan Muhammad Daud Syah saat itu. Ia mengenakan pakaian rakyat biasa, bahkan tanpa mengenakan alas kaki. Melihat kejanggalan seperti itu, Belanda mencoba untuk mempermalukan raja Aceh tersebut.
Namun di hadapan Belanda Sultan Muhammad Daud Syah mengatakan, bahwa yang turun dari medan perang hari itu adalah Muhammad Daud Syah pribadi, bukan atas nama Sultan Aceh. Karena urusan pemerintahan dan peperangan telah diserahkannya kepada ulama dan kabinet perang. Salah satu wazir (menteri) dalam kabinet perang itu adalah Teungku Chik Di Tiro, ulama besar Aceh masa itu.
Belanda yang semula menduga perang akan berakhir ternyata tidak. Sesuatu yang tak pernah diperkirakan Belanda terjadi. Bila di daerah lain di luar Aceh, perang akan berakhir dengan ditawannya raja daerah itu.[1] Lain dengan Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah menolak menyerahkan kekuasaan kepada Belanda, kekuasaannya telah diserahkan kepada ulama sebelum ia turun untuk menjemput keluarganya yang ditawan Belanda.
Begitu juga ketika dibawa menghadap Gubernur Sipil dan Militer Belanda Jendral van Huetsz di Kutaraja [Sekarang: Banda Aceh], hal yang sama juga ditegaskannya lagi. Sultan Muhamamd Daud Syah menolak menandatangani dokumen yang disodorkan Belanda kepadanya. Dokumen yang berisi pasal-pasal tentang penyerahan kekuasaan kepada Belanda.
Akhirnya Belanda menahan Sultan Muhammad Daud Syah dan keluarganya di Kutaraja. Mereka dijadikan tawanan rumah, dan harus melapor kepada Belanda jika berpergian keluar Kutaraja.
Dan Perang Aceh memang tak pernah berhenti sampai di situ. Sultan Muhammad Daud Syah tetap menjalin hubungan secara rahasia dengan pemimpin pasukan gerilya dan panglima perang dari berbagai daerah. Ia mengirim sejumlah dana untuk kebutuhan perjuangan. Bahkan melakukan diplomasi secara rahasia dengan Kaisar Jepang Mitsuhito.
Hal itu diketahui Belanda setelah pada 6 Maret 1907 pejuang Aceh melakukan serangan ke Kutaraja, bandar yang dianggap sangat aman bagi Belanda. Serangan itu tak pernah diduga, karena Kutaraja merupakan pusat pemerintahan Belanda di Aceh. Pada 7 Juni bivak Belanda di Lhokseudu juga diserang oleh pejuang Aceh dari daerah Leupeung, dilanjutkan ke penyerangan Peukan Bada pada 16 Juni.
Belanda kemudian membuat penyelidikan, bagaimana daerah pusat pemerintahannya itu bisa diserang dari segala arah oleh pejuang Aceh. Kemudian diketahui bahwa serangan itu dipimpin oleh Keuchik Seuman dan Pang Usuih. Mereka mendapat bantuan dana dan perbekalan dari Keuchik Syekh, Panglima Nyak Adan dan Nyak Abaih.
Penyerangan pusat pemerintahan Belanda di Kutaraja itu direncanakan dengan sangat teratur, bahkan sampai ke tempat persembunyian dan rute pelarian setelah serangan dilakukan. Ujung dari penyelidikan itu Belanda menyimpulkan bahwa setiap serangan yang dilakukan pejuang Aceh ke Kutaraja atas perencanaan dan sepengetahuan Sultah Muhammad Daud Syah.
Kediaman Sultan Muhammad Daud Syah kemudian digeledah. Belanda menemukan berbagai surat-surat dari panglima perang Aceh, bahkan surat dari seorang pejuang Aceh yang ditahan di penjara Sigli yang meminta kepada Sultan Aceh agar menyelenggarakan kenduri dan takziah tiga hari tiga malam setelah dirinya dieksekusi mati oleh Belanda.
Yang mencengangkan Belanda adalah ditemukannya surat-surat korespodensi Sultan Muhammad Daud Syah dengan Kaisar Jepang Mitsushito. Isinya upaya kerja sama untuk menghentikan kekuasaan Belanda di Aceh melalui bantuan persenjataan dari Jepang.
Hal itu diperkuat lagi ketika Konsul Belanda di Singapura menemukan surat-surat Sultan Muhammad Daud Syah pada dua pria India, Mana Pakir dan Ghulam Ghose. Malah kedua pria India ini meminta sejumlah dana dari Sultan Aceh.
Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengasingkan Sultan Muhammad Daud Syah ke Ambon. Setelah beberapa lama di Ambon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta) dan meninggal di sana pada 6 Februari 1939. Dan di Aceh perang terus berkecamuk sampai Belanda angkat kaki dari Aceh pada tahun 1942.
-------
Penyumbang bahan Iskandar Norman.
Foto Tengku Putoe (tengah) permaisuri Sultan Muhammad Duad Syah sumber Tropen Museum.
=====
Baca juga:
=====
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Hal yang sama juga berlaku di Minangkabau, walau Yang Dipertuan Rajo Alam telah menjalin perjanjian dengan Belanda (menyerahkan Minangkabau) namun tak serta merta memuluskan jalan Penjajah menguasai Minangkabau. Perang justeru semakin berkecamuk.