Gambar: https://niadilova.wordpress.com |
Nama “Toean/Engkoe Mara Soetan” sering dijumpai dalam banyak sumber
pertama tentang dunia intelektual Minangkabau pada akhir abad ke-19 dan
paroh pertama abad ke-20, tapi jarang kita melihat gambarnya. Karena
itulah rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan fotonya yang ditemukan dalam lipatan-lipatan majalah dan buku tua di Leiden.
Mara Soetan (atau Marah Soetan) adalah seorang intelektual
Minangkabau pekerja keras. Ayah angkat Mohammad Sjafei (pendiri INS Kayu
Tanam) ini banyak menulis buku-buku (juga dengan orang lain) untuk anak
sekolah. Beberapa buku karangannya kini masih tersimpan di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda, seperti Djalan ke–Timoer (1928), Boenga Tjoelan (4 Jilid) (1933), Pelita (2 jilid) (1938), Soear (1939), dll. Oleh sebab itu namanya dikenal luas di kalangan guru-guru sekolah rendah pada masa itu.
Riwayat hidup Mara Soetan penuh liku perjuangan dan sering
berpindah-pindah. Terdapat catatan yang berbeda-beda mengenai tarikh
lahir Mara Soetan. Sumber ini (Pandji Poestaka) menyebutkan bahwa dia lahir di Padang tahun 1872. Sementara Tamar Djaja dalam Orang-orang Besar Indonesia[Djakarta:
Bulan Bintang, 1966:628] menyebutkan bahwa dia lahir di Kayu Tanam
tahun 1863. Sedangkan Mohamad Sjafei yang menjadi editor kumpulan puisi
karangan Marah Soetan sendiri yang berjudul Rindu dan Pudjaan
(Padang: Sridharma, [1955]) mencatat bahwa Mara Soetan (yang dipanggil
Sjafei ‘Inyiak’ [Kakek]) lahir tahun 1853 tanpa menyebutkan tempat
lahirnya. Ayah Mara Soetan berasal dari Kayu Tanam dan ibunya seorang
keturunan Jawa dari Pasuruan. Jadi, dia lebih sebagai anak pisang manjingkia orang Minang. Tahun 1890 dia tamat dari Kweekchool
(Sekolah Raja) Fort de Kock, kemudian diangkat menjadi guru di Padang.
Tahun 1895 dia dipindahkan ke Sukadana, kemudian ke Teluk Betung tahun
1897, lalu ke Gunung Sugih, semuanya dalam wilayah Keresidenan Lampung.
Mara Sutan giat mengajari murid-muridnya bekerja dan berikhtiar mengolah
negeri yang subur, ide yang kemudian terwujud di INS Kayu Tanam melalui
karya nyata anak angkatnya, Mohammad Sjafei. Di Lampung Mara Soetan
antara lain mengajar murid-muridnya dan penduduk memelihara ulat sutra.
Tahun 1902 Mara Soetan pindah ke Padang, atas permintaan orang
kampungnya untuk memimpin perkumpulan “Medan Perdamaian” dan juga
memajukan seni satra dan tonil. Tapi tak lama kemudian dia dipindahkan
lagi ke Idi di Aceh. Kemudian dia dipindahkan lagi ke Pontianak tempat
dia berusaha memajukan tenunan Sambas. Di sana dia mendapat seorang anak
angkat, Mohammad Sjafei, yang kemudian dikirimnya belajar ke Kweekschool
Fort de Kock. Setelah 4 tahun di Pontianak, Mara Soetan dipindahkan ke
Batusangkar. Tapi tak lama kemudian dia pindah pula ke Sambas. Usahanya
memajukan tenunan Sambas kurang berhasil, sampai kemudian dia berhenti
tanggal 1 Oktober 1913 dan minta pensiun, lalu tinggal di Betawi
(Batavia), di Gang Aboe. Di sana dia masuk ke dunia jurnalistik, tapi
tetap bekerja untuk kemajuan ekonomi rakyat, antara lain membantu ‘Taman
Manikam’, yaitu kumpulan saudagar-saudagar ternama di Surabaya (Sinar Sumatra,
23 Januari 1914). Hobi tulis-menulisnya mendapat penyaluran lagi. Pada
1903 dia mendapat hadiah arloji emas dari Snelpersdrukkerij (Percetakan)
Insulinde pimpinan Dja Endar Moeda (profilnya telah diturunkan dalam
rubrik ini edisi 4 Juli 2011) atas dedikasinya terhadap surat kabat Pertja Barat (Padang) yang diredakturi oleh Dja. Kemudian Pertja Barat juga menghadiahinya seperangkat tempat tinta perak. Sampai 1904 Mara Soetan juga menjadi penulis tetap untuk koran Taman Sari (Betawi).
Di Betawi Mara Soetan menjadi redaktur Tjahaja Hindia (mulai 1 Januari 1914) yang dinakhoadai oleh Landjoemin gelar Datoek Toemenggoeng (lihat Minang Saisuak, 6 April 2014). Setelah itu dia juga menjadi redaktur harian Pamitran yang dicetak oleh Indonesische Drukkerij. Dia juga menjadi redaktur Majalah Theosofie yang
‘diterbitkan pada kantor tjitak “Naaml[oze] venootschap Indonesische
Drukkerij & Translaatbureau-Goenoeng Sari’” no. 28 Waltevreden (sic)’ (Sinar Sumatra, 23 Januari 1914). Surat kabar terakhir yang dieditorinya adalah Modjopahit, menjelang selesainya Perang Dunia 1. Waktu itu dia juga menjadi wakil pengurus (vice-voorzitter) Vereeniging Insulinde cabang Betawi dan wakil pengurus koperasi yang didirikan oleh Douwes Dekker senior (ayah Douwes Dekker).
Mara Soetan juga diminta menjadi guru Bahasa Melayu untuk orang
Belanda. Cita-citanya untuk mendirikan sekolah pertukangan tetap tidak
dilupakannya, sebagaimana disampaikannya kepada Mohammad Sjafei
menjelang keberangkatan anak angkatnya itu ke Belanda pada tahun 1922.
(Sjafei kembali ke Hindia Belanda tahun 1925).
Masih banyak lagi usaha yang dilakukan oleh Mara Soetan untuk
memajukan kaum sebangsanya, termasuk menyekolahkan cucunya Baharoe’ddin
dan beberapa murid INS Kayu Tanam untuk belajar fotografi, melukis, dll.
Sementara itu dia tetap aktif dalam berbagai organiasi, antara lain
menjadi ketua Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI), dll. (lihat Pandji Poestaka, No. 16, Thn X, 7 Juni 1932:715, juga dua edisi sebelumnya).
Tentang perawakan dan tabiat Mara Soetan, Tamar Djaja (1966:627-8), mengutip tulisan Tjiptoning di mingguan Minggu Pagi (1954), menulis:
Seorang ahli bahasa Melaju jang mahir.
Ahli pendidik jang telah banjak berdjasa dalam dunia pendidikan.
Pengarang jang pandai menjusun kata-kata dalam berbagai bentuk[,]
terutama dalam dunia taman kanak-kanak. Karangannja dipakai dalam
sekolah2 negeri di zaman pendjadjahan dan dipergunakan oleh
pemerintah mendjadi peladjaran utama. Kehidupannja sehari-hari,
sederhana dan tak pernah berlebih-lebihan, baik tentang pakaian maupun
dalam kehidupan rumah tangga. Sebagai manusia, ia adalah seorang jang
banjak berbuat budi dan membantu orang jang mengharapkan bantuan,
sosialnja banjak. Diantara anak2 [angkat]nja jang banjak itu,
Moh. Sjafei adalah jang paling dikasihinja, sehingga achirnja mendjadi
ahli pendidik jang besar di negara kita. Terkenal [sebagai] seorang
pendidik jang berdjiwa nasional penuh. Badannja ketjil dan pendek[,]
perawakannja agak kurus tetapi djarang sekali mendapat sakit. Selain
seorang guru, ia selalu menulis. Menulis untuk madjalah dan menulis
untuk buku peladjaran. Honorarium bukunja banjak, dan dari situlah
sebenarnja ia hidup sekeluarga jang besar sampai dihari tuanja. Bukunja
banjak diterbitkan oleh J.B. Wolters, penerbit Belanda jang terkenal
besar di Djakarta. Pakaiannja tak pernah berobah dari petji Padang, djas
tutup, sarong dan sandal (lihat foto). Kemana sadja ia pergi,
pakaiannja tetap demikian. Sikap hidupnja jang demikian itu pindah pula
kepada anaknja Moh. Sjafei jang sampai sekarang terus memakai djas
tutup, sarong dan sandal disetiap zaman dan kedudukannja.
Tamar Djaja (1966:629-31) juga mencatat bahwa Mara Soetan pernah
punyak satu anak bernama Hannibal, tapi anak itu meningga selagi masih
kecil. Oleh sebab itu ia mengadopsi beberapa orang anak dan sangat
mengasihi mereka, termasuk Moh. Sjafei yang aslinya berasal dari Kediri.
Anak angkatnya yang lain bernama Sukardi yang pernah menjadi inspektur
di Kementerian PPK. Setelah Moh. Sjafei pulang dari Belanda pada 1932,
satu anak angkat Mara Soetan yang lain juga disekolahkannya ke Belanda,
tapi anak itu kawin dengan wanita Belanda, membuat ia jadi kecewa. Di
rumahnya di Gang Aboe, Jakarta, Mara Soetan sangat dihormati oleh warga
karena keintelektual dan kedermawanannya.
Demikianlah sekelumit riwayat hidup Ibrahim Gelar Mara Soetan.
Intelektual Minangkabau yang sederhana itu meninggal di Jakarta pada
hari Rabu 29 Maret 1954 dalam usia 97 tahun (lihat: De Locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad [Semarang], 02-04-1954; Het Nieuwsblad voor Sumatra
[Medan], 02-04-1954; Tamar Djaja 1966: 633). Tentunya Ibrahim Gelar
Mara Soetan patut pula dicatat dalam direktori orang Minangkabau di
panggung sejarah.
Suryadi – Leiden, Belanda (Sumber foto: Pandji Poestaka, No. 44, Thn X, 13 Mei 1932:678) | Singgalang, Minggu, 19 Oktober 2014
____________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri: Niadilova.wordpress.com