Sumber Gambar: https://www.google.com |
Oleh : Andiko Sutan Mancayo
andi.ko.ko@gmail.com
andi.ko.ko@gmail.com
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/kokang.php
Sebentar lagi senja akan turun. Langit di penghujung petang itu semerah saga. Kabut mulai bergayutan diantara pokok-pokok kayu hutan. Angin dingin mulai menuruni punggung perbukitan, berlarian, semilir menyibak rerumputan. Di kaki bukit kecil itu memintas jalan. Lengang sisinya berpagarkan pokok-pokok kembang sirangak. Bunganya kuning cerah melambai, tetapi hampir semua bagian dari bunga itu mengandung rasa pahit yang tak terkira.
Angin senja itupun membawa rasa getir pada raut muka dua lelaki muda yang berdiri saling berhadapan dengan tatapan menikam. Di tangan mereka terkokang dan teracung senjata yang siap merenggut nyawa masing-masingnya. Diantara pertemuan kedua bedil yang siap menyalak itu, pada jarak yang tak lebih dari empat langkah, memori saling berlarian. Dua bocah kecil saling bergelut di sudut Surau Tua.
Udiinnnnnnnnnnnnnnnnnn !
Samsuuuuuuuuuuuuuuuuu !
Samsuuuuuuuuuuuuuuuuu !
Kemari Kau !.
Teriakan parau di pintu surau itu menggema mengisi lembah. Kemudian tebing di hadapannya seperti memantulkan gema panggilan itu dan
menyentak, menggedor gendang telinga kedua anak kecil, sahabat karib
itu. Udin berjalan tertunduk menyimpan rasa khawatir atas kemarahan Mak Muncak, guru mengajinya.
Sementara di belakangnya, Samsu tergopoh-gopoh, bergegas sembari memperbaiki letak sarung Bugih usang ayahnya dan kupiah lecek yang telah menguning. Sarung dan kupiah usang yang selalu menemaninya mengeja alif, ba, ta di surau itu bersama sahabat setianya, Udin, si lelaki kecil banyak akal.
Lelaki duda nyaris tua itu berdiri tegak di tangga surau mengawasi kedua kurcaci kecil yang selalu membuat dia susah menahan kemarahan. Seringkali puasa sunatnya rusak sekeping karena begitu marahnya kepada kenakalan dua orang murid yang dikasihinya. Tetapi meskipun ia sangat mengasihi kedua bocah itu, tetapi ia harus marah untuk memberitahukan mana yang benar dan mana yang salah.
Ah.
betapa nakalnya kedua anak itu.
Telah berkali-kali kedua mahluk itu membuat ia susah. Ada saja tingkahnya, kalau tidak menyembunyikan tengkelek para orang tua yang bersembahyang magrib di surau, pastilah ia akan menunggu anak perempuan pulang mengaji dan menakut-nakutinya dari balik semak dengan bergelumun kain sarung.
Kemarin lalu, ada lagi tingkahnya, ketika Mak Muncak selesai membaca
surah Alfatihah disaat rakaat pertama sholat Isha, kedua anak itu
seperti penyanyi tenor dari Itali, dengan serempak mereka
menyahut,.........
Aaaaaaaaaaaaaaammmmmiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
!
Mereka meneriakkan kata amin demikian panjang, hingga Mak Muncak
tertegun-tegun untuk masuk ke pembacaan ayat di pertengahan rakaat
pertama. Teriakan itu dilakukan dengan segenap irama keindahan yang mereka
yakini, meskipun mengkhianati tangga nada resmi ala padang pasir, tapi
mereka tak peduli, sehingga di telinga Mak Muncak, irama yang keluar
dari kedua muridnya itu, lebih tepat terdengar sebagai lolongan !
Dan akibatnya, setelah selesai segala zikir dan doa, kedua pendekar
nakal yang membuat pusing itu, harus berhadapan dengan persidangan
kecil. Hukumannya standar, yakni, kedua telapak tangan mereka di hadiahi pukulan rotan. Oh ya, rotan, ya rotan !.
Kedua rotan kecil itu adalah syarat mengaji ketika kedua bocah itu diserahkan oleh orang tuanya kepada Mak Muncak. Anak anak ini agar diajari al Qur-an, supaya menjadi anak beriman dan patuh kepada guru dan orang tua. Pada kedua bilah rotan itu tersimpan pesan, jika sang anak menyimpang, Mak Muncak berhak melecuti.
Rotan itu adalah simbol penyerahan pendidikan sekaligus hak untuk menghukum kepada Mak Muncak, duda penguasa surau di sudut kampung. Dan kali ini, kedua pendekar kecil itu telah membuang simbol kekuasaan yang biasanya dipakai Mak Muncak untuk menghukum kenakalan mereka itu.
Kedua rotan itu telah dihanyutkan ke sungai kecil di samping surau, terbawa kehilir. Mereka membuangnya dan karena itulah Mak Muncak murka !.
Kali ini ia telah bersiap di pintu surau dengan alat pengganti murah meriah, berupa ranting bambu !.
Surau kecil yang penuh kisah itu telah membesarkan Udin, Samsu dan Rukiah. Udin dan Samsu tumbuh menjadi remaja yang cekatan, pintar mengaji dan
tentunya menguasai jurus-jurus silat pusaka kampung mereka, yang
diturunkan oleh Mak Muncak.
Silahkan hadang mereka dengan Karate atau Judo, cukup dengan dua kali gelek silat Tuo, mereka akan lolos dari serangan. Atau kalau mereka ingin sedikit memberikan pelajaran, maka turunlah
kuncian Silat Sitaralak yang cukup membuat mulut pencong pencong
meringis menahan nyeri.
Rukiah tumbuh diantara segala kesucian ayat-ayat al Qur-an yang melantun merdu dari kedua bibir yang nyaris sempurna. Irama segala ayat yang dihantarkan dengan kemerduan senandung gadis
dusun yang jernih, sanggup mengundang malaikat bertandang ke surau itu. Ia telah menjelma menjadi bidadari di antara lilitan kerudung putih
bersulam, seperti lilitan kain putih yang menutupi mahkota para
gadis-gadis Diniyah Putri.
Kecantikan dan kesalehannya telah membuat para pemuda di nagari itu, susah tidur. Termasuk kedua begundal kecil yang telah menjelma menjadi pemuda tampan itu. Diantara ketiganya ada sesuatu yang tak terkatakan, karena selalu ada senyum yang sama. Senyum yang ditikamkan Rukiah pada jantung keduanya, jauh sejak mereka
masih anak-anak yang berlarian di pematang sawah, mengejar capung dan
kupu-kupu, atau menelisik pematang mencari belut dan ikan-ikan liar.
Keduanya berlomba membuat Rukiah kecil tersenyum, meskipun terik matahari kadang membakar kuning gading kulitnya.
...... 10 tahun sesudah itu ....
Kretek!!!!!
Bunyi ranting kering terinjak membuyarkan kenangan kedua lelaki itu. Pegangan pada popor senapan masing-masingnya semakin mengeras, sekeras wajah keduanya. Ada bola api yang terpancar dari kedua sorot mata dan berusaha saling membunuh. Guratan kerasnya pertempuran, terbayang jelas dari pada kerutan kering wajah-wajah itu.
"Udin !, menyerahlah, tiada guna perlawanan tak berarti yang kau lakukan ini. Bukittinggi telah jatuh dan para pemimpinmu telah melarikan diri masuk hutan. Tidak mungkin kalian akan menang menghadapi kami, meski Amerika sekalipun di belakangmu.."Samsu mendesis.
Udin menghela nafasnya dan balas menatap, kemudian berucap "Tak berguna
kau Samsu !, kau datang seperti bala bersama kawan-kawanmu dan kau
perangi tidak hanya aku !, tetapi juga ibu, bapak dan mamak-mamakmu !,
sungguh tak tahu membalas budi !, Mak Muncak akan bangkit dari kubur
menghukummu, anak durhaka !" Samsu, tersentak, kemarahan seperti bergelombang berdenyut dari jantungnya.
Kemudian aliran itu merambati lengan, menurun ke siku dan seolah memberikan perintah kepada jarinya yang mengalungi pelatuk untuk menekan, dan dapat ia pastikan, lelaki didepannya akan roboh.
"Udin !-, sekali lagi aku katakan, menyerahlah !, apa yang kalian
lakukan adalah perbuatan makar !, memberontak kepada negara ini yang
didirikan oleh anak-anak yang lahir dari rahim Merapi dan di besarkan
Singgalang."
"Tidakkah kau sadar Udin !"
Udin mendengus, ia berbicara perlahan. Sambil menahan nafas dan menghasilkan suara mendesis dengan penekanan yang tentunya setiap orang tahu, itulah cara ia melepaskan segala kemuakan."Apa yang kau tahu tentang negeri ini Samsu !, kau hanyalah seorang prajurit rendahan yang dikirim pulang untuk menghukum negerimu, kau ada di bawah perintah."
"Apa yang kau tahu tentang politik !, apa yang kau tahu tentang ketimpangan !, dan apa yang kau tahu tentang apa yang sudah dilakukan oleh mereka kepada kami!" Samsu seperti tertohok dan menjawab.
"Udin, aku membela negara ini agar bisa terus tegak !, agar orang-orang sepertimu bisa berjalan dengan damai, aku tidak membela siapa-siapa dari orang orang yang kau benci, aku ingin meluruskan apa yang kalian perbuat." Samsu menukas.
"Kalau kau ingin meluruskan, mengapa kau datang membawa perang yang tak
tertanggungkan oleh saudara-saudaramu disini !, jangan berlindung di
balik seragammu. Di nadimu, mengalir darah yang terbentuk dari gemuruh batang Sinamar, buihnya batang Bangkaweh dan derasnya arus Batang Agam! Seorang hakim sekalipun tak akan menghukum orang dengan berlebihan,ingat itu Samsu !" Samsu tak sabar kemudian berteriak
"Tapi kalian pemerontak!"
Seperti berkejaran dengan itu, sebelum habis kalimat yang dilontarkan Samsu, Udin menukas "Jangan naif sanak!, pemberontak atau bukan, itu hanya soal siapa pemenang dan siapa yang menulis sejarah itu." Samsu tercekat mendengar kata -sanak- yang sengaja diberikan penekanan oleh Udin.
Sejenak mereka saling tatap, ujung senapan masing-masingnya mengendor dan sedikit tertunduk ke tanah. Samsu menghela nafas, tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan bertanya "Rukiah kemana ?, bukankah telah kau ambil senyumnya dari tidurku, Udin ?"
Udin bergeming, awan hitam yang mengantar senja berarak dan singgah di wajahnya. "Untuk apalagi kau Tanya Rukiah !, kalaupun dia ada disini, dia tidak akan sudi melihatmu! Kau tuduh pula aku yang mengambil Rukiah, bukankah telah kau ambil segala senyumnya, hingga tak bersisa, kemudian kau bawa pergi menyeberang lautan.."
Udin menggigil menahan gemuruh di dadanya, ingin rasanya ia muntahkan
peluru pada magazin terakhir menyiram tubuh lelaki di hadapannya,
dinding tebal politik yang berdiri kokoh di antara mereka telah
membuatnya tak lagi mengenal lelaki itu, sahabat kecilnya. Samsu menghela nafas, kedua gerahamnya bergelatuk, mengeras, segera ia menukas
"Udin-, bukankah kau yang ingin memiliki senyum itu untukmu sendiri !,
dan kau campakkan aku pada kesakitan yang tak ada obatnya !, hingga tak
tertanggungkan olehku hidup di nagari ini. Jika kulepas Rukiah kepadamu, maka aku akan mati memudiki
nagari-nagari, tetapi jika aku ambil semua senyum Rukiah, kau akan
merana sahabat !, tetapi kenapa kau tidak memiliki perasaan yang sama
denganku !, karena itulah aku memilih pergi"
Udin termenung, dalam diamnya kemudian ia bergumam "Sahabat kecilku, karena kaulah, tak pernah aku wujudkan inginku memiliki sendiri senyum Rukiah. "Aku tanggungkan rindu bermalam-malam, pagi yang tak berarti, hingga
siang yang memanggang, aku diracuni rindu itu, tetapi aku tahu, dihatimu
yang terdalam, Rukiah juga bertahta, kita bersilat dalam diam, hanya
batin saling tikam.
Samsu tidak sabar untuk tahu lebih jauh dan ia menukas dengan pertanyaan "Lalu, dimanakah Rukiah?"
Perlahan di keremangan senja yang semakin mengejar pintu malam, Samsu
melihat setetes cairan mengalir dari sudut pelupuk mata sahabatnya. Lelaki kokoh itu ternyata menangis dan lama-lama ia melihat bahu lelaki itu berguncang perlahan. Tak pernah ia saksikan sahabatnya itu menangis sejak mereka kecil. Mereka selalu memenangi perkelahian dengan anak-anak nagari tetangga dan
membuat mereka menjerit-jerit menangis pulang ke rumah ibunya. Tetapi kali ini sahabat pemberaninya itu meneteskan air mata.
"Rukiah telah tiada, waktu itu mortir-mortir yang beterbangan dan jatuh di balai, telah mengantarkannya pada pemilik cinta abadinya, yang tentunya bukan kau dan aku sahabat" Samsu terguncang.
Tubuhnya seperti tersambar petir maha dahsyat, tersengat aliran listrik ribuan volt dan meruntuhkan segala atribut kejantanannya. Tulang belulangnya seolah dicopot satu persatu dan ia hanyalah setumpuk daging tak berpenyangga. Rasa sakit kemudian menyerang titik paling tersembunyi di jantungnya, itulah sakit yang tak tergambarkan. Sakit yang selalu menjadi ancaman dan akan membunuh para pecinta. Gubrak !!!
Tiba-tiba senapannya jatuh ketanah, seiring dengan tubuhnya terduduk, air matanya mengantarkan gigil kesedihan dan perasaannya berenang dalam duka tak tertanggungkan. Di pelupuk matanya berlarian bayangan Rukiah pulang mengaji dan seperti film dokumenter, kenangan-kenangan yang mengantar mereka dewasa bertiga, berputa-rputar. Air mata dan gigilnya tak sanggup menghentikan rasa nyeri di dadanya.
Udin melangkah kedepan dalam diam dan meraih pundak sahabat kecilnya, ia berbisik. "Berdirilah sanak, inilah takdir kita. Jikalah saat ini Rukiah ada di awan-awan, maka kuminta ia turun menjadi saksi, bagaimana ia tinggalkan cinta yang kita maknai dalam posisi yang berbeda. Mungkin tak akan ada yang akan bisa melerai rindu dendam ini, mungkin hanya waktu yang akan melerai segala sakit dan melarungnya hingga ke akhir nasib, berdirilah sanak ! ."
Kedua lelaki itu saling berangkulan, seiring malam yang semakin dekat. Samsu kemudian berkata. "Kembalilah kepada induk pasukanmu sahabat dan aku akan kembali pula? Aku tidak tahu akan seperti apa akhir pergolakan ini, tapi aku ingin, kita jangan bertemu sampai peperangan ini selesai."
Udin kembali merangkul sahabatnya, nafasnya turun naik dan dadanya bergelombang menahan rasa. "Jaga dirimu sanak, kita hanyalah sekrup-sekrup kecil dari perjalanan
bangsa ini, nanti suatu waktu, biarlah sejarah yang akan menilai,
apa-apa yang kita alami hari ini."
Bukit itu kemudian melengang, selengang kuburan. Hanya desau angin yang mengantarkan rasa perih, seiring langkah kedua
sahabat kecil itu menyusuri jalan setapak dengan saling berpunggungan.
Kedua lelaki itu telah mati sebelum kedua senapan mereka saling menyalak. Peluru tak cukup tajam menembus dan mengakhiri hidup mereka. Tetapi kematian Rukiah akan meracun setiap langkah hidupnya, sampai
kerelaan akan rasa sakit akan mengantarkan segala penerimaan pada jalan
Tuhan dan jika Rukiah memang betul-betul ada dibukit itu, maka akan ia
rasakan cinta itu telah
berkubur bersama jasadnya.
Bukit itu telah lengang, semati kuburan tempat cinta yang terbaring menunggu waktu, dibawah pohon kelapa. Nyerinya terbawa menyesaki dada menantang waktu.
Pondok Labu, 26 Februari 2011
__________________________
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/kokang.php