Penulis: Undri*
Dalam sejarah Minangkabau, posisi Sultan Alam Bagagar Syah cukup unik
selain sebagai keluarga Raja Pagaruyung juga pernah menandatangani
surat “penyerahan” beberapa daerah di Minangkabau kepada
Belanda-tepatnya tanggal 10 Februari 1821. Peristiwa itupula yang
menjadi ganjalan sehingga sampai hari ini belum dilekatkan sebagai
pahlawan nasional.
Kendati belum menjadi pahlawan nasional banyak diantara kita yang
belum tahu kiprah tokoh ini secara jelas. Tumpuan kejelasan tidak
terlepas dari jiwa zamannya (tijdgebundent dan cultuurgebundenheid), yang mencerminkan sikap dan perbuatan serta nilai yang dipancarkannya.
Sultan Alam Bagagar Syah sendiri-nama aslinya sesuai dengan stempel
atau cap kerajaan adalah Sultan Tunggal Alam Bagagar Ibnu Khalifatullah –
lahir di Pagaruyung Luhak Tanah Datar pada tahun 1789. Tidak diketahui
secara pasti tanggal kelahirannya. Ayahnya Yamtuan Sultan Abdul Fatah
adalah Raja Alam Pagaruyung dengan gelar Daulat Yang Dipertuan Sultan
Alam Muningsyah II dan sekaligus memangku Raja Adat Pagaruyung dengan
gelar Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil I. Sedangkan ibunya Yang
Dipertuan Gadih Puti Reno Janji adalah Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung
ke XI.
Dalam buku Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau pada Abad ke-19
(2016), Penulis sendiri salah seorang yang menulis buku tersebut
menjelaskan tokoh ini menarik untuk diungkapkan karena keterlibatannya
dalam berbagai dinamika percaturan gerakan dalam memimpin negeri,
menciptakan kestabilan politik, dan akhirnya menentang kedatangan
Belanda melalui reaksi, protes, bekerjasama dengan Belanda, dan
penolakkan terhadap penjajahan Belanda di Minangkabau.
Berbicara tentang perjuangannya dalam menciptakan kondisi keamanan,
mengerakkan masyarakat Minangkabau untuk mengusir Belanda, dan memajukan
masyarakat Minangkabau merupakan periode sejarah yang menarik
perhatian, karena terjadinya pertentangan antara Kaum Adat dan Kaum
Agama yang sangat hebat di Minangkabau pada awal abad ke-19.
Masing-masing kelompok memiliki tujuan dan sasaran tersendiri dalam
memajukan masyarakat Minangkabau. Keinginan untuk memajukan agama di
satu pihak dan adat serta tradisi pada pihak yang lain. Semangat yang
dimiliki oleh Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Alam Minangkabau bersama
masyarakat tidak ternilai harganya. Melalui kebijakan yang sangat
hati-hati dan berisiko tinggi, Sultan Alam Bagagar Syah berhasil melawan
pemerintahan Belanda tanpa merusak tradisi adat dan agama.
Bahkan dalam perjuangannya Sultan Alam Bagagar Syah tidak pernah
konfrontasi dengan Kaum Agama, apalagi dengan para penghulu atau Kaum
Adat. Ia membina hubungan baik dengan semua lapisan atau unsur “Tungku
Tigo Sajarangan” atau “Tali Tigo Sapilin” di Alam Minangkabau. Taktik
Sultan Alam Bagagar Syah tersebut adalah upaya untuk mengerakkan massa,
merebut kekuasaan, mempertahankan, dan mengusir Belanda di Minangkabau.
Goresan akan perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah terjadi ketika pada
tanggal 10 Februari 1821, Belanda berhasil memperdaya dan memaksa para
penghulu dan para bangsawan di pedalaman Minangkabau supaya menyerahkan
beberapa daerah kepada Belanda. Sultan Alam Bagagar Syah sebagai
keluarga Raja Pagaruyung yang masih muda menyikapi politik Belanda itu
dengan hati-hati bahkan ikut menandatangani surat penyerahan tersebut.
Sikap itu diambilnya dengan tujuan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban, karena kondisi Minangkabau ketika itu sangat tidak aman,
dalam perbedaan faham antara Kaum Adat dan Kaum Agama. Namun kedua
golongan ini menyadari juga bahwa musuh yang sebenarnya adalah kehadiran
penjajah Belanda di Alam Minangkabau, sehingga mereka bersatu untuk
mengusir penjajah Belanda.
Bagaimana kita menyikapi hal tersebut apakah Sultan Alam Bagagarsyah
pro kepada Belanda dengan menandatangai surat penyerahan tersebut atau
sebaliknya. Sebuah peristiwa yang harus dilihat dari perspektif sejarah.
Cara kerja ilmu sejarah bertumpu pada pertama heuristic, mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah atau pengumpulan sumber, Kedua, kritik menilai otentik atau tidaknya sesuatu sumber dan seberapa jauh kredibilitas sumber. Ketiga, sistesis dari fakta yang diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga kredibilitas sumber, dan keempat, penyajian hasilnya dalam bentuk tertulis.
Sebagai sebuah dokumen memang telah dijumpai tentang surat penyerahan
tersebut, dan kemudian analisa terhadap surat tersebutpun bermunculan.
Seperti dalam buku Rusli Amran Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang.
Jakarta : Sinar Harapan, 1986 : 540-626.menjelaskan penyerahan
Minangkabau kepada Belanda oleh Sultan Alam Bagagar Syah merupakan
sandiwara yang diatur oleh Belanda sendiri karena Belanda memerlukan
alasan untuk menguasai Minangkabau dengan mengunakan orang Minangkabau
pula.
Kalau kita analisa dan interpretasikan sesuai dengan jiwa zamannya (tijdgebundent dan cultuurgebundenheid)
bahwa sikap yang diambil oleh Sultan Alam Bagagar Syah merupakan
bagian dari komponen penting yang berusaha mengusir penjajahan Belanda
baik secara langsung maupun tidak langsung, mengangkat derajat kaum atau
etnis, dan mengisi kemerdekaan. Bukanlah berarti ia pro Belanda,
melainkan suatu taktik untuk mengetahui kekuatan Belanda dan ia lebih
leluasa dalam mengkoordinir semua kekuatan yang terdapat dalam
masyarakat Minangkabau.
Peranannya dalam melawan Belanda di Minangkabau memberi dampak yang
besar bagi masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, dan beberapa daerah
lain di sekitarnya, seperti Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan
Riau, Jambi, Bengkulu, dan Aceh. Wilayah tersebut berhubungan dengan
kekuasaan Kerajaan Pagaruyung. Disamping itu kekuasaan Pagaruyung juga
menjangkau beberapa bagian wilayah Nusantara lainnya. Keturunan dari
Raja-raja Pagaruyung banyak yang bermukim dan berkembang di Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Banten, Brunei
Darusallam, Negeri Sembilan Malaysia, dan lain sebagainya. Ketokohannya
telah mencakup wilayah yang sangat luas, sehinga ia dikenal dan
dihormati oleh masyarakat lainnya.
Nilai-nilai perjuangan yang telah dilakukan oleh Sultan Alam Bagagar
Syah sangat besar artinya bagi Indonesia. Kebesaran namanya telah
menjadi pemicu semangat bagi masyarakat dalam membangun negeri ini. Ia
adalah raja yang melawan Pemerintah Hindia Belanda. Perjuangannya
memberi dampak positif bagi masyarakat, terutama bagi generasi muda
dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai dan semangat kejuangan dalam
menjaga keutuhan negara Republik Indonesia. Perjuangan Sultan Alam
Bagagar Syah yang mengorbankan harta benda dan jiwanya dapat dijadikan
sebagai teladan dalam mengisi kemerdekaan ini, terutama dalam memupuk
rasa nasionalisme, kesatuan dan persatuan bangsa, serta rasa bangga
sebagai bangsa Indonesia yang merdeka.
Terlepas dari sikap pro dan kontra Sultan Alam Bagagar Syah terhadap
Belanda merupakan sifat plus dan minus yang terdapat pada dirinya.
Sebagai manusia biasa tentunya ia memiliki kekurangan. Pemikiran yang
jernih dan netral diperlukan untuk mendudukan posisinya sebagai tokoh
raja di Minangkabau tersebut.
Tidaklah salah rasanya kita pikirkan kembali untuk memperjuangkan
tokoh ini menjadi pahlawan nasional kembali nantinya. Walaupun pro dan
kontra akan bermunculan bila usaha ini akan kita lakukan. Ini soal biasa
dalam masyarakat kita yang penuh nuansa egaliter. Wasssallam.
*Salah seorang penulis Buku Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah dalam melawan penjajah Belanda di Minangkabau pada abad ke-19
_________________________________
Catt: Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, pada 9 Juli 2017