Sumber Gambar: https://www.facebook.com |
Bertahan Yah, Sejawat dan Nakes [Tenaga Kesehatan] Dimanapun Berada
==========
Dering WA [Whtasapp] berbunyi : "Dek, tolong konfirmasi segera, apakah benar.. meninggal karena Covid-19?"
"baik dok..segera!" ( text [pesan] dari salah satu petinggi TNI [Tentara Nasional Indonesia] di Rs. DC19, memforward barisan kalimat belasungkawa salah satu sejawat yg meninggal)
Selama 20 menit, saya mencoba mengkonfirmasi ke sumber yg terpercaya, dan mengirimkan kembali text padanya "Izin dok, betul adanya dan sebelumnya adik sejawat tersebut pun sudah mendahuluinya dengan kasus yg sama". text terbalas " hmmš¢..Innalillahi, adik kelas diangkatan saya xxxxx ".
Saya menghela nafas panjang, dan hanya ikut menabahkan beliau dengan text singkat turut belasungkawa. Sembari bergumam "Bertambah lagi kini sejawat yang berguguran, dan belum masuk hari ke-50 Indonesia menghadapi serangan Covid-19".
Betul, bahwa tren kunjungan Covid -19 per beberapa hari ini menurun. Bahkan, semalaman saya mengkroscek beberapa rumah sakit rujukan. Hasilnya sama, angka kunjungan dan rawatan hanya sekitar 5-10 pasien. Bahkan di Rs. DC sendiri, kunjungan yang biasanya 40 -70 pasien per hari. Sudah seminggu ini, trennya makin menurun 10-20 pasien saja. Di satu sisi berharap benar adanya, kondisi ini makin membaik. Bukan fiktif belaka..Aamiin
Tapi disisi lain, melihat tingginya angka kematian sejawat dokter, guru besar dan nakes lainnya. Saya kemudian menjadi takut dan khawatir, beberapa diantaranya bukanlah yg berhadapan langsung dengan pasien di IGD [Instalasi Gawat Darurat] atau Triage Covid. Mereka hanya sejawat praktik mandiri, atau spesialis dibagian lain yang tentu tidak berhubungan secara langsung atau khusus dengan Covid-19. Tetapi bisa meninggal dengan terinfeksi kasus yg sama. Bahkan beberapa diantaranya para guru besar yang kami hormati dan negara ini punyai. Jika demikian, apa yang salah? Apakah pasien yg datang berobat tak jujur? Ataukah mereka memang tak pernah tahu kondisinya? APD yg krisis? Atau kami yang lalai?
Banyak kemungkinan - kemungkinan yang lahir dari setiap akibat Covid-19 ini. Kerumunan yang masih tinggi, belum lagi musim mudik, dan lain-lain yang membuat saya bergidik. Menggenapkan kekhawatiran saya.
Belum lagi, pasien yang datang dengan gejala fisik yang menipu, dengan perjalanan klinis yang cepat skali berubah, dan konfirmasi hasil diagnostik lainnya yang membuat kami terkaget-kaget, memberat hanya dalam hitungan hari bahkan jam. š¢š¢..begitu banyak yang membuat saya tak mampu berpikir, dengan setitik ilmu profesi yang saya miliki.š¢
Orang sehat, tampak baik bisa ( + ) covid (OTG-Orang Tanpa Gejala), mual-muntah, atau mata merah ternyata ( + ) covid. Atau, saturasi yang bisa berubah cepat hanya dengan hitungan jam, angka saturasi ( kepekatan ) oksigen yang dicek dengan " pulse oximetry " dan AGD, bisa berbeda sampai 50 % ( bukan alat yang rusak ). Lagi - lagi tertipu!
Seperti 4 malam lalu, pasien usia 23 Tahun, yah..masih muda, usia yg sangat produktif. Mengeluh sesak tiba - tiba, hanya 2 jam setelahnya, kami berusaha memberikan pertolongan. Saturasinya turun dari 95 % menjadi 60% dan kemudian henti jantung. Beradu dengan malaikat maut dan kalah, takdir kematian menjemputnya.
Saya menangis semalaman, sedih sekali. Pasien ini dirawat sudah 5 hari lamanya, disetiap akhir bincang saat visite, dia hanya berucap "Dok, saya berharap nanti kalau sembuh, dan kalau Corona ini sudah enyah, saya mau bertemu dokter tanpa penutup badan lengkap seperti itu yah, pengen selfie, kalau sekarang gak keliatan muka" saya mengangguk tanda setuju, sambil tertawa kecil mengucapkan "sok [ayuh], sekarang makan yg banyak".
Kini, tak bisa lagi. Harapannya kandas. Bahkan menyampaikan pesan ke keluarganya pun saya tak kuasa. Sejawat yang lain. Air mata mengalir, mengupayakan penghormatan dan mendoakannya menuju perjalanan berikutnya dengan sisa tenaga dan bermandikan keringat.š¢
Saat itu hanya memahami satu hal. Setelah usaha yang dilakukan, dibelakang kami berbaris peti dan juga panduan pemulasaran menuju TPU [Tempat Pemakaman Umum] yang ditetapkan negara (Pondok Ranggon & Tegal Alur), bergabung menjadi satu dengan mereka yg mendahului. Tak ada lagi hantaran, kerabat dan keluarga bergotong royong mengangkat keranda jenazah, atau lafaz doa pengantar jenazah yang terdengar indah dan sayup saling bersahutan seperti dulu. Yang ada, sunyi senyap berteman tangis, dalam diam dan juga doa dari tempat yang berbeda.
Sedangkan disini, sirine ambulance Jenazah Mengiringi pasukan ber APD lengkap dengan hati yang terus gelisah, berharap suatu saat bukanlah nasipnya yang berada ditempat tersebut. š¢
Jika sudah begitu, tak lagi ada daya upaya, kegelisahan terus ada dalam tidur malam kami. Hotel bintang 5 dengan segala fasilitasnya, tidak mampu meredamnya. Setiap menitnya, kami berlomba dengan kesedihan juga harapan yang kami pecut untuk diri sendiri, tak lagi mengingat waktu, bahkan nama hari. Berharap bisa melakukan yang terbaik untuk situasi ini.
Akhir coretan ini, mari terus berikhtiar teman sejawat dimanapun berada. Bertahan yah..terus berupaya walaupun banyak yang " gugur bunga ". Jangan lupa APDnya, dekontaminasi ketat. Jangan lupa!
Saya bagikan sedikit quote penyemangat yg selalu menemani saya bertugas
" YAKIN USAHA SAMPAI "&" ALL IS WELL "
Semua akan baik - baik saja suatu hari, dan terus berbaik sangka, kita akan bisa bertemu di suasana hangat dalam canda tawa silaturahim lagi seperti dulu. Merindu kalian semua..
WALAUPUN DILUAR SANA BANYAK MASYARAKAT BELUM MENYADARI, BETAPA MEREKA SAAT INI DIBUTUHKAN KEHADIRANNYA SEBAGAI GARDA TERDEPAN MEMERANGI COVID19 bukan lagi kami!
BAHWA MEREKA BISA LAKUKAN INI :
#BERDOA
#STAYATHOME
#JANGANLUPAMASKER
#JAGAJARAK
#BERSAMALAWANCovid19
Selamat Jalan, selamat jalan.. salam penghormatan bagi seluruh guru besar, prof, senior, sejawat yang mendahului. Semoga kami mampu melewati semuanya. šš
By: Dokter Tati Bangsa
________________________________
Disalin dari kiriman Facebook Tati Bangsa
Diterbitkan pada 09 April 2020