Kolonel Ahmad Yani sukses memimpin penumpasan PRRI di Sumatera Barat. Tidak lama setelah operasi berhasil digelar, hari raya lebaran pun tiba.
FEBRUARI
1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dimaklumatkan
di Bukittinggi, Sumatera Barat. Beberapa saat usai pengumuman itu,
Presiden Sukarno segera memanggil Kolonel Ahmad Yani ke Istana Negara.
Sebuah tugas militer penting dilontarkan: operasi militer menumpas PRRI,
sekaligus meminta Yani untuk memimpin pendaratan pasukan TNI di Padang.
Perintah itu langsung direspons secara positif. Yani mengatakan
kepada Presiden Sukarno, “…bagi saya hanya ada dua alternatif, pertama:
terkubur di dasar lautan dan kedua, mendarat di Padang,” demikian
seperti dituturkan Kolonel Suhardiman kepada istri Yani, Yayu Rulia
Sutowiryo dikemudian hari dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan.
Yani menyanggupi lantas membentuk staf komando operasi gabungan
dengan sandi “17 Agustus”. Operasi itu melibatkan tiga matra sekaligus:
Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).
Sebagai pendamping, Yani dibantu oleh Letkol John Lie dari AL dan Letkol
Wiriadinata dari AU.
Hari pendaratan ditetapkan 17 April 1958. Selama sejam sejak pukul
05.00 dini hari, penembakan dilancarkan oleh kapal-kapal perang TNI AL
ke titik pendaratan. Dua puluh lima menit kemudian pesawat “Red Flight”
TNI AU melakukan penembakan disusul dengan pemboman oleh pesawat “Blue
Flight” di tempat yang sama. Serangan udara ini terutama ditujukan ke
lapangan terbang Tabing. Sejurus kemudian pasukan dari KKO mengawali
pendaratan di pantai Padang. Siang hari, seluruh pasukan gabungan
berhasil memasuki Padang. Operasi ini hanya memakan satu korban di pihak
TNI yang berasal dari Pasukan Gerak Tjepat (PGT) TNI AU.
Operasi pendudukan berlangsung selama satu setengah bulan; lebih
cepat dari yang diperkirakan yakni tiga bulan. Kota-kota penting seperti
Padang, Solok, Payakumbuh, dan Bukit Tinggi berhasil dikuasai TNI. Pada
masa awal pendudukan, suasana kota terasa mencekam dan lengang karena
banyaknya penduduk yang mengungsi. Di Padang misalnya, banyak masyarakat
yang mengatakan, “tentara Sukarno datang,” tulis Yayu.
Namun, lambat laun situasi keamanan mulai terkendali. Pada 24 Mei
1958, sebanyak 500 prajurit PRRI menyerahkan diri. Secara militer,
perlawanan PRRI telah dipatahkan.
Menurut catatan Abdul Haris Nasuiton yang saat itu menjabat Kepala
Staf TNI AD sebenarnya PRRI tak lama lagi akan mendapat pesawat-pesawat
Bomber-26 dari Amerika. Itu berarti lebih mampu dari B-25 yang dimiliki
TNI AU. AU memperhitungkan, dengan B-26 mereka akan dapat membom Medan,
Pekanbaru, dan Palembang.
“Jika timing mereka lebih tepat dan menyesuaikan
proklamasinya dengan itu, maka peta militernya akan lain jadinya.
Syukurlah, tidak terlambat kami mendarat!” ungkap Nasution dalam
memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua.
Tidak lama setelah operasi berhasil digelar, hari raya lebaran pun
tiba. Salah seorang staf dari pusat kerohanian (Pusroh) memberikan
masukan agar Yani dan para komandan batalion mengikuti shalat Id di
lapangan bersama rakyat.
“Orang Padang menyegani seseorang yang sembahyang,” kata staf itu sebagaimana dikutip Nasution.
Namun, Yani menampik. “Orang tahu bahwa saya jarang sembahyang. Kalau
saya sembahyang, bukanlah untuk dipuji orang, tapi adalah karena
Tuhan,” ungkapnya.
Menurut Nasution, jawaban Yani tersebut merupakan cermin kejujuran
pribadi sang perwira. “Sahutan Yani adalah karakteristiknya,” tulis
Nasution.