Pict: |
Langgam.id – Sebanyak 76 pangulu (tetua/pemuka adat) berkumpul di Bukit Tinggi. Mereka membahas rencana Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Keresidenan Pantai Barat Sumatra[1] dengan Keresidenan Tapanuli menjadi satu gouvernement yang dipimpin gubernur.
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam tulisannya ‘Regionalisme, Hitoriografi dan Pemetaan Wilayah’ dalam Buku ‘Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an’ menulis, rapat yang digelar sejak 23 April 1926 itu, diadakan dua hari sampai ditutup tanggal 24 April 1926, atau tepat 93 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (24/4/2019).
Kesimpulan rapat, kaum adat menolak penggabungan dengan Tapanuli. Alasannya, tulis Gusti, karena hal itu dinilai akan menimbulkan kekacauan dalam negeri. Para pangulu tidak bersedia bila nanti ada orang Tapanuli yang akan menjadi demang atau asisten demang di Pantai Sumatra.[2]
Dalam surat yang sama, kaum adat mengusulkan, “… daripada digabungkan dengan Tapanuli, lebih baik Minangkabau disatukan dengan Jambi dan Kuantan. Sebab, antara Minangkabau dengan kedua daerah itu sudah bertali darah dan berhubungan sejarah sejak waktu yang lama.”
Gusti Asnan menyebut pertemuan tersebut dengan istilah ‘Minangkabauisasi’ Sumatra Barat. Salah satu yang menandainya, menurut Gusti, maraknya penerbitan buku tentang Minangkabau, termasuk sejarah dan wilayahnya setelah pertemuan itu.
Salah satu terbitan tersebut adalah tambo, historiografi tradisional Minangkabau dalam huruf Latin. “Tambo Minangkabau memang dibukukan (dilatinkan) pertama kali tidak lama setelah kongres adat di Bukit Tinggi. Tambo yang diberi judul Tambo Alam Minangkabau diterbitkan pertama kali tahun 1930 dan disusun oleh Jamaan Dt. Batuah,” tulisnya.[3]
Jamaan Dt Batuah adalah salah satu pangulu yang hadir dalam pertemuan 1926 dan ikut menandatangani permohonan pembatalan penggabungan Keresidenan Sumatra Barat dengan Tapanuli.
Di samping daerah yang saat itu menjadi wilayah Keresidenan Pantai Barat Sumatera, masih menurut Gusti, tambo tersebut juga menyebut wilayah Minangkabau termasuk sebagian daerah di Riau dan Jambi, khususnya kawasan sekitar Kampar, Kuantan dan Batanghari.
Pada 1956, menurutnya, tambo tersebut disempurnakan oleh Datuak Batuah dan Datuak Madjoindo. Dalam tambo ini ditegaskan dengan rinci Alam Minangkabau itu meliputi daerah “… mulai dari Sikilang dan Air Bangis, sampai ke riak nan berdebur, pucuk Jambi Sembilan Lurah, sampai ke Tanjung Simalidu, Kuok dan Bangkinang, Siak, Indragiri, Kampar Kiri dan Kampar Kanan.
Dalam tambo 1956 itu, tulis Gusti, penulis melengkapi bukunya dengan sebuat peta tentang Alam Minangkabau, sebuah peta yang sebelumnya tidak pernah dibuat penulis lainnya. “Dalam peta itu terlihat, Alam Minangkabau memang hampir identik dengan daerah administratif Sumatra Tengah (daratan),” tulisnya.
Upaya mengindentikkan Keresidenan Pantai Barat Sumatera dengan wilayah Minangkabau, sebenarnya sudah dimulai Pemerintah Hindia sejak lebih satu abad sebelumnya, yakni pada 1823. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda belum berhasil memenangkan perang dengan Kaum Padri.
Namun, Letnan Kolonel Raaff yang baru saja diangkat menjadi residen menggantikan du Puy, membagi keresidenan menjadi dua. Gusti Asnan dalam Buku ‘Pemerintahan Sumatera Barat, dari VOC Hingga Reformasi’ menyebut, dua distrik itu adalah Padang dan Minangkabau.
“Distrik Padang meliputi daerah di sekitar Kota Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak dan Air Haji. Sedangkan Distrik Minangkabau, mencakup daerah Tanah Datar.”
Ini kemudian menjadi dasar dari beberapa pergantian wilayah adminstratif dalam pemerintahan Hindia Belanda di Pantai Barat Sumatera, sejak dari bentuk keresidenan sampai bentuk provinsi.
Kawasan Tapanuli sudah digabungkan oleh Belanda menjadi wilayah Pantai Barat Sumatera sejak 1841. Penggabungan itu dipertegas pada 1842, ketika Pemerintah Hindia Belanda membagi Gouvernement Sumatra’s Weskust (Pemerintahan Pantai Barat Sumatera) menjadi tiga keresidenan, yakni Padangsche Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden serta Tapanuli.
Padangsche Benedenlanden wilayahnya meliputi wilayah pesisir, sejak dari Pesisir Selatan sampai ke Pasaman Barat. Sementara, Padangsche Bovenlanden meliputi daerah pedalaman Minangkabau atau luhak nan tigo (Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota).
Pembagian tiga keresidenan tersebut, menurut Gusti, mencerminkan adanya pemisahan dua kelompok etnis atau suku utama yang mendiami daerah itu. “Keresidenan pertama dan kedua mencakup ruang lingkup budaya Minangkabau dan keresidenan ketiga merupakan wilayah budaya Batak.”[4]
Pada 1905, Keresidenan Tapanuli dipisahkan dari Gouvernement Sumatra Barat. Sehingga, wilayahnya tinggal dua keresidenan. Dua keresidenan ini kemudian dilebur jadi satu keresidenan Sumatra’s Weskust pada 1913.
Pemisahan Tapanuli dengan dua keresidenan tersebut, menurut Gusti berawal dari ide P. Merkus, komisaris pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat pada 1839-1840. Untuk memudahkan pengawasan dan pembangunan, menurut Merkus, Tapanuli dan Minangkabau mesti dipisahkan dalam dua provinsi yang berbeda.
Usul yang baru terwujud 65 tahun kemudian, pada 1905. “Pengidentikan Gouvernement Sumatra’s Westkust dengan daerah budaya Minangkabau pada tahun 1905 mendapat sambutan positif dari kalangan penghulu Minangkabau,” tulis Gusti.
Para penghulu menyebutkan, ini merupakan perwujudan Minangkabau Raya di bawah Raja Belanda. Pascaperang Padri, kaum adat memang kembali bekerja sama dengan Belanda. “Kerja sama antara kaum adat dan pemerintah itu memang menggiring citra bahwa Sumatra Barat adalah daerah kaum adat.”
Itu juga yang membuat, ketika pada 1918 diberi kesempatan membentuk dewan perwakilan rakyat, diberi nama Minangkabau Raad, bukan West-Sumatra Raad.
Karena itu, ketika ada ide untuk mengembalikan Provinsi Sumatra’s Westkust yang lama dengan menggabungkan Tapanuli pada 1926, kaum adat menentangnya. Penggabungan ini memang akhirnya tak jadi diwujudkan Pemerintah Hindia Belanda.
Saat reorganisasi pada 1929, wilayah Sumatra’s Westkust tetaplah sama dengan 1905. Hanya jumlah Afdeeling-nya saja yang dikurangi menjadi enam, yakni Padang, Kerinci-Painan, Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota dan Solok. Kemudian, dikurangi lagi menjadi lima Afdeeling pada 1935 dengan menggabungkan Kerinci-Painan ke dalam Afdeeling Padang.
Pembagian wilayah administratif inilah yang bertahan, hingga 1942 saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. (HM)
===========
Catatan Kaki Admin:
[1] Dalam tulisan asli (klik DISINI) ditulis Keresidenan Sumatera Barat, sebenarnya ini pemahaman yang salah kaprah terhadap penamaan Belanda; Sumatera Westkust. Westkust diterjemahkan sebagai Barat, padahal sesungguhnya kata ini berasal dari dua suku kata yakni West=Barat dan kust=pantai. Jadi terjemahan sebenarnya ialah Pantai Barat Sumatera. Penamaan Pantai Barat berkaitan dengan sejarah awal mula kehadiran kekuasaan Kolonial Belanda di Pulau Sumatera, kawasan Pantai Barat inilah yang mula-mula mereka kuasai, mereka rebut dari tangan Aceh setelah memperdayai penduduk pribumi. Akhirnya penamaan Pantai Barat tetap dipertahankan walaupun pada kemudiannya (1834) kekuasaan mereka telah mencengkram hingga ke pedalaman Pulau Sumatera.
Keresiden merupakan penurunan dari status Pantai Barat Sumatera yang sebelumnya berstatus Provinsi. Sebenarnya hal ini kembali ke status awal dari Pantai Barat Sumatera yang setelah Perang Paderi dinaikkan menjadi Provinsi dan kembali diturunkan pada sekitar 1914 menjadi Keresidenan.
[2] Sebelum turun status menjadi Keresidenan, terdapat jabatan Laras yang merupakan jabatan tertinggi dalam Birokrasi Tradisional di Pantai Barat Sumatera namun pada Reorganisasi tahun 1914, jabatan ini ditukar dengan Demang dan Demang memiliki Asisten Demang, suatu level yang belum ada sebelumnya.
[3] Tambo merupakan salah satu bentuk historiografi tradisional di Negeri-negeri Melayu dan dikenal dengan berbagai nama, salah satunya ialah Tarombo atau Pustaha, dan lain sebagainya. Bentuk historiografi lainnya dalam tradisi Melayu di Minangkabau ialah Kaba. Yang dilakukan oleh para penghulu pada masa-masa awal abad 20 tersebut ialah menulis curaian Tambo yang telah mereka warisi dari generasi sebelum mereka. Oleh karena itu apabila diperhatikan, masing-masing Tambo yang ditulis oleh penulis yang berbeda akan terdapat beberapa perbedaan pula. Bukan berarti karena mereka yang menuliskan, Tambo tersebut mereka yang mengarang. Dalam Ranah Akademis tentu mereka memiliki teori dan metodelogi salah satunya ialah mengenai pembuktian bahwa tambo tersebut benar-benar curaian bukan karangan, apabila tidak dapat dipenuhi maka dengan serta merta sang ilmuwan akan menuduh bahwa itu merupakan bohong belaka dan tambo tersebut merupakan karangan Si Penulis. Berpulang kepada tuan-tuan sidang pembaca, apakah hendak berfikir moderen atau ilmiah atau hendak diakui sebagai bagaian dari Kaum Terdidik Nan Intelek atau seorang dungu, kampungan, dan tak berpendidikan seperti orang-orang Minang yang berpegang teguh pada Adat dan Syari'at ini?
[4] Hingga kini masih dalam perdebatan oleh saudara-saudara kita di bagian Utara perihal Hakikat dari Batak itu sendiri. Beberapa orang saudara kita, terutama yang beragama Islam tak hendak disebut Batak, mereka menyebut diri mereka Tapanuli, Mandahiling, Angkola, Aru, Karo, dan beberapa nama lain. Memanglah dalam sudut pandang orang-orang di Sumatera Barat, seluruh daerah Utara dipukul rata sebagai Batak. Padahal bagi orang-orang di Utara sendiri, wilayah Mandahiling Selatan atau Madina lebih dipandang mirip atau dekat atau bahkan bagian dari Minangkabau itu sendiri karena terdapat keserupaan agama dan pada beberapa elemen adat mereka. Sebut sahaja agelar 'sutan' yang juga dipakai disana serta asal usul Marga Nasution, Tanjung, dan Lubis yang dikaitkan dengan Pagaruyuang dan Minangkabau. Bahkan di daerah Toba pada beberapa arsip lama didapat istilah "Dato" atau "Datu".