Oleh: Prof. DR. Ir. Zoeraini Djamal Irwan
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/ibu.php
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/ibu.php
Di lubuk hati ini terselip suatu kebanggan dibalik kepedihan, bahwa orang Minang hampir 45 tahun lebih maju memperjuangkan reformasi untuk mendapatkan keadilan dan pemerataan pembangunan.
PRRI adalah koreksi atas penyelewengan yang sudah menyelinap di tubuh parlemen.
PRRI bukanlah pemberontakan, PRRI bukanlah gerakan separatis.PRRI sangat banyak memakan korban intelektual dan calon intelekrual Minang.
Bapakku pejuang PRRI hilang di penjara, kalau mati tiada kuburannya kalau hanyut tiada muaranya. Kebesaran jiwa ibu dapat membawa kami bangkit dari kepedihan dan kesedihan ibu berhasil mendampingi kami selama 44 tahun sebagai single parents mendidik anak-anaknya sehingga semua dapat mandiri, Korban sosial budaya yang tidak terukur nilainya berupa hilangnya satu generasi intelektual Minang, hancurnya Rumah Gadang berukir yang sudah tua, dijadikan asrama tentara?
Latar belakang
Dari dulu saya tidak pernah takut dan malu menyatakan bahwa saya ini adalah anak pejuang PRRI dari Ranah Minang. Pada saat itu pada tahun 80an memang ada orang yang malu atau takut
mengakuinya, bahkan ada yang malu mangaku sebagai orang Minang, sampai
ada yang menyatakan bahwa dia tidak suka makanan Padang.
Saya sendiri tidak mengerti kenapa demikian, saya heran, mungkin karena
pernah terjadi pergolakan PRRI, yang dianggapnya pembrontakan, memang
tidak bisa disalahkan karena mereka tidak tahu apa makna perjuangan PRRI
sebenarnya.
Sesuai dengan rujukan panitia penyelenggara buku ini, PRRI adalah sebuah pergolakan fundamental yang menghasilkan sebuah kebanggaan, rasa sakit, sekaligus bahkan penghinaan bagi rakyat Minangkabau.
PRRI jika ditelaah lebih jauh, menjadi salah satu tonggak sosial yang
menstimulus kemampuan bawaan rakyat Minangkabau untuk memandang dan
berinteraksi dengan dunia lain di luar Alam Minangkabau.
Kisah ini membawa trauma panjang, juga kebanggaan diam-diam para generasi muda akan keberanian orang Minangkabau mengkoreksi sesuatu yang salah.
Saya berharap tulisan saya ini, mengkisahkan secuil pengalaman yang
tersisa dan deritaan anak seorang camat militer PRRI bisa juga disebut
sebagai anak orang kecil, semoga dapat memberikan masukan untuk penulisan buku ini.
Saya mencoba menceritakan apa yang kami rasakan dan hadapi dalam pergolakan PRRI, dan dampaknya terhadap keluarga kami.
Dengan demikian kita dapat menyampaikan pesan PRRI dengan indah dan
berseni yang pada akhirnya menginspirasi pembaca, terutama anak muda
Minangkabau untuk menjadi generasi yang pandai dapat melihat jauh ke
depan yang memiliki keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.
Semoga apa yang saya tulis ini menambahkan jembatan sejarah, dan menanamkan kebanggaan akan ranah Minangkabau, bernilai dan dapat memperjuangkan menyumbang kebenaran dan keadilan.
Pesta adat
Pada tahun 1957 ada pesta adat di Sawahlunto, dimana kedua orang tuaku ikut aktif, dengan berpakaian adat kebesaran, lengkap dengan payung kuning.
Pesta adat dilaksanakan dalam menyambut kedatangan Bung Hatta ke Sawahlunto pada saat memperingati hari jadi Dewan Banteng. Pada waktu itu kami sangat senang dan bangga, rasanya banyak kemajuan yang diperolah. Masyarakat bergembira ria, merasakan perkembangan atau kemajuan pembangunan selama Dewan Banteng ada.
Bapak saya berfoto dengan berpakaian adat, saat penyambutan Bung Hatta yang datang ke Sawahlunto. Kami berasal dari Talawi ibu kota Kecamatan Talawi, waktu itu masuk Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Bapak saya bernama Djamaluddin gelar Dt. Padoeko Labiah, penghulu suku Caniago di Sijantang Talawi. Selain tokoh adat di negerinya Bapak saya waktu itu seorang Camat Talawi. Ibu saya bernama Syamsiri anak Muhammad Dt. Sampanghulu, penghulu suku Patapang di Talawi.
Ibu saya kemenakan Dt. Indosati adalah penghulu pucuak di Talawi, secara otomatis menjadi Bundo Kanduang. Pada waktu itu Bapak saya pengurus MTKAAM (Madjelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau, saya tidak tahu jabatannya. Melihat foto Bapak yang dipayungi dalam upacara adat waktu upacara
penyambutan Bung Hatta berkunjung ke Sawahlunto, mungkin saja Bapak saya
sebagai ketua MTKAAM Sawahlunto Sijunjung.
Waktu itu Kecamatan Talawi adalah yang paling maju di kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Sebenarnya saya tidak begitu paham apa yang akan terjadi, apalagi bicara politik. Masih terngiang-ngiang di telinga saya ada kata-kata Bapak ke ibu. Beliau berdiskusi dan Bapak mengatakan bahwa sepertinya ada ketidak cocokan antara Bung Hatta dan Bung Karno.
Bapak saya mengatakan kepada ibu bahwa Bung Hatta telah berhenti jadi Wakil Presiden. Kata Bapak yah semoga nanti bila ada pemilihan umum, Bung Hatta bisa terpilih menjadi presiden....??
Ketika itu, ibu saya sebagai isteri seorang pegawai negeri atau isteri Camat, maka beliau disebut juga seorang Bundo Kanduang. Selain itu beliau ikut pula jadi anggota Aisyiah. Banyak sekali kesibukannya. Saya tahu bahwa ibu saya, sering kumpul dengan ibu-ibu di kampungnya.
Saya ingat, ibu saya meminta kepada ibu ibu lainnya, bahwa sebelum memasak nasi, beras yang akan dimasak itu diambil 2 genggam dan ditabung (disimpan terpisah) untuk bantuan. Bila sudah terkumpul kira-kira sebuntil, ada ibu lainnya yang mengumpulkannya. Kegiatan ini dilakukan oleh organisasi ibu-ibu yaitu yang disebut seksi G.
Memang organisasi ibu-ibu ini aktif dan sangat efektif, dan ibu saya adalah ketuanya. Seperti sebelumnya saya sering menemani dan mengantar ibu saya setelah magrib dengan mengggunakan suluah (semacam obor yang terbuat dari daun kelapa tua yang disusun and diikat kuat, dibakar ujungnya sebagai penerang dijalan). Ibu mengajak ibu-ibu lainnya, bersama saya, dan saya berteriak memanggil ibu-ibu itu.
Maklum kalau di kampuang memang harus berteriak agar terdengar, karena gelap dan juga halamannya luas-luas. Kemudian ibu-ibu dikumpulkan dan diajak ke surau yang ada di kampung saya, yang disebut surau Gadang.
Surau di kampung saya banyak dan tiap suku ada yang punya.
Surau Gadang ini adalah surau yang menampung santri-santi dari mana saja, ada yang dari daerah lain. Dengan menggunakan lampu minyak tanah, ibu saya mengajarkan ibu-ibu belajar membaca di surau itui. Waktu itu di kampung saya belum masuk listrik.
APRI datang menyerang
Masih terbayang di benak saya, beberapa waktu setelah pengumuman
dibentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, diikuti
penyerangan oleh tentara Pusat ke Padang. Nampaknya tidak mendapat perlawanan yang heroik, bahkan adanya batalyon yang datang menyambut kedatangan tentara Pusat.
Saya tidak mengerti kenapa demikian. Kemudian tentara Pusat mulai menyerbu daerah-daerah pedalaman. Akhirnya sampailah di daerah kami di Sawahlunto. Semua kantor di kota Sawahlunto diduduki oleh tentara Pusat dan para pegawainya mulai mengungsi. Begitu pula orang-orang dari kantor kabupaten yang mengungsi, mereka berdatangan ke kampung saya, tepatnya ke rumah saya. Mereka makan dulu setelah itu, lalu berangkat lagi entah kemana.
Ibu dengan ibu-ibu seksi G sibuk memasak dan mendirikan Dapur Umum, untuk memberi makan. Para pengungsi yang datang dari kota atau dari daerah lainnya, ada yang membawa berbagai macam peralatan kantor. Bahkan Bupati sekeluarga juga mengungsi kerumah saya, dan mereka menginap di rumah saya. Hanya sekitar seminggu.
Bupati tidak sanggup pindah atau mengungsi ke tempat lain, karena beliau
ini sudah tua, dan juga bukan orang asli dari desa saya, keluarga
mereka berasal dari Bukittinggi. Istrinya minta maaf dan mohon izin untuk kembali ke Sawahlunto.
Setelah berunding, akhirnya mereka kembali ke Sawahlunto dengan membawa bekal yang cukup, terutama beras. Dalam situsi yang tidak menentu ini, kami sudah tidak bersekolah lagi, sekolah pun semuanya sudah ditutup. Saya juga tidak kembali sekolah ke SMA Batusangkar. Situasi yang tidak jelas.
Sebelum pengumuman dibentuknya PRRI, saya bersekolah di SMA Batusangkar. Ketika pulang berlibur, saya tidak kembali lagi. Orang-orang banyak yang datang-pergi; Bapak saya sudah pergi mobile dengan urusan pemerintahannya. Bapak waktu itu diangkat menjadi camat militer PRRI.
Waktu itu rahasia daerahnya ada di tangan Bapak, jadilah Bapak orang yang paling di cari-cari di desa saya oleh tentara Pusat. Banyak rahasia ada pada beliau, akan tetapi kami tidak mengetahuinya
karena beliau tidak pernah menceritakan kepada kami anak-anaknya. Itu semua merupakan hal-hal yang bersifat dinas dan rahasia.
Semenjak Bapak pergi mobile dengan pemerintahannya, kami tidak tahu lagi di mana beliau berada.
Konon beliau selalu berpindah-pindah bersama stafnya dari satu desa ke desa lainnya. Beliau jarang sekali pulang kerumah. Kadang kadang Bapak pulang pada malam hari.
Konon beliau selalu berpindah-pindah bersama stafnya dari satu desa ke desa lainnya. Beliau jarang sekali pulang kerumah. Kadang kadang Bapak pulang pada malam hari.
Pada saat Bapak pulang, kami sangat senang berjumpa dengan beliau dan mendengar cerita serta perkembangan perjuangan PRRI. Pada awalnya kami senang sekali, karena perjuangan PRRI selalu mengalami kemajuan. Sebagai naluri seorang ibu, setiap Bapak pulang, ibu selalu mengingatkan, karena bupati sekeluarga telah kembali ke kota Sawahlunto yang dikuasai APRI.
Sebaiknya Bapak pulang saja kerumah, dan kembali bekerja seperti biasa sebelum ada PRRI. Usul ibu itu sangat manusiawi, karena mendengar cerita Bapak yang selalu mobil. Tempat tinggal beliau tidak jelas, dan juga mengingat Bapak sudah tua dan tidak mempunyai anak laki-laki yang bisa membantu dan mengikuti Bapak.
Ibu saya risau sekali, kalau terjadi apa-apa pada Bapak, siapa yang akan membantu. Pertimbangan ibu juga mengingat anak-anak relative masih kecil-kecil, perempuan semua, belum ada yang mandiri.
Akan tetapi Bapak menolak dan sangat yakin dengan perjuangan PRRI, malah beliau menjawab bila terjadi apa-apa jangan risau.
Allah akan selalu melindungi, kata Bapak.
Selanjutnya kata beliau lagi, bila terjadi apa-apa, kan ada semut yang akan memakan. Kami, anak-anakpun mendukung sikap Bapak, mengingat kami berada di kampung sendiri. Bagaimana malunya kita kalau Bapak menyerah, apalagi Bapak seorang kepala suku Caniago, orang yang dipanuti di kampung.
Bapak pulang ke rumah dengan sangat hati-hati, agar tidak terlihat oleh orang-orang yang tidak dipercaya atau mata-mata tentara Pusat. Mata mata ini biasa disebut sebagai tukang tunjuk.
Tukang tunjuk inilah yang melaporkan kepulangan Bapak ke rumah. Besoknya pasti kami diteror dan ada saja tentara Pusat yang datang ke rumah menanyakan Bapak dan pada malam hari mereka menembak di sekitar rumah. Walaupun tembakannya diarahkan ke udara, kami tentu saja sangat takut, karena mereka menembaknya mungkin di depan rumah kami. Bunyinya sangat keras, rasanya rumah kami turut bergetar.
Setiap malam diteror dengan tembakan senapan
Situasi di kampung yang semula terasa meriah dan menggembirakan setelah terbentuknya PRRI tidak berlangsung lama. Tak lama kemudian terjadi penyerbuan oleh tentara pusat, dan ada pula
kabar bahwa dua batalyon tentara menyambut kedatangan tentara pusat. Perasaan optimis kemudian terganggu, situasi semakin tidak jelas, penuh kekuatiran dan kecurigaan.
Orang-orang sudah merasa tidak aman lagi jalan sendirian, bisa saja ditangkap karena dicurigai. Kita tidak tahu lagi siapa lawan dan siapa kawan ketika itu. Ada saja orang kampung yang ditangkap, kemudian diinterogasi, dan dibebaskan kembali setelah beberapa hari kemudian. Kadang-kadang dengan tiba-tiba bisa saja beberapa orang tentara Pusat datang ke kampung. Bahkan ada juga yang datang sendirian jalan kaki berani sekali dia.
Hampir setiap malam ada teror di lingkungan rumah saya. Kalau pagi dan siang mereka datang ke rumah menanyakan Bapak sambil menggeledah rumah dan lemari. Aneh juga mencari Bapak, kok lemari yang diperiksa. Malam hari mereka menembakan senjatanya terus-terusan sehingga kami ketakutan sekali. Ibu saya sangat tidak tahan dengan teror-teror terutama di malam hari. Mereka melakukan penembakan ke udara, tapi sangat mencekam, karena bunyi tembakan itu sangat keras. Kondisi yang demikian itu ternyata diketahui oleh Bapak, karena saya tahu dari kurirnya.
Pergi mengungsi ke nagari lain
Dalam situasi sedemikian, ibu berkirim pesan kepada Bapak melalui kurir. Atas isyarat dari Bapak, ibu mengambil keputusan, bahwa kami tak mampu menghadapi terror semacam itu. Oleh sebab itu, maka kami mengungsi ke Padang Gantiang sesuai isyarat dari Bapak. Suatu hari ibu dan kakak saya mencari pedati dan mengumpulkan barang-barang yang penting-penting saja untuk dibawa.
Agar tidak ketahuan oleh orang orang lainnya, kami diam-diam perginya. Kalau masyarakat tahu, pastilah semua pada ikut mengungsi. Ibu saya berpendapat kampung jangan ditinggal. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul tiga pagi, pedati yang membawa barang barang bawaan kami berangkat duluan.
Kami buat tiga rombongan, seolah-olah ada urusan ke sawah, ke ladang, ke pasar atau ke mana saja. Memang setiap ada yang melihat kami, orang orang selalu bertanya, mau kemana kalian? Tapi kami sudah diberi tahu Bapak, kalau ada yang bertanya jangan dijawab pergi mengungsi. Jawab saja pergi ke manalah.
Ketika itu rombongan kami terdiri 6 (enam) orang yaitu, ibu dan saya kakak beradik, semuanya perempuan, relative masih kecil-kecil. Sebenarnya saya bersaudara 7 (tujuh) orang, hanya yang paling tua laki-laki, ketika itu sudah menjadi tentara Angkatan laut. Dia ketika itu sedang bertugas di Belawan, Medan.
Tinggal di kampung enam orang lagi, semuanya perempuan dan seorang adik saya yang masih SR (Sekolah Rakyat) dibawa abang saya. Tinggalah kami lima orang adik-beradik perempuan semua, dan dengan ibu menjadi berenam. Akhirnya sampailah kami di nagari Padang Gantiang, yang ternyata
masyarakatnya senang sekali menerima kami, dan kami ditempatkan di
sebuah rumah gadang.
Selama di pengungsian kami selalu menjaga agar jangan ketahuan oleh orang lain bahwa kami adalah anak Camat militer Talawi. Di pengungsian kami merasa lebih aman karena nagari Padang Gantiang tidak termasuk Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung.
Orang-orang kampung juga membantu kami.
Bila ada situasi yang mencurigakan, mereka segera memberi tahu kami. Hampir setiap hari kami naik ke bukit, yang sebenarnya untuk menyembunyikan diri, seolah-olah sedang mencari kayu api. Dengan demikian terkumpul banyak sekali kayu api di rumah gadang tempat kami mengungsi.
Suasana kehidupan di pengungsian
Di tempat pengungsian sekali-sekali Bapak datang, dan beliau membawa cerita baru. Adakalanya Bapak datang dan berunding dengan para tokoh PRRI (militer, sipil, adat dan agama). Kadang kadang sempat menginap semalam, dalam situasi seperti itu, orang rundo atau hansip di sekitar rumah jaga-jaga. Bila ada orang yang dicurigai, Bapak segera lari ke seberang sungai di belakang rumah. Kalau tentara Pusat datang, kami tidak boleh menampakkan diri, kecuali saya. Kenapa demikian ?
Katanya, saya adalah orang yang paling hitam kulitnya dalam keluarga dan tidak langsung mencirikan Bapak. Kakak dan adik-adik biasanya naik ke loteng rumah gadang. Di pengungsian sering sekali terjadi bakutembak, dan saya sering melihat para tentara pelajar, anak-anak kita yang masih muda muda dengan semangat tinggi, memakai baju seragam hijau-hijau.
Mereka semua memanggul senjata, ada juga senjatanya besar dan baru. Para tentara pelajar itu sebenarnya calon intelektual Minang, tidak sedikit mereka yang tewas. Kadang terjadi, hari ini saya melihat wajahnya, dan besoknya sudah ada kabar bahwa mereka sudah tertembak, sungguh menyedihkan kalau di ingat-ingat.
Di pengungsian kami sebenarnya kurang nyaman, dan merasa tidak enak dengan penduduk setempat.
Karena selama kami di pengungsian, sepertinya daerah itu menjadi agak terganggu. Tentara Pusat mulai sering datang ke tempat pengungsian kami karena mereka sepertinya sudah tahu kalau kami mengungsi ke sana.
Karena selama kami di pengungsian, sepertinya daerah itu menjadi agak terganggu. Tentara Pusat mulai sering datang ke tempat pengungsian kami karena mereka sepertinya sudah tahu kalau kami mengungsi ke sana.
Suasana ini sudah tidak nyaman lagi, dan kami sudah dua bulan mengungi di sana. Orang tua saya memutuskan bahwa kami akan mengungsi ke tempat lain. Ada juga yang surprise, di pengungsian kami ketemu dengan keluarga yang sudah agak jauh. Konon setelah ditelusuri mereka adalah belahan bako dari Mak Etek sepupu saya yang bernama Jusbar.
Salah seorang anaknya ternyata sudah menikah dengan Mak Etek selama bergolak itu. Isterinya yang pertama tidak mau diajak mengungsi, saya tidak sempat berjumpa dengan Mak etek itu. Dia itu terkenal dengan pasukannya, yang gagah berani dan disegani di tempat lain.
Memang Mak Etek saya komandan Batalyon dari tentara Dewan Banteng yang mobil gerakannya ke daerah lain seperti Kiliran Jao. Sebelum pergolakan Mak Etek itu bertugas di Bukittinggi. Orang Minang memang malu kalau tidak pandai, maka dalam situasi perangpun masyarakat sempat membuka sekolah-sekolah darurat yang biasanya disebut sebagai Sekolah Penampungan.
Karena saya telah menjadi murid SMA sebelum PRRI meletus, maka saya pun
sempat ikut sekolah di SMA darurat itu, walaupun jurusannya beda. Situasi ini berjalan tidak lama. Hanya sekitar dua bulan.
Bapak tertangkap
Beberapa waktu kemudian, di suatu hari kebetulan malam-malam Bapak
pulang, dan malam itu seperti biasanya beliau berunding dengan tiga
tokoh, ada komandan tentara. Saya masih ingat yaitu Kol Zein Yatim, Drs Mawardi Yunus (Kepala Jawatan Agama), paman Burhan Jusuf.
Setelah berunding malam itu, mereka langsung berpisah. Rupanya kepulangan Bapak telah tercium oleh tentara pusat. Pagi-pagi sekali Bapak dikasih tahu bahwa tentara pusat sudah masuk ke Padang Gantiang. Bapak segera lari ke seberang sungai di belakang rumah. Dalam kondisi seperti itu, seperti biasanya saudara-saudara saya segera bersembunyi di loteng.
Apa daya, malang tidak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, rupanya tentara pusat sudah menunggu Bapak diseberang sungai. Bapak segera tertangkap dan digiring lalu dibawa ke jalan besar. Kakak saya yang biasa mengintip gerak gerik tentara pusat dari loteng melihat Bapak sedang digiring, maka kontan teriak-teriak, histeris Bapak Bapak.
Bapak tertangkap.
Bukan main kagetnya kami, rencana ditangan kita, keputusan Allah yang menentukan. Senanglah tentara pusat waktu itu. Saya sangat bersedih, apalagi ibu hanya terduduk lemah melihat kami berteriak-menangis agar Bapak dibebaskan. Itulah suasana yang sangat mengharukan. Saya ingat waktu itu tanggal
2 September 1959. Berarti kami di pengungsian ada sekitar 2,5 bulan, padahal kami telah berencana mengungsi ketempat lain.
Proklamasi pembentukan PRRI terjadi pada tanggal 15 Februari 1958, dan
ketika Bapak tertangkap nampaknya sudah banyak daerah PRRI yang
dikuasai tentara pusat. Bapak dibawa ke Sawahlunto dan dimasukkan ke dalam penjara. Kami dalam waktu-waktu tertentu bisa melihat Bapak di penjara.
Selama di penjara Sawahlunto kami berusaha agar Bapak bisa dibebaskan.
Selama di penjara Sawahlunto kami berusaha agar Bapak bisa dibebaskan.
Konon banyak juga di pihak orang Minang yang berkhianat, dan umumnya mereka dari golongan anggota PKI [Partai Komunis Indonesia]. Ada di pihak keluarga bako saya, keluarga Bapak saya yang ingin menjadi Penghulu artinya ingin merebut gelar Bapak. Secara adat, mereka itu masih jauh, belum berhak, tapi dia kepingin.
Ini juga provokator bagi Bapak saya. Saudaranya itu berada di pihak organisasi Pemuda Rakyat, yang merupakan onderbow dari PKI. Dia ingin agar Bapak dihukum terus, karena dia berfikir bahwa dengan demikian dia bisa merebut gelar tersebut.
Tepat 24 Desember 1959, pada hari ulang tahun saya yang ke-17, Bapak dibawa ke penjara Padang. Kami tidak boleh datang menjenguk ke penjara Padang, bahkan sanak famili juga melarang. Ini terjadi karena kami semua perempuan, takut kalau terjadi apa-apa.
Perjalanan dari kampung saya ke Padang yang jaraknya sekitar 130 km cukup rawan ketika itu. Tentara bertebaran, ada dimana-mana dan tidak jelas mana tentara lawan dan mana tentara kawan. Selama 3 bulan ibu masih sempat memonitor keadaan Bapak di penjara Padang. Kadang kadang berkomunikasi lewat surat dan ibu mengirim makanan seperti Rendang, Samba Lado Tanak. Suatu ketika Samba Lado Tanak yang dikirim ibu kembali, dan tidak ada khabar apa-apa.
Kakak saya yang jadi anggota Angkatan Laut mencari Bapak ke penjara di Padang. Tidak ketemu Bapak, dokumen dan arsippun tidak ada.
Wallahualam.
Suatu kepedihan yang tiada taranya dan kami tidak dapat berbuat apa-apa. Konon Bapak saya hilang bertiga, sejak awal ketangkap memang bertiga
bersama pengawal pribadi Bapak, dan Bapak Mawardi Yunus, kepala Jawatan
agama Sawahlunto.
Akhirnya kami tahu juga bahwa para tokoh yang berunding malam-malam dengan Bapak sebelum tertangkap, ternyata nasibnya serupa tapi tak sama. Bapak saya hilang tiada tahu rimbanya, hanyut tiada tahu muaranya. Kol Zain Jatim konon tertembak oleh tentara pusat. Paman Burhan Jusuf menyerah ke tentara pusat. Kelak setelah PRRI turun dari rimba dan kampung telah aman, paman Burhan Jusuf sempat menjadi sekretaris Gubernur.
Akan tetapi sewaktu gagalnya kudeta Gerakan 30 September/PKI beliau ditangkap dan masuk penjara, tanpa diadili, kemudian sempat dibebaskan dan akhirnya meninggal karena sakit.
Bantuan dari Jawatan Sosial
Setelah Bapak ketangkap, kami semua kembali ke Talawi, ke runah kami. Selama itu juga masih sering tentara Pusat datang ke rumah kami, mereka
ingin mangambil semua barang kantor yang masih ada di rumah. Pernah suatu ketika rumah saya didatangi tentara pusat dan menanyakan
segala sesuatu kepada ibu dan ibu menjawab dengan ramah dan penuh
wibawa.
Ada juga saya lihat,
ibu mengembalikan beberapa alat tulis seperti mesin tik. Menurut ibu barang-barang itu adalah milik negera maka harus dikembalikan. Suatu ketika saya kesal melihat kelakuan tentara-tentara itu, mereka
terlalu sering mendatangi rumah saya, lalu saya marah dan menggentak
mereka. ibu saya jadi khawatir, karena tentara itu marah dan mengancam saya. ibu mengatakan kepada mereka dengan lembut dan sopan walaupun getir.
".....Maafkan pak, dia kan anak-anak, dia tidak mengerti dan takut."
Mereka jawab ".....Kalau takut bukan seperti itu, diam sajalah !"
Ibu dan adik saya tinggal di Talawi dan adik saya bersekolah di Talawi. Saya melanjutkan pendidikan SMA di kota Sawahlunto. Saya bersekolah di SMA di sana pada tahun 1959-1960. Waktu itu berkat bantuan Pak Onga (suami adik Bapak), saya mendapat bantuan dari Jawatan Sosial Rp. 120.000,- per bulan.Tiap bulan saya mengambil ke kantor Jawatan Sosial, lumayan untuk biaya sekolah.
Tapi tidak lama karena Mak Etek saya (adik ibu) yang bernama
Lukmanul Hakim, kebetulan juga anggota Angkatan laut yang tinggal di
Jakarta, pulang ke kampung memohon kepada ibu, agar diizinkan untuk
membawa saya ke Jakarta. Tahun 1960, saya berangkat ke Jakarta bersama Mak Etek. Karena Mak Etek itu memakai baju tentara, maka saya diisukan di kampung bahwa saya dibawa oleh tentara Pusat !
Diskriminasi untuk anak ex. PRRI di SMA Budi Utomo Jakarta
Saya dimasukkan ke SMAN I Budi Utomo Jakarta. Ternyata cukup banyak juga anak-anak ex-PRRI yang bersekolah disitu. Karena kami sudah berantakan, namanya saja kami anak-anak yang datang dari daerah bergolak. SMA I Budi Utomo ketika itu adalah sekolah yang terpopuler dan terbaik di Jakarta. Untuk bisa mengikuti pelajaran saya terpaksa mengambil kursus ekstra.
Di SMA Budi Utomo saya mendapat kesempatan belajar seperti siswa lainnya, dan kamipun dapat meminjam buku di perpustakaan sekolah. Kira-kira 2 bulan sebelum ujian, semua siswa disuruh mengembalikan buku yang dipinjam. Kamipun dengan patuh mengembalikan buku-buku itu hanya siswa terheran-heran, kita mau ujian kok disuruh mengembalikan buku.
Ternyata pengembalian buku itu adalah adalah satu tahapan, untuk mengeluarkan kami siswa eks PRRI oleh kepala sekolah. Tidak lama setelah urusan buku selesai, kami siswa eks PRRI dipanggil dan diberi surat, agar kami semua siswa eks PRRI disuruh pindah kesekolah lain. Konon sang kepala sekolah takut nanti, kami-kami siswa eks PRRI tidak
akan lulus dan dapat menjatuhkan prosentasi kelulusan sekolahnya. Ini adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Mereka hanya mempertahankan nama sekolahnya.
Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba tante saya Rostinah mengirimkan
tiket garuda pulang pergi untuk saya, saya disuruh datang ke Tanjung
Pinang. Sampai di Tanjung Pinang, setelah berunding dengan abang saya yang
tadinya di Medan, kebetulan juga sedang beada di Tanjung Pinang. Diputuskan kalau saya sekolah saja dan menamatkannya SMA di Tanjung Pinang.
Berarti saya harus mengulang di kelas III B, dan selama 1 tahun saya di
Tanjung Pinang, mengikuti ujian dan lulus pada tahun 1961. Dari kejadiaan semacam ini jelas sekali bahwa sekolahpun takut sama anak-anak PRRI.
Namun apakah mereka sadar bahwa reformasi yang kita gulirkan pada tahun 1998 itu adalah perjuangan PRRI, 40 tahun yang lalu ?
Artinya dibalik kesedihan kami, terselip suatu kebanggan menjadi orang Minang yang tahu dengan heriang jo gendiang, alun takilek alah takalam, merasa malu kalau tidak pandai dan pandai memprediksi jauh ke depan.
Inilah barangkali berkat filosofi urang Minang Alam takambang manjadi guru, Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (AlQuran).
Selama di kota Tanjung Pinang saya tinggal dengan tante saya, uang sekolah dibayari oleh abang saya. Saya masuk SMA Negeri jurusan B. Kebetulan saya hanya satu-satunya perempuan dalam kelas saya. Dengan modal nekat serta uang pemberian Abang, saya cari tiket kapal laut untuk berangkat ke Jakarta. Dalam pelayaran di atas kapal laut, saya dititipkan kepada teman pak Etek Azwaer Rauf (suami Etek saya Rostinah).
Dengan berbagai usaha akhirnya saya berhasil masuk Perguruan Tinggi Fakultas Pertanian UI, yang sekarang berubah menjadi IPB. Enam bulan pertama saya dibantu oleh tante saya untuk bayar indekos. Untung setelah itu saya dapat asrama Yayasan, dan biaya lumayan agak ringan, Selama setahun saya dibantu oleh mak Etek saya.
Setelah itu saya diberi biaya ikatan Dinas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tak lama kemudiaan saya masuk asrama putri IPB. Abang saya membantu menguruskan pensiun untuk ibu karena Bapak memang seorang anggota pegawai negeri.
Beberapa tahun kemudian ibu mendapat uang pensiun, dan ibu saya minta kerelaan kepada saudara saya, mengikhlaskan uang pensiun semuanya dikirimkan untuk saya. Itu tentang saya, tentang kakak dan tentang adik-adik saya, disekolahkan oleh ibu, kebetulan kakak saya yang perempuan tertua sudah menjadi guru.
Kakak saya perempuan yang kedua dapat masuk SGA di Bukittinggi. ibu saya relatif masih muda saat ditinggal oleh Bapak, tanpa ada harta atau simpanan untuk menyekolahkan anak-anak. ibu yang berumur 45 tahun, yang menjadi janda, mencari uang untuk biaya
hidup dan sekolah saudara-saudara saya dengan membuat dan menjual
kue-kue. Membuat Kacang Tojin yang ditumpangkan di kedai-kedai serta menjadi
perias penganten, yah apa sajalah yang dapat menghasilkan uang.
Memang tidak mudah, kadangkala ibu mengantarkan kue-kue itu ke kedai yang lumayan jauh dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Kakak saya perempuan yang paling tua bernama Zoerni, untung masih mau tinggal dan menjadi guru di kampung, sehingga bisa mendampingi ibu dalam mangarungi hidup. Jasa kakak Zoerni ini cukup besar dan saya bersaudara sangat berterima kasih kepada beliau.
Disamping itu juga sekali-sekali biaya hidup dibantu oleh abang saya yang bernama Imran. Itulah suatu perjuangan ibu saya, tidak mudah dan tidak lancar, tetapi dapat dilewati. Perjuangan yang memerlukan keteguhan hati. Semua itu dijalani dengan lapang dada. ibu berprinsip, yang penting semua anak-anaknya sekolah dan kebetulan menjadi pegawai negeri.
Karena ibu saya mempunyai pemikiran yang moderen, bagi beliau merasa penting untuk memberikan pendidikan kepada anak anaknya. Bagi ibu saya, semua anak-anak perlu mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain atau tidak menyusahkan orang lain. Bapak hilang tak tahu rimbanya, hanyut tak tahu muaranya.
Kalau dipikir, kenapa tujuan PRRI itu sangat bagus, akan tetapi malah menimbulkan perang saudara. Perang yang menimbulkan banyak sekali kerugian, baik fisik, materi maupun sumberdaya manusia. Sangat banyak cendekiawan Minang yang menjadi korban, belum lagi korban
calon intelektual Minang, bahkan korban sosial budaya yang tidak terukur
nilainya. Karena perang saudara pasti memakan anak sendiri, hilangnya satu generasi.
Bapak saya, orangnya sangat jujur, disiplin dan rajin serta penuh tanggung jawab. Beliau sangat disegani di kampung saya. Oleh karena itu ketika zaman pendudukan tentara Jepang, konon bapakku disayang dan dipercaya oleh bosnya.
Bapak tak jadi ditembak Belanda, karena beliau tokoh Adat
Sewaktu zaman Belanda agresi ke 2, bapakku ditangkap oleh Belanda. Beliau ditodong dengan senjata, bapakku pasrah kepada Allah. Ternyata Allah berkehendak lain, sebelum ditembak, Bapak digeledah dan
menemukan identitas bahwa Bapak adalah seorang tokoh adat. Alhamdulillah akhirnya dibebaskan.
Tetapi di zaman PRRI kenapa Bapakku sudah ketangkap dan dipenjarakan oleh tentara pusat, malah hilang tidak tahu rimbanya, hanyut tiada tahu muaranya! Wallahuallam.
Salah satu masalah yang membuat ibu sedih adalah rusaknya rumah gadang berukir yang sudah tua. Kerusakan itu dipercepat karena rumah gadang itu dijadikan asrama oleh tentara pusat. Didepan rumah gadang kami dulunya ada Balai-Balai.
Tapi kini Balai-Balai itu juga sudah tiada, dan berganti dengan rumah biasa. Rumah Gadang kami sudah dibangun kembali, tanpa ada Balai-Balai, tapi tiada yang memelihara dengan baik. Ini karena pada umumnya keluarga kami sudah merantau. Sekarang hanya tinggal 2 keluarga di kampung.
Satu kampung itu bernama Patapang Gurun, kampung yang strategis di desa kami, peninggalan nenek-nenek kami. ibu saya sangat risau dengan Rumah gadang, dan beliau selalu berpesan agar rumah gadang dipelihara baik-baik. Karena ibu tahu bahwa rumah gadang itu merupakan lambang keluarga besar dan diharapkan dapat mempersatukan keluarga besar.
Memang sudah sepantasnya ibu saya mendapat penghargaan. ibu tinggal di kampung, sewaktu mudanya tidak boleh melanjutkan sekolah ke rantau oleh bapaknya karena bapaknya seorang angku palo, jadi tidak boleh anak gadisnya pergi merantau. ibu menikah dengan Bapak saya, yang sebelumnya tidak kenal. Hal semacam ini terjadi karena suami adalah pemberian dari orang tua.
Bapak saya juga pernah menjadi angku palo di Sijantang Talawi. Ketika ibu ditinggal suami, sedangkan anak yang perlu diurus enam orang perempuan yang memerlukan biaya besar. Untung saja ibu tinggal di kampung, biaya rumah, makan tidak masalah. Bapak sudah membuatkan rumah untuk kami.
Ibu punya sawah ladang sendiri. ibu pernah mendapat penghargaan sebagai ibu teladan di kampung sampai
dua kali dari Kecamatan, sayangnya penghargaan itu tidak ada
sertifikatnya. Alangkah baiknya bila sertifikat itu ada, dapat dilihat-lihat oleh anak, cucunya nanti di kemudian hari.
Pasca PRRI, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Saya melihat dan merasakan bahwa orang Minangkabau sudah hampir kehilangan idealismenya. Orang Minang itu sangat malu kalau tidak pandai. Sekarang kelihatannya hal ini sudah mulai luntur. Banyak orang Minang yang dapat disebut terlantar terutama di kota Jakarta di tempat saya bermukim sekarang.
Banyak sekali orang Minang yang datang kepada saya untuk minta bantuan, bahkan boleh dikatakan termasuk kategori mengemis. Mereka minta bantuan modal untuk usaha, nanti modalnya habis terpakai, lalu minta lagi. Bahkan cukup banyak yang saya bantu dengan sebutan sebagai pinjaman yang akan dikembalikan. Mereka harus berusaha untuk menyicil mengembalikan modal itu kepada saya dengan maksud agar kita bisa membantu yang lainnya. Tapi apa daya tidak satupun yang menepati janji untuk kembali guna menyicil. Sungguh ironis rasanya.
Dulu yang saya tahu semiskin-miskinnya orang Minang, pastilah untuk makan dan tempat tinggal mereka tidak masalah. Tetapi sekarang, ya betul-betul miskin, untuk makan saja susah. Saya sarankan agar mereka kembali ke kampung halamannya. Spontan mereka jawab bahwa kalau pulang ke kampung akan bertambah susah, tidak ada lagi yang akan dimakan disana, tidak ada lagi yang dapat diharapkan di sana.
Amboi saya semakin miris saja, ada juga yang bolak
balik menghubungi saya, bahwa dia itu katanya sebatang kara, pernah
tinggal di kolong jembatan. Kadang dari musholla ke musholla, dia itu ke luar masuk penjara, ketangkap karena terpaksa nyopet atau mencuri untuk mencari makan.
Saya suruh pulang ke kampungnya, jawabannya sama saja, bahwa di kampung lebih sulit lagi, sudah gak ada lagi yang kenal dia.
Setelah beberapa tahun dia tidak datang atau menghubungi saya lagi, tiba-tiba dia mengirim SMS, minta bantuan untuk modal usaha. Katanya dia baru keluar dari penjara, saya tidak memenuhinya. Dan tiga tahun kemudian dia datang lagi kepada saya, minta bantuan untuk
pulang ke kampung, katanya dia sudah menikah dan punya seorang anak. Sekarang dia sudah pulang ke kampung, mungkin kekampung isterinya.
Surau bisa dimasukkan teknologi masakini
Organisasi orang Minang cukup banyak di rantau di mana saja. Hampir semua kenagarian punya organisasi. Seperti di Jakarta ada juga organisasi yang besar, bahkan ingin memayungi semua organisasi Minang itu. Banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan orang Minang, namun nampaknya hanya tertuju untuk membangun di ranah Minang.
Sebenarnya orang Minang itu masih pandai, di manapun ia berada pada
awalnya dia melihat-lihat dahulu, kemudian apabila dia sudah mendapat
kesempatan maka dia akan menjadi dominan dalam arti positif. Banyak usaha orang Minang kini, tapi masih akan memakan waktu yang cukup lama, untuk menghasilkannya. Intelektual Minang banyak yang meninggalkan ranahnya, bahkan banyak
sekali yang sudah berasimilasi dengan suku bangsa selain orang Minang,
dimana mereka bermukim.
Ninik Mamak urang Minang sudah sulit didengar oleh kemenakannya, karena ninik mamak itu sudah tidak berwibawa lagi.
Ninik Mamak urang Minang sudah sulit didengar oleh kemenakannya, karena ninik mamak itu sudah tidak berwibawa lagi.
Begitu pula banyak surau-surau yang sudah terbengkalai, tidak ada lagi yang mengunjunginya, dan akhirnya roboh sendiri. Kini kita harus bangkit kembali, tidak hanya dengan wacana-wacana akan tetapi terutama bagaimana surau itu bangun kembali. Dalam situasi moderen kini, ke surau bisa dimasukkan teknologi masakini, sehingga dapat menarik anak kemenakan mengunjunginya sambil belajar dan mengaji al Quran.
Dengan melengkapi surau dengan komputer, anak anak bisa mengaji dengan baik. Ciptakan hal-hal lain yang dapat membangkit motivasi anak kemenakan. Itu bagi anak kemenakan yang tinggal di ranah Minang. Bagi yang merantau juga tingkatkan surau, sesuai dengan tuntutan di tempat mereka berada, paling tidak pagi sekolah, sore hari ada guru ngaji yang datang ke rumah sekitar 2x seminggu.
Siapkan kurikulumnya, tingkatkan motivasi mereka untuk belajar ngaji sendiri. Kita harus memikirkan bagaimana agar terjadi sinergi antar Ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi dan seni) dan Imtaq (Iman dan taqwa) untuk setiap insan, khususnya anak Minang.
Jakarta, 14 Maret 2011
Prof. DR. Ir. Zoeraini Djamal Irwan, MS
Prof. DR. Ir. Zoeraini Djamal Irwan, MS
______________________
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/ibu.php