FB Afri Swandi - Dalam Kitab Syamsuzh Zhahirah yang menerangkan tentang nasab fam bin Syahab, nama Imam Bonjol tidak tercantum dalam nasab bin Syahab. Ternyata, nama Syahab dari nama Tuanku Imam Bonjol adalah nama gelar, dan tidak terhubung dengan nasab dari fam Syahab Ba’alawi Al-Husaini. Kalau begitu kemana nasab Tuanku Imam Bonjol, Jika ia bukan bin Syahab? Mengapa Tuanku Imam Bonjol memakai gelar Syarif Muhammad Syahabuddin?. Dari sumber otentik lain ditemukan dikatakan bahwa Tuanku Imam Bonjol juga seorang pengamal tarekat, jadi beliau bukanlah penganut paham wahabi seperti yang ditulis dalam buku sejarah atau berbagai sumber.
Dalam hal ini Almarhum KH. Ali Maksum (Sesepuh NU) menjelaskan bahwa, “Meskipun Tuanku Imam Bonjol bukan dari fam bin Syahab, namun ia adalah masih termasuk Ahlulbait dari Sayyid Muhammad Syahabuddin Al-Husaini seorang Ulama Minangkabau yang lahir tahun 1492 M, dan sampai saat ini keturunannya masih ada”.
Adapun Nasab Sayyid Muhammad Syahabuddin Al-Husaini, sampai kepada Muhammad Rasulullah, adalah sebagai berikut :
Muhammad Rasulullah
Sayyidah Fatimah Azzahra/Fatimah Al Batul
Sayyidina Imam Husain Asshibti/Abu Syuhada
As-Sayyid Imam Ali Zaenal Abidin/Ali Al Ausath/Ali Assajad
As-Sayyid Imam Muhammad Al Baqir
As-Sayyid Imam Ja’far Asshidiq
As-Sayyid Imam Ali Al Uraidhi
As-Sayyid Imam Muhammad An-Naqib
As-Sayyid Imam Isa Arrumi
As-Sayyid As-Sayyid Imam Ahmad Al Muhajir
As-Sayyid As-Sayyid Imam Ubaidhillah/Abdullah
As-Sayyid Imam Alwi Al Mubtakir/Alwi Al Awwal (Cikal Bakal lahirnya keluarga Alawiyyin)
As-Sayyid Imam Muhammad Shahibus Sauma’ah
As-Sayyid Imam Alwi Shahib Baitu Jubair (Alwi Atsani)
As-Sayyid Imam Ali Khali ‘Qasam
As-Sayyid Imam Muhammad Shahib Mirbath
As-Sayyid Imam Alwi Ammil Faqih
As-Sayyid Imam Abdul Malik Azmatkhan
As-Sayyid Imam Abdullah Amirkhan
As-Sayyid Imam Ahmad Syah Jalaluddin
As-Sayyid Imam Husein Jamaluddin Jumadhil Kubra
As-Sayyid Ibrahim Zainuddin Akbar As-Samarqandi
As-Sayyid Maulana Ishaq
Sunan Giri bin Maulana Ishaq
Abdurrahman/ Muhammad Syahabuddin I (Sultan Minangkabau) bin Sunan Giri
(Sumber : Syaikh Yasin bin Isa Al-Faddani, Ulama Besar Makkah, Keturunan dari Sultan Minangkabau bin Sunan Giri)
Dari Buku Api Sejarah, Prof Ahmad Mansur Suryanegara, ada fakta tersembunyi yang diungkap, diketahui bahwa Tuanku Imam Bonjol membuka hubungan dagang dengan Amerika Serikat sehingga masuklah koin emas dari Amerika tersebut ke Minangkabau, dimana masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau hingga hari ini.
Tuanku Imam Bonjol mengadakan kontak niaga dengan Amerika Serikat. Pemerintah Kolonial Belanda berupaya memutuskannya dengan cara memprovokasi pecahnya perang Padri 1821-1837.[1] Dari kontak niaga inilah masuk koin-koin emas (pitih ameh) yang di Minangkabau dikenal dengan sebutan "Ringgit". (Buku Api Sejarah, Jilid 1). Ulama-Ulama di Jazirah Melayu dan juga Alam Minangkabau (Kesultanan Pagaruyung) dalam melakukan perjalanannya berdakwah juga memegang dua hal dalam kesehariannya yaitu Dien Islam dan Perniagaan.
Seorang pencetus gerakan dinar dan dirham pertama di Indonesia adalah keturunan dari Tuanku Imam Bonjol, dimana dia secara pribadi telah melihat silsilah lengkap kakek buyut beliau tersebut secara langsung dari ahli nasab yang memegang silsilah Tuanku Imam Bonjol, dari situ diketahui ternyata Tuanku Imam Bonjol bergaris nasab kepada juga Sunan Giri. (Sumber: Abbas Firman/ IMN/ Dinarfirst)
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama asli Petto Syarif. Lalu mendapatkan gelar Muhammad Syahabuddin.
Beliau adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .
Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772. Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa. Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. “Tuanku Imam Bonjol” adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Tuanku Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.
Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalah gunaan dadah [candu], minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belanda yang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).
Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas Negeri Bonjol. Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama Islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama Islam yang murni.
Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Tuanku Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut “Perjanjian Masang”. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikek.
Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Tuanku Imam Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada tahun 1832.
Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Palakat Panjang”, Tapi Tuanku Imam Bonjol curiga.
Untuk waktu-waktu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Agustus 1837.
Pada tahun 1837, Nagari Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional. Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Tuanku Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Tuanku Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Tuanku Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya.
Riwayat Perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821). Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat. Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah Darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi.[2] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang”, karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah atau Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an).
Sumber :
Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864), Piti Ameh Dan Sunan Giri
=====================
=====================
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Istilah Perang Padri diciptakan oleh Prof Veth, seorang orientalis Belanda yang tidak pernah berkunjung ke Sumatera Barat. Ia hanya mengandalkan laporan-laporan pegawai dan tentara kolonial yang berada di medan perang. Padri itu julukan Prof Veth untuk kaum Islam di Minangkabau. Jelas ini pengistilahan yang sangat keliru, karena asal kata padri adalah "padre"(Spanyol) yang berarti pendeta. Kaum Islam di Minangkabau tentu bukan pendeta. Selengkapnya silahkan kilik DISINI
[2] Terkait "penyerahan Alam Minangkabau" ini, Kaum Adat berdalih bahwa perjanjian itu sendiri tidak sah karena mereka tidak memiliki wewenang untuk menyerahkan Alam Minangkabau. Walau demikian, hukum dimiliki oleh yang menang. Sistem hukum yang dipakai ialah sistem hukum penjajah, bahkan hingga kini.