----
Sedikit Tentang Penghidupannya
Setelah kita terangkan di atas penghasilan Tanah Karo, sekarang kita hendak bicarakan sedikit tentang penghidupan bangsa itu. Bangsa ini sangat menghormati saudara ibunya atau mertuanya (ayah isterinya), yang dinamai mereka Kalimbubu. Betul di tempat-tempat lain juga saudara ibu dan mertua itu dihormati tetapi tidak sekeras di Karo, dimana Kalimbubu itu selain dari disayangi juga ditakuti. Tidak heran kalau Kalimbubu itu digelar orang Karo, Debata Idah (Tuhan yang Kelihatan).
Pihak Kalimbubu itu terhadap mertuanya selamanya bermuka masam, dan sebaliknya menantu itu seolah-olah "ketakutan" tidak berani menentang muka Kalimbubunya. Selain dari itu banyak pula pantang yang mesti diawasi terhadap Kalimbubu itu. Salah satu pantang yang terbesar ialah; (ma'af), melepaskan angin [kentut] dihadapan Kalimbubunya (dengan tidak sengaja).
Pernah kejadian yang demikian, sehingga oleh karena malunya yang "bersalah" tadi ia meninggalkan kampungnya bersama-sama anak bininya. Juga ada terdengar bahasa yang salah itu karena tidak tahan malu lagi, mengambil jalan nekat, yaitu, membunuh diri, dalam Bahasa Karo yang begini dinamai "endelis". Pendeknya Kalimbubu itu mesti dihormati sangat, diturut segala perintahnya, dan disayangi pula.
Jikalau Kalimbubu itu mengadakan pesta atau mendirikan rumah baru, wajiblah akan Anak Beru itu bekerja dan mencahari perkakas-perkakas rumah. Sebagaimana ditempat-tempat lain juga ada yang beras dari penduduk Karo itu sudah mulai berkurang, terutama semenjak agama Kristen dan Agama Islam masuk kesana.
Penduduk Karo sekarang sudah banyak yang meniru adat Melayu. Dibahagian Langkat, Adat Karo itu bileh dibilang sudah hampir habis oleh karena perhubungan yang rapat dengan Bangsa Melayu, dan disebabkan juga berdirinya sekolah-sekolah.
Suku atau Merga [Marga]
Bangsa Karo ada mempunyai 5 (lima) suku:
Pertama: Karo Karo; Barus, Ketaren, Guru Singa, Purba, Sinu Haji, Karo Karo sekali, Sitepu, dan Bukit.
Kedua: Ginting; Suka, Manik, Seragih, Munte, Baban, dan Jawak.
Ketiga: Perangin-angin; Lembong, Perasai, Batu Karang, Kuta Buluh, Suka Tendel, dan Keliat
Keempat: Tarigan: Gerneng, Gersang, Sibero, Tambak Bawang, Tua, Tambun, dan Purba
Kelima: Simbiring; Kembaren, Pandia, Meliala, Pelawi, Gundur, Caulia, Taikang, dan Depari.
Menurut adat Bangsa Karo, diantara seorang perempuan dan laki-laki yang sama sukunya atau merganya, sangat dipentingkan adat itu dan dijalankan sangat keras. Jangankan serumah, bercakap-cakapun tidak boleh, apa lagi kawin. Tetapi bagi Suku Sembiring ada berlainan sedikit dengan suku-suku yang lain. Umpamanya jikalau seorang perempuan mempunyai Suku Sembiring (Padia, Maliala, Pelawi, Gunur, Caulia, Taikang, atau Depari) dan laki-laki juga mempunyai suku serupa dari salah satu marga Sembiring di atas ini, mereka boleh kawin menurut adat, sungguhpun mereka berdua mempunyai suku yang serupa. Terkecuali jikalau salah satu dari kedua mereka itu mempunya Suku Sembiring Kembaren.
Suku Sembiring Kembaren adalah suku yang tertua atau suku yang asal diantara suku-suku Sembiring. Laki-laki dan perempuan yang serupa sukunya atau sama-sama Suku Sembiring Kembaren, mereka itu dianggap bersaudara atau berturang.
Lagu dan Tari
Tari (Landek) Karo dengan tari (Tortor) dari Tapanuli boleh dibilang tidak jauh perbedaannya. Lagu dari Bangsa Karo adalah berbagai-bagai ragamnya, yang terutama disukai mereka adalah lagu: Siperbunga Sauh, Si Bolo Bolo, Si Kuda Gara, Tipang Tipang, Gadubang Cit, Pantam Pantam, dan lain-lain.
Sungguhpun berbagai-bagai lagunya, tetapi hal tarinya atau landeknya boleh dibilang hampir serupa sahaja. Lagu dan Tari yang selalu dipertunjukkan diantaranya sewaktu habis memotong padi atau Man Man Lau, dan waktu menempati rumah baru.
Cara-cara mereka bernyanyi tidak banyak bedanya dengan Ronggeng Melayu, berganti-ganti dan berbalas-balasan. Yang disukai pemuda-pemuda jikalau melandek, ialah bertutur atau berturi, untuk mengetahui suku atau Beru Sironggeng.
Tutur dan Turinya itu kira-kira seperti berikut:
Gadis:
Jera lenga sitika tuba
Urat dudurta kabe kurempeh
Jenda dengangsikita jumpa
Orat tuturta la kueteh
Pemuda:
Raga Sabi nulantei jera
raga sabi raga sibarau
Merga kami nuate kena
merga kami merga sikaro-karo
Gadis:
Enggo dirundukan jera
Rundikan serei sereina
Adi enggo ituriken kena
turiken berei-berei na
Pemuda:
Serei serei na nulantei jera
serei sigiring giring
Adi bere berena nu ate kena
Berei bereina simbiring
Gadis:
Dabuh tualah pirang
dabuh hina teger tudungku
Adi ula sikita sirang
kena sitambar lungunku
Pemuda:
Paku enggo kurundiken
Rundiken cengkeru nibaba kena
Adi aku enggo kuturikan
turiken beru nibaba kena
Gadis:
Cengkeru sabi nulantei jera
cengkeru sabi si giring giring
Adi beru kami nuate kena
Beru kami, beru Ginting
Bagi Bangsa Karo yang tidak se suku dinamai ber-impal. Jikalau mereka yang melandak itu se suku atau semarga, pantun itu tidak sampai dipanjangkan mereka. Karena keduanya adalah dianggau bersaudara atau berturang. Tetapi jikalau mereka yang mmelandak itu beri-impal berbagai-bagailah ragamnya nyanyian yang disebut mereka itu, umpamanya:
Pauh gumba jera pauh gumba sabi
sukat sibiring biringen
Daoh kuta kena daoh kuta kami
surat sikirim kirimen
Borilang cinta gumpari
kerekan caleh calehen
Adi sirang kita gundari
kuberekan maneh manehen
Rirang cinta gumpari
barat lawas sabi kalumba sabi
Adi sirang kita gundari
Malarat kap sibegei kami
Rendana sigumba jera
bulung kelawas sipergendangen
Enggo kudahi kukuta kena
Ula melawas simantandangen
Kapas keding belembang buluh
Pieres ires lada jera sitangkei lenga
Melampas medem melawen tunduh
Inget sada, ateku ngena
Urat kenas siranting taganken
urat sirendek jaba rundiken
Muas melehi banci tahanken
ateku metedeh japa turikea
Sarat sibege jera
Garat gatap pulau piandang
Adi malarat sigia kena
tatap terei bulan menganjang
dan sebagainya..
Jika Bangsa Karo hendak menanyakan suku terhadap seorang gadis, tidak ditanyakan merga, mestinya beru: umpamanya; Beru kai kam? dan terhadap kepada laki-laki, baru dikatakan; Kai kin mergandu?
Tentu pembaca mengerti bahasa apa yang kita uraikan di atas ini tidak lengkap sebagai mestinya, karena buku ini tidak dispesialkan untuk menceritakan Adat Karo itu.
====
Lampiran: