![]() |
Sumber Gambar: https://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com |
Oleh : Sjamsir Sjarif
hambociek@yahoo.com
Masih tampak-tampak oleh saya asap hitam membubung ke langit dan gejolak api besar ditiup angin berembus ke sekeliling. Ketika itu tentara Belanda membakar satu kelompok rumah di Salayan
Ujuang, dekat sekolah Biaro, di sebelah kiri (utara) jalan arah
Payakumbuah dekat penurunan Lambah Ujuang.
Seluruh rumah di Selayan Ujuang itu (lupa apakah ada 4 rumah Gadang) habis ludas manjadi abu. Seorang kawan saya berumur 14 tahun waktu itu, namanya si Hamzah ditembak mati. Mungkin dia satu-satunya laki-laki yang tinggal menghuni rumah gadang
bersama orang orang perempuan yang tinggal di rumah, sedangkan laki-laki
dewasa yang lainnya telah pergi ijok ke hutan.
Waktu itu, mungkin sekitar Februari 1949 ada penghadangan oleh gerilya pejuang RI dari atas tebing di Selayan itu. Tembakan dan granat dilepaskan dari arah tebing di Selayan.Tentera Belanda membalas dengan cara membakar rumah-rumah Gadang di Selayan, Biaro tsb.
Saya bersama Mak menonton dari tempat persembunyian di lubang perlindungan pada jarak lk.400 meter dari tempat kejadian. Saya masih ingat keluar kencing tanpa disengaja saat itu. Kalau diingat peristiwa pembakaran rumah rumah di kampung di sekitar
Ampek Angkek dan Kamang ketika itu, banyak titik api saya lihat dari
jauh di sekitar Kamang dan Lasi. Masih terbayang dan teringat pancaran api yang keluar dari peluru mortir
yang melayang layang ke arah Kamang dan Lasi dalam penglihatan saya
dari Biaro.
Yang teringat satu kampung di Salo habis terbakar. Kalau dilakukan pengumpulan data di sekitar Kamang-Canduang Lasi-Bukik Batabuah itu pasti banyak korban peperangan saat itu. Sekedar tambahan, di pondok mak saya di Banda Baru, lk.400 meter dari Pos
Federal (Bulando) Biaro, bekas lubang peluru penyerangan ke Biaro
ketika agresi ke 2 masih ada sampai kini.
Gerilya-gerilya RI menembak dari sekitar halaman pondok kami. Ayah saya luput dari sasaran peluru karena sesaat sebelum letusan,
beliau ada di pintu bilik dekat sasaran peluru yang persis setinggi dada
beliau. Pola pembakaran rumah penduduk ini menjadi tabi-at tentera pendudukan juga dilanjutkan waktu peristiwa pergolakan daerah tahun 1958 - 1961.
Gejolak api besar membakar satu kampung yang tak mungkin saya lupakan. Saat itu penghadangan oleh gerilya PRRI di Jalan antara Solok - Padang
sekitar nagari Cupak, kabupaten Solok, mungkin pertengahan September
1958. Saya melihat peperangan dan gejolak api dari tempat persembunyian di
dangau Santo di Batu Kuali di lereng bukit di sebelah Selatan.
Melihat gejolak api dari jarak nan hampir sama waktu di Biaro tahun 1949
itu, maka ingatan saya sakaligus bersatu dalam dua peristiwa sejarah,
tahun 1949 dan tahun 1958. Suatu kampung penuh rumah-rumah gadang di nagari Andoleh Baruah Bukik,
kabupaten Tanah Datar pun habis dibakar bom api dari udara.
Siapa yang akan membayar ganti kerugian rakyat di kampung-kampung awak itu ? Pembumi-hangusan Kota Bukittinggi bulan Desember 1949, kadang-kadang
masih meninggalkan ingatan, membuat badan menggigil, hangat-hangat
dingin di tengah malam.
Main siar-bakar waktu perang dan pengalaman saya melihatnya, manjadi nightmare kenangan gejala perang nan menakutkan sampai kini. Gejala psikologis rakyat penyaksi sejarah mungkin suatu akibat perang yang tidak pernah dipikirkan pengganti kerugiannya. Mereka tanggung akibat sendiri sendiri saja. Sekedar sebingkah kenangan dari Masa Perang yang pernah dialami.
Santa Cruz, California 28 Februari 2011
__________________
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/bakar.php