Desa-desa baru yang mereka buka itu kemudian diberi nama sesuai dengan asal para kolonis. Maka, kini di Lampung pun ada daerah bernama Bagelen, Purworejo, Banyumas, Wonosobo, Purbolinggo, Pringsewu, Pacitan, Surabaya,Yogyakarta, Mataram, Bantul, Sidodadi, Sidomulyo, dan lain-lain.
Kesenian Jawa seperti wayang kulit, ketoprak, gending-gending Jawa, tayub, dan reog pun hingga kini juga berkembang di daerah-daerah kolonis di Lampung.
Kini para kolonis Jawa generasi pertama sudah sulit ditemukan karena umumnya sudah meninggal. Namun, hasil kerja keras mereka kini sudah tampak nyata. Antara lain berupa areal pertanian sawah yang subur, perkampungan dan kota-kota baru yang tertata rapi, dan anak cucu mereka yang sukses dalam pelbagai bidang kehidupan.
Meskipun fasih berbahasa Jawa, para anak keturunan para kolonis yang lahir di Lampung mengaku bahwa Lampung sebagai kampung halamannya. Bahkan, tak jarang ada keturunan kolonis yang juga fasih berbahasa Lampung karena sehari-hari mereka bergaul dengan masyarakat asli Lampung.
Belanda memilih Lampung sebagai daerah tujuan para pendatang asal Jawa karena daerah ini sangat luas, sementara penduduknya sangat sedikit.
“Ketika penduduk Sumatera Utara sudah satu juta orang, penduduk Lampung masih kurang dari 150 ribu. Mungkin juga Lampung dipilih karena orang asli Lampung dikenal sebagai masyarakat terbuka terhadap pendatang,” kata Anshori Djausal, salah satu akademikus Unila dan budayawan Lampung.
Proyek “balas budi” pemerintah penjajah Belanda yang dilanjutkan dengan program transmigrasi oleh pemerintah Indonesia kini sudah menuai hasilnya di Lampung. Tidak cuma dengan terbangunnya beberapa kota baru, ratusan ribu hektare sawah beririgaasi teknis, bendungan, aneka bangunan yang mencerminkan budaya modern; tetapi juga terciptanya harmoni antara warga pendatang dengan warga asli.
Memang, riak-riak perselisihan dan kecemburuan sosial masih sering muncul. Namun, semua itu masih bisa bisa diselesaikan masyarakat lokal Lampung maupun masyarakat pendatang. Warga asli Lampung sendiri memiliki kearifan lokal yang mereka junjung tinggi hingga kini.
Kini sudah tak terhitung para anak cucu keluarga kolonis dan transmigran asal Jawa dan Bali menuai sukses di Lampung. Tidak hanya sukses meraih gelar sarjana, para anak cucu keluarga transmigran itu kini juga sudah banyak yang meraih gelar doktor dan profesor.
Universitas Lampung (Unila), perguruan tinggi negeri di Lampung, misalnya, pernah dua kali dipimpin keturunan kolonis/transmigran asal Jawa. Yaitu Prof. Dr. Muhajir Utomo dan Prof. Dr. Sugeng P. Haryanto. Ada juga keturunan kolonis yang menjadi kepala daerah. Misalnya Eddy Sutrisno (mantan Walikota Bandarlampung), Pairin (kini Wakil Bupati Lampung Tengah), dan Lukman Hakim (kini Walikota Metro).
“Peran transmigran sangat penting dalam membangun bangsa dan negara. Makanya, saya selalu memberi semangat kepada para anak transmigran agar bangga menjadi anak transmigran. Sebab, mereka telah menjadi pelopor pemersatu lintas etnis, budaya, dan agama di Indonesia,” kata Prof. Muhahir Utomo, yang juga ketua Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Anak Transmigrasi Republik Indonesia (PATRI).
Muhajir menolak program transmigrasi diidentikkan dengan Jawanisasi. Menurut Muhajir, transmigrasi yang menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia, pada era reformasi terbukti menjadi perekat persatuan Indonesia.