Sumber Gambar: https://www.facebook.com |
1. Groep onderdanen-Nederlanders: F.J. Bouwens, handelaar, berstuurlid I.K.P. [Indische Khatolieke Partij]; A.L. Jurgens, Officier van Gezondheid; J.P. de Lange,Voorzitter van den Land-raad, lid van den Protestantschen Kerke-raad; J.J.K. de Regt, Adjunct Inspecteur van de Algemeene Volkscredietbank; L.P.J. van der Stok, gepensioneerd Kapitein der Infanterie, lid P.E.B. [Politiek Ekonomischen Bond].
2. Groep Inheemsche onderdanen niet-Nederlanders: Marah Hasan Dt. Batoeah, Onderdistrictshoofd; Bermawi gelar Soetan Radja Emas, Taalleraar Mulo; Monek gelar Soetan Mantari, handelaar.”
***
Laporan koran De Sumatra Post (Medan) edisi Sabtu (zaterdag) 10 September 1938 tentang susunan anggota Stadsgemeente Raad (Dewan Kota) Fort de Kock (sekarang: Bukittinggi). Sebagaimana dapat dibaca dalam laporan di atas, anggota Dewan Kota
Fort de Kock itu berjumlah 8 orang: 5 orang dari bangsa Belanda (Eropa)
dan 3 orang dari bangsa pribumi (orang Minangkabau).
Mereka yang berasal dari bangsa Belanda adalah: F.J. Bouwens, pedagang dan anggota pengurus Partai Katolik Hindia (I.K.P.; berdiri 1928); A.L. Jurgens, Petugas Kesehatan; J.P. de Lange, Ketua Dewan Pertanahan dan anggota Dewan Gereja Protestan; J.J.K. de Regt, Ajung Inspektur Bank Perkreditan Rakyat Umum; dan L.P.J. van den Stok, pensunan Kapten Infantri dan anggota Perkumpulan Ekonomi Politik (P.E.B.; berdiri 1919).
Sedangkan dari kalangan kaum pribumi, terpilih tiga orang, yatu: Marah Hasan Dt. Batoeah, Kepada Onderdistrict; Bermawi gelar Soetan Raja Emas, Guru Bahasa MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs); dan Monek gelar Soetan Mantari, seorang pedagang.
Dari susunan anggota Dewan Kota Fort de Kock itu tampak adanya wakil dari kalangan pedagang (gandelaar).
Memang harus begitu idealnya karena kota identik dengan dunia
perdagangan. Oleh sebab itu, kalangan pedagang, yang menjadi bagian
penting dari dinamika kehidupan sebuah kota mesti terwakili dalam dewan
kota yang bersangkutan.
Pada akhir dekade ke-3 abad ke-20 terjadi berbagai perubahan
signifikan dalam politik kolonial di Hindia Belanda. Gerakan politik
kaum pribumi kian menguat seiring dengan makin tumbuhnya kesadaran
politik mereka yang dibarengi dengan pembentukan berbagai organisasi
politik oleh kaum pribumi dengan dorongan kaum terpelajar mereka.
Para pembaca tentu sudah mengetahui juga bahwa pada tahun 1938 itu dibentuk pula apa yang disebut Minangkabau Raad (Dewan Minangkabau) yang beranggotakan 22 orang wakil pribumi (orang Minang) (lihat: https://niadilova.wordpress.com/2017/07/02/kilas-balik-anggota-minangkabau-raad-terpilih-1938/; diakses 31-10-2019).
Sebenarnya isu Minangkabau Raad ini sudah muncu sejak 1925, tapi baru terwujud 13 tahun kemudian. Tujuan pendirian Dewan Minangkabau ini adalah untuk mengakomodasi
keinginan-keinginan politik kaum pribumi (masyaraat Minangkabau), tapi
juga suatu suatu taktik untuk mengambil hati kaum pribumi. Dalam
kenyataannya, sampai kedatangan Jepang pada tahun 1942,
keputusan-keputusan penting dan strategis yang menyangkut politik Hindia
Belanda tetap berada di tangan the white ruling class (orang Belanda).
De Sumatra Post edisi 8 Oktober 1940 kembali memberitakan nama seorang anggota Dewan Kota Fort de Kock yang baru, yaitu: Ir. C.P.E. van Oijen. Lalu setahun kemudian diberitakan pula nama seorang anggotanya yang baru: Ir. N.W. van Diemen (De Sumatra Post, 09-10-1941). Kedua orang ini adalah insiyur bagian Lalu Lintas dan Pekerjaan Umum (Verkeer en Waterstaat)
dan disebut sebagai ‘mewakili masyarakat Minangkabau”. Mungkinkah
wakil-wakil primbumi yang disebutkan dalam kutipan di atas mundur di
tengah jalan? Wallahualam!
Demikian sedikit tambahan informasi tentang administrasi politik kota
Bukittinggi di masa lampau. Saya mendengar ada seseorang yang sekarang
sedang menulis sejarah kota Bukittinggi. Mudah-mudahan penelitiannya
akan dapat mengungkap masa lampau kota ini dari berbagai aspek, termasuk
tentang seluk-beluk Dewan Kota-nya di Zaman Kolonial.
Dr. Suryadi – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 3 November 2019
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri : nadialova.wordpress.com