Gambar: kompas |
FB Minangkabau - Dalam beberapa catatan laporan penjelajah Eropa, ada kesan bahwa—setidaknya—hingga paruh abad ke-XVII, pedalaman Minangkabau yang terletak di dataran tinggi Sumatera Tengah ini merupakan lokasi yang masih sulit ditembus dengan jalan darat karena tenggelam di lekuk-lekuk pegunungan bukit Barisan.
Hal ini terekam dalam catatan perjalanan Thomas Diaz, seorang mestizo berkebangsaan Portugis, yang diutus oleh gubernur Melaka, Cornelis van Quaalbergen untuk mengantarkan surat proposal perizinan dagang Belanda kepada raja Siripada Muda di Pagaruyung pada tahun 1684.
Dalam catatannya, tergambar betapa ekstrem—sekaligus indah—nya kontur geografis Sumatera Tengah yang dilewati Diaz beserta rombongannya dari pesisir timur hingga ke pedalaman Minangkabau dengan memudiki sungai Siak melewati negeri Kampar. Diaz, termasuk orang Eropa—sekaligus Nashrani—pertama yang dengan modal percaya diri dan kemampuan diplomatik mampu menjejakkan kakinya ke jantung Minangkabau.
Selain Diaz, di kurun dua abad kemudian, tercatat seorang Eropa lagi yang pernah menginjakkan kaki ke pedalaman Minangkabau dalam waktu lama yaitu Thomas Stamford Raffles pada tahun 1818. Terlepas dari misi yang diusungnya dari Kerajaan Britania untuk mengunjungi Minangkabau, kedatangan Raffles lebih bersifat ekspedisi travelling bersama isterinya, Sophia, yang dimulai dari Bengkulu via Mukomuko, Indropuro, Padang, Kubuang XIII, kemudian terus menuju Pagaruyung via Singkarak dan Simawang.
Ekspedisi ini mungkin menjadi semacam "perjalanan hati dan spiritual" bagi Raffles yang tiada hentinya mengagumi alam dan budaya orang Minangkabau. Kekaguman ini dia curahkan pada serangkaian memoar yang dikodifikasi oleh isterinya sendiri; "Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles", di mana dalam rangkaian catatan itulah dia membuat pernyataan bahwa Minangkabau adalah "the cradle of Malays", yaitu sebagai asal-muasal dan sumber kekuatan peradaban bangsa Melayu di Sumatera.
Kekagumannya tak berhenti sampai di situ, karena apa yang dia rasakan juga tertuang dalam syair-syair berupa bait-bait prosa dan puisi yang menceritakan pengalaman dan perjalannya selama berada di Minangkabau. Syair itu ditulis atas permintaan Raffles sendiri pada seorang pribumi—yang mungkin telah menjadi sahabatnya—dalam bahasa Melayu beraksara Jawi, sebagaimana yang terangkum dalam "Poem in the Malay Language Descriptive of the Journey of the Lieutenant Governor to Menangcabow in 1818", yang dimuat dalam seri buku antologi perjalanan "Malayan Miscellanies (Volume 1)".
Bait-bait yang lebih dikenal dengan tajuk "Syair Peri Tuan Raffles Pergi ke Minangkabau" ini kemudian disunting dan di-transliterasi oleh Raimy Ché-Ross ke dalam bahasa Melayu beraksara Latin. Saat ini, syair Raffles telah menjadi semacam travelog yang turut berkontribusi menambah kekayaan khazanah literasi dalam manuskrip sejarah Melayu, khususnya Minangkabau.
~Admin