T: Pada pertermuan yang lalu Bapak bercerita bahwa Bapak akan menceritakan tentang tugas Bapak sebagai Komisaris Pemerintah Republik Indonesia di kota Jakarta yang langsung bertanggung jawab kepada Dewan Menteri. Hal ini menurut Bapak terjadi tanggal 7 Juni 1947. Kemudian Bapak waktu itu akan menceritakan pengalaman Bapak ketika bertemu dengan Komisi Jenderal Belanda di Istana Merdeka sekarang.
J: Istana Merdeka Utara, Het Paleis dulu.
T: Bagaimana itu ceritanya, asal mulanya dan kenapa Bapak yang ditunjuk.
J: Saudara akan kecewa, apa yang akan saya kemukakan. Yang jelas saya dijadikan Komisaris Pemerintah RepublikIndonesia oleh sidang kabinet yang diadakan di Magelang, tanpa saya ditanya lebih dahulu [oleh] Kabinet Sjahrir III, di mana Roem [menjabat Menteri] Dalam Negeri, Moh. Natsir[Menteri] Penerangan. Kita belum bisa mengatakan bahwa secara juridis kota Jakarta diduduki. Tapi de facto [Sekutu] memang kuat.
T: Diduduki oleh Belanda.
J: Inggris dan Belanda berkuasa. Belanda mengeluarkan uang merah, dan kita mengeluarkan ORI. Jadi setelah saya baca [Keputusan kabinet], saya sepenuhnya mengerti. Hanya saya agak heran kenapa saya [ditunjuk]. Bagi saya ini sangat sulit. Sebab ini lebih banyak soal perjuangan ekonomidaripada politik. Warga Republik masih banyak di sini [Jakarta], kita bayar. dengan ORI dan bisa beli barang dengan ORI.
Saya ditugaskan untuk menjaga kepentingan rakyat diJakarta dengan mempertaliankan nilai ORI. Saya yakin bahwa in the long run ORI akan jatuh. Mungkin maksud kabinet supaya bisa bertahan berapa saya kuat. Untuk itu saya harus mendapat beras secara reguler dari pedalamanCikampek, dan beras itu harus dibayar rakyat Jakartadengan memakai uang ORI. Keadaan memang sangat genting waktu itu, terutama buat orang Republik, maka itu kabinet memandang perlu untuk mengambil tindakan semacam itu. Sebab waktu itu, masih ada barangkali limakementerian di [Jakarta] antara lain [Kementerian] Kemakmuran di bawah dr. Adnan Kapau Gani. Komisaris Republik Indonesia tugasnya sangat luas: untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia di kota Jakarta;untuk menjaga supaya [nilai] uang ORI jangan turun; supaya ada koordinasi yang baik (antar kementerian); dan sebagainya. Untuk itu Komisaris diberi kekuasaan yang sangat luas, berhak untuk mengkoordinir semua jawatan jawatan dan kementerian di Jakarta. Komisaris untuk kota Jakarta ini bertanggung jawab kepada Dewan Menteri, tidak kepada Menteri dan tidak kepada Perdana Menteri. Betul itu, hitam di atas putih…
T: Bedanya dengan Walikota apa pak…
J: Walikota bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri. Jadi Komisaris Republik Indonesia jauh lebih tinggi, dan paling kurang sejajar dengan [menteri]. Malahan rnenteri saja tidak berhak mengatur beberapa kementerian. Dus kalau kita pakai Menteri Koordinator, semacam Menko. Tapi itu tidak dipakai. Saya merasa kurang enak waktu itu. dr. Kapau Gani, Menteri Kemakmuran ketika barn datang ke kantornya berkata pada saya, “boss”, Kurang ajar dia (ketawa). “Jij boleh koordinir gue punya kementerian dan sebagainya. Semua pegawai harus turut”, [katanya]. Saya bilang, itu terserah, Kapau Gani. That is OK, saya hadir dalam ruangan di kamarnya. Dus memang tidak ada kesulitan.
Saya tidak [mendapat] kesulitan. Asal tidak salah, saya juga dapat bantuan waktu itu dari pak Margono, pak Sabaruddin, semua orang keuangan yang sekarang [tinggal] di Jalan Paseban, lebih tua dari saya, darn BNI (Bank NegaraIndonesia). Nah jelas apa yang akan saya laksanakan. Pada suatu hari saya membawa duit ORI satu juta ke Cikampek.
T: IItu duit dari pak Margono itu.
J: Ya, untuk di Cikampek. Kalau tidak salah, Panglima di Cikampek adalah dr. Mustopo. Sulitnya bagi kita ini, saya mesti mendapat suatu line kereta api dari Cirebon ke sini, yang tidak boleh diganggu gugat oleh KRIS, dan Lasykar Jawa Barat yang suka menggoda itu, yang memberhentikan kereta seenaknya saja [dan] membongkari barang. Saya mesti dapat garansi bahwa kereta dari Cikampek ke Jakarta tidak dapat gangguan.
T: Dari…
J: Dari tentara. Ya dari TNI, supaya kereta api itu tidak boleh diganggu gugat. Kereta api itu harus sampai di Manggarai.
T: Berangkatnya dari mana.
J: Dari Cikampek; membawa beras.
T: Bapak membelinya langsung dan penduduk…
J: Tidak, saya sudah kasi uang kepada panglima di Cikampek itu, saudara juga kenal Prof. dr. Mustopo. Dulu belum Prof. Dia dokter gigi, tapi dia panglima. Dus saya minta Siliwangi supaya line ini tidak diganggu oleh main-mainan patriot-patriot yang kurang mengerti maksud kita, ya, Lasykar Karawang, lasykar ini dan sebagainya. supaya at least bisa sampai ke Manggarai. [Agar] beras itu sampai ke pak Wir dan aparaturnya. Supaya orang bisa [membayar dengan] ORI dan kita tentu akan dapat mempertahankannya…
T: Dapat berasnya berapa ton kira-kira.
J: Oooo banyak. Sulit saya katakan. Sebab kami tidak hitung berapa ton keperluan Jakarta setiap hari. Penduduknya jauh lebih kecil dari sekarang. Saya juga mempunyai staf. Mereka bekerja sama dengan [Kementerian] Kemakmuran, plus Pemerintah Jakarta.
T: Walikota Jakarta…
J: Ya. Nah,ketika saya Komisaris Pemerintah buat Jakarta Raya itu saya didatangi pada suatu hari oleh Direktur Aneta…
T: Kantor pemberitaan itu.
J: Punya Belanda, kenal baik sama saya. Beliau datang di Jalan Muria. Dia terus tanya, pakai Bahasa Belanda, “apa benar tuan diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Komisaris buat kota Jakarta“. Ya, [jawab saya] . “Saya kenal tuan dokter adalah medical doctor”, dia bilang, “bukan doktor ekonomi, apa yang bisa tuan kerjakan”. Dus tuan yakin saya tidak mengerti apa-apa, kira-kira begitu. “Ya”. Saya bilang kepadanya, tapi jangan cerita kepada orang lain, saya kira saya diangkat justru [karena] saya tidak mengerti apa-apa dalam soal ini, saya bilang. Saya heran Sjahrir otaknya cukup. Dalam sidang kabinet [ada] Sjafruddin-Supeno, yang mempunyai otak. Kenapa saya dipilih, justru mungkin karena saya tidak mengerti apa-apa. “Wah” dia ketawa terbahak-bahak. Dia bilang, “ada-ada saja dr. Halim”. Di waktu saya komisaris terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 serangan Belanda.
T: Ya, agresi ke I.
J: Kan satu bulan cuma itu… Ya, ya. In my position sebagai komisaris saya juga mengadakan pidato setelah Sjahrir pidato kira-kira sebulan sebelumnya…
T: Pidato di Jakarta…
J: Pidato khusus untuk rakyat Jakarta agar jangan [gusar] karena Amir menjadi Perdana Menteri. Pidato saya itu mengatakan, perubahan dalam personalia kabinet, di mana-mana itu adalah biasa, it is natural, ya toh. Yang penting kita harus loyal to the goverment of today. Siapapun menjadi…
T: Pemimpinnya.
J: Waktu itu Sjahrir memang disanjung-sanjung oleh rakyatJakarta. Dus saya bilang, jangan berkecil hati. Perlihatkan loyalitas kepada Perdana Menteri baru. Amir Sjarifuddin tak pernah menyangka bahwa saya akan pidato [begitu]…
T: Pidatonya di mana.
J: R.R.I. di sini, RRI Jakarta. Kami ketemu di stasiun pada suatu hari.
T: Setelah Amir jadi Perdana Menteri.
J: Sudah jadi Perdana Menteri. Sjahrir jatuh, dan politik yang sama akan dijalankan oleh Amir Sjarifuddin. Saya merasa terpanggil untuk berpidato di RRI Jakarta. Amir bilang sama saya, “saya sangat berterima kasila atas pidato Komisaris Pemerintah buat kota Jakarta.”
T: Tadi Bapak menyebutkan antara lain ada dua tugas pokok ketika Bapak menjadi komisaris itu. Pertama, mempertahankan nilai uang ORI; kedua, mengkoordinir beberapa kementerian di sini. Pertanyaan saya, untuk mempertahankan nilai uang ini, kenapa beras [yang] menjadi sasaran Bapak.
J: Sayur-mayur umumnya masih di tangan kita, tidak begitu sulit. Di Indonesia ini, beras sangat pokok. Dan Jakarta ini memerlukan beras dan Karawang. Karawang dulu lumbung padi. Saya [punya] hubungan dengan apa disebut KRIS; Kawanua-Kawanua dan lasykar Jakarta yang bemarkas di Karawang. Memang saya sudah pernah diculik, dibawa kesana dengan paksa…
T: Setelah jadi komisaris.
J: Ya. Ada dua kali ke sana; pertama, sebelum jadi komisaris, dan keduanya setelah menjadi komisaris…
T: Diculik.
J: Ya, katakanlah diculik dari kereta api di Cikarang itu, diturunkan, mesti ikut sama mereka; kereta tidak boleh berangkat. Setelah panjang lebar bicara di markas besar mereka, terdapat pengertian dan apa yang harus saya laksanakan. Maunya mereka sangat pendek, “biar mereka tidak dapat beras, kan semua orang akan lari ke pedalaman. Tidak ada orang kita di Jakarta“. Pernah saya katakan kepada saudara, ketika pergi ke Purwakarta, Bekasi saya buka, saya pergi ke Haris Nasution.
T: Yang menahan Bapak siapa.
J: Nurdin Pasaribu.
T: Itu dari Lasykar mana.
J: Jakarta Raya, pakai pici merah. Soalnya begini, ya, mereka politis masih sangat dikuasai oleh orang-orang kayak Mr. Moh. Yamin, dr. Darwis (sekarang di Tanjung Karang), juga orang Menteng 31 antara lain Chairul Saleh. Tetapi personal relationship saya dengan ketiga orang itu cukup baik.
T: Cukup baik.
J: Pada suatu hari ketika di Jatibarang kereta api dari Yogya cross dengan yang datang dari Jakarta. Saya mau ke Yogya dan sebaliknya. Ke luar dari kereta dari Yogya itu panglima dr. Mustopo. Dia bilang kepada saya, “saya baru-baru ini dari Cikarang. Saya kasih mereka ultimatum, ya begini-begini”, katanya.
T: Apa ultimatumnya.
J: “Janganlah dianggap beras yang dari Cikampek ke Jakarta itu adalah untuk Nica”, [katanya] kepada laskar-laskar yang acapkali menghentikan kereta. “Beras itu adalah untuk perjuangan kita”, cerita dr. Mustopo. “Kalau perlu ada pertempuran di situ”, katanya. “Mereka mengerti saya. Setelah pertemuan itu akhirnya semua berjalan lancar”, kata dr. Mustopo. Memang sesudah itu hampir tidak ada lagi gangguan terhadap kereta api yang memuat beras ke Jakarta. Tidak lama sudah itu aksi militer toh, kalau tidak salah 21 Juli. Saya sudah di Yogya pada tanggal 21 itu.
T: Apa yang saya maksudkan, sebagian sudah Bapak terangkan, antara lain pemilihan beras sebagai senjata untuk mempertahankan nilai uang, itu banyak sedikit juga mempengaruhi pikiran-pikiran laskar-laskar di daerah itu, bahwa membawa beras ke Jakarta banyak sedikitnya dianggap membantu Nica. Dalam kerangka ini saya ingin tanyakan, kenapa Bapak menganggap beras inilah yang bisa sebagai suatu senjata untuk mempertahankan nilai uang.
J: Ya. Memang, kalau kita [bandingkan] harga beras yang dijual Nica, beras kita dijual lebih rendah dengan uang ORI. Jadi katakanlah hampir kayak dumping, maksud saya begitu. Dalam hati saya tidak merasa akan dapat melawan mereka [Nica] terlalu lama. Pada tingkat pertama ORI dapat dipertahankan dengan kesadaran rakyat. Mereka [punya] importir, kita mana, tidak ada. Kalau barang impor dari Belanda datang, dan mereka menjual bukan dengan ORI tapi dengan uang merah, efeknya sudah lain. Malah kemudian ada pegawai kita yang berhasil ditarik Belanda, yang sebelumnya kita bayar dengan ORI, kernudian jadi pegawai Nica dan dibayar dengan uang merah. Jadi saya tidak percaya, bahwa Perdana Menteri tidak tahu bahwa lambat laun ORI akan jatuh. Tapi memang ada orang Jakarta yang menyebut saya Komisaris ORI.
T: Apa yang Bapak harapkan dari policy Bapak itu.
J: Bulan-bulan itu, Juni dan sebagainya Linggarjati sudah diinterpretasi begini-begitu. Sedangkan 30 November 1946Inggris telah meninggalkan [Indonesia] . Saya yakin bahwa Belanda akan rnemakai kesempatan untuk menghancurkan kita. (diam sejenak). Paling-paling mereka bersedia memberikan kita suatu otonomi. Sedangkan mereka pada kira-kira bulan Juni 1947 itu troepen-nya [seperti] yang saya baca dalam salah satu majalah, “seratus ribu untuk Jawa”. Terang mereka akan memakai kekerasan. Saya sendiri mempunyai pandangan bahwa garis Jatibarang-Cikampek-Jakarta ini tidak lain dan lagi akan dikuasai mereka.
T: Bapak waktu itu berkantor di mana.
J: Di sini juga, Cilacap 4 dan satu lagi di BNI.
T: BNI mana pak.
J: BNI di, apakah jalan Gresik itu namanya. Kantor saya resmi di sini. Tapi lebih sering saya sama pak Sabaruddin dan pak Margono berada di Jalan Gresik rumahnya dari seorang kawan (dia jadi besan Prof. Nizar). Sebelum pensiunan dia kepala Tabungan Pos. Darmo Sutanto namanya. Di rumah dia itu kami sering berkumpul. Staf saya yang terpenting adalah sekretaris saya, lupa namanya sudah meninggal, tapi kawan almarhum Supeno….
T: Stafnya banyak juga.
J: Tidak-tidak. Saya banyak pakai staf pak Wir, melalui Wilopo…
T: Departemen yang ada di Jakarta yang bapak koordinir: kemakmuran, apa lagi…
J: Pendeknya ada lima I know five, Kemakmuran, Luar Negeri, sebagian Dalam Negeri, Perhubungan, Penerangan. Praktis tidak ada yang utuh. Yang paling banyak Luar Negeri.
T: Selebihnya di Yogya.
J: Kementerian Dalam Negeri terbesar ada di Purwokerto. Penerangan masih di sini (diam sejenak).
T: Terus. Cerita bapak yang kedua bagaimana, Komisi Jenderal itu…
J: Begini saudara. Saya diangkat oleh Sukarno bersama Mr. Ali Budiardjo, Mr. Suwandhi menjadi delegasi untuk datang ke istana Belanda di Rijswijk. Pada akhir bulan Mei 1947 ada nota dari Komisi Jenderal. Ada 4 atau 5 point pada kita, “untuk membentuk negara Indonesia Serikat secepat mungkin; joint gendarmerie.” Ada dua lagi. Dus itu sebetulnya, soalnya alternatif. Kita jawab 8 Juni. “Kita tidak bisa terima soal gendarmerie, tapi kita bisa terima Pemerintahan Negara Indonesia Serikat as far as possible, dengan pengertian kekuasaan de facto dari Republik Indonesia tidak boleh dikurangi”. Itu kan tidak diberikan begini (sambil memberi contoh tukar kertas dengan tangan) saja, [tapi] pakai diplomasi. Tapi terasa itu adanya tension. Sehingga untuk menghilangkan tension itu ‘pada tanggal 19 Juni kalau tidak salah, Sjahrir [mengadakan] pidato radio. The main point is, “dia bersedia mengakui kedaulatan Belanda terhadap Indonesia semasa peralihan”. Dus the main pointdan pidato itu untuk mengambil angin. Dia sudah tahu keadaan. Sebab kami juga ada beberapa orang koresponden, orang Inggris sebagai kawan dekat (liason officer) yang bilang kepada kami, “sebetulnya the military preparation sudah jauh”. Kami dari Republik Indonesia dapat nota lagi, nota tanggal 23 Juni dari Komisi Jenderal bahwa mereka tidak menerima yakni jawaban kita tanggal 8 Juni, tidak bisa [mereka] terima secara menyeluruh. Itu terbukti pada pidato Sjahrir. Dus Perdana Menteri Sjahrir memberikan konsesi pada mereka. Itu belum sampai. Jawab mereka tanggal 23 Juni itu berisi balasan nota kita 8 Juni, sedangkan Sjahrir 19 Juni sudah mengasih konsesi lebih jauh lagi.
T: Dengan pidato radio.
J: Dengan pidato radio. Dus itu cross. Apa [pidato] itu didengar apa tidak, saya tidak tahu. Yang jelas dan seperti saya katakan kepada saudara pidato Bung Sjahrir mendapat reaksi di Yogya. Saya minta kepada Perdana Menteri supaya saya dikirim ke Yogya untuk menjelaskan makna pidato itu ke sayap kiri dan lain-lain. Sjahrir tidak mau. Dia kirirn Mr. Abdul Madjid yang akhirnya berbalik pendirian di sana. Sjahrir kanke Yogya sesudah itu, diadakan rapat kabinet tanggal 27 Juni di Kepresidenan.
T: Di Yogya.
J: Dia kasih expose dari makna pidatonya, kenapa begini, begitu dan sebagainya…
T: Dalam sidang kabinet ya…
J: Dalam sidang kabinet. Saya diminta hadir, dan saya memang hadir. Saya tidak pikirkan itu, sebagai apa saya di sana. Lupa pada kedudukan saya sebagai Komisaris Republik Indonesia.
T: Terus.
J: Nah ini yang lucunya, ketika dikasih expose begitu, “kenapa dia begini begitu, begitu-begitu”. Itu Amir yang banyak bertanya. Akhirnya Amir bilang, “wah kalau begitu maka saya anggap suatu sikap yang sangat lihai dari Perdana Menteri mengadakan pidato serupa itu”.
T: Tentang apa maksudnya itu, memberikan konsesi…
J: Konsesi, tanpa menggugat joint gendarmerie. Apakah artinya itu di dalam masa peralihan.
T: Ya.
J: Kan negara-negara bagian atau telah dibentuk [federal] pada waktu itu: Pasundan, Jawa Timur. Semua sedang dibentuk, bukan. Ketika sidang kabinet sedang berjalan tiba-tiba adasurat buat Bung Sjahrir…
T: Dari.
J: Ternyata dari sayap kiri…
T: Dari luar [sidang kabinet].
J: Dari luar, datang orang rnasuk, dan meninggalkan sebuah suratberisi, “sayap kiri tidak dapat menerima pidato Perdana Menteri Sjahrir itu”…
T: Sjahrir.
J: Ya.
T: Buat Sjahrir berarti dukungannya…
J: Habis. Sjahrir jelas mengundurkan diri. Tidak ada majority lagi. Saya kurang mengerti waktu itu. Natsir, Menteri Penerangan, diam saja. Tapi si Amir saya masih tetap rapat dengan dia, saya anggap dia juga a star, kok dia tidak bilang apa-apa, Sedang baru saja dia bilang, “itu pidato sangat bagus”.
T: Suatu policy yang lihai.
J: Ya. Sudah itu Presiden skors rapat. OK, Kabinet Sjahrir bubar. “Tapi sekarang kita bersama sama, sebagai warganegaraIndonesia saja lah, ngobrol saja, ” kata Presiden. Pak Dirman hadir dalam rapat itu. Saya ditanya, “mas dokter, ini bagaimana kalau begini. Sjahrir dijatuhkan karena politiknya. Tadi sudah diputuskan politik ini akan diteruskan”. Saya bilang, ini namanya politik. Apakah benar atau tidak, sudah ada itu analisa disampingnya, jago-jago yang tidak mau mengasih kompromi sedikitpun, ya, PNI, Masyumi, Persatuan Perjuangan dan sebagainya. Tapi sayap kiri sendiri saya lihat sudah lain. Menurut saya, sayap kiri itu sudah diidentikkan dengan FDR—PKI pada waktu itu, Sjahrir dianggap Soska.
T: Sosialis kanan.
J: Saya ceritakan kepada saudara, kami [yang] ditunjuk itu [untuk] membawa nota ke Istana Merdeka, Het Paleis itu: Mr. Suwandi, Mr. Ali Budiardjo, dan saya.
T: Tiga.
J: Tiga. Amir Sjarifuddin baru saja jadi Perdana Menteri menggantikan Sjahrir. Kabinet sedang berusaha untuk membuat agar Belanda tidak menyerang. Karena itu Sukarno dan Amir bikin nota. Mr. Suwandi yang duduk sebagai salah seorang menteri dalam kabinet ini ditunjuk untuk memimpin delegasi ke Komisi Jenderal [Belanda]. Saya ketawa ketika dia datang ke rumah saya di Jalan Muria untuk cari dasi. Jadi delegasi itu berdasarkan keputusan Presiden. Asal saya tidak salah, kami mesti memberikan jawaban kepada Komisi Jenderal dalam waktu fourteen days. Tapi saya tidak yakin lagi apa yang kami berikan kepada Belanda itu, ya, itu kayaknya isinya konsesi lagi, menyerah deh, ya. Cuma yang bisa saya katakan kepada saudara, bahwa ketika kami bertemu dengan Komisi Jenderal itu, sebetulnya kami itu, kayaknya tidak perlu datang deh.
T: Kenapa.
J: Mereka sudah mempunyai rencana lebih dahulu. Rencananya apa. Ya itulah.
T: Mau menyerang kita.
J: Ya kira-kira begitu. Dus mereka itu mempunyai pendapat, perlu dikirim gendarmerie untuk keamanan di seluruh kawasanIndonesia dan sebagainya. [Mereka] tidak terima R.I. sebagai negara yang berdaulat. Beberapa menit kami diterima di situ itu. Kami merasakan bahwa tidak ada [harganya] , kayaknya kami diketawai begitu.
T: Oleh siapa.
J: Oleh mereka. That’s my feeling. Memang juru bicara [kita] adalah yang paling tua; pak Mr. Suwandi.
T: Mereka siapa yang menghadapi…
J: Tiga. Van der Poll namanya satu ya. Ada tiga orang dia. Van Mook juga ada. Dulu saya anggap akan ingat saja semua. Saat sekarang lupa, mesti tanya sama Budiardjo, mungkin dia lebih ingat. Cuma yang seperti saya katakan cara kami itu sudah…
T: Tidak populer.
J: Ya, artinya, ya, saya tidak bisa melepaskan diri saya, bahwa saya dianggap kacung oleh tiga Belanda itu. Tidak baik kalau saya ngomong begitu. Maaf, barangkali orang lain banyak tidak setuju. Karena saya berpendapat bahwa untuk mengetuai sebuah delegasi politik, sebaiknyalah dipercayakan kepada seorang politikus, tetapi tidak kepada seorang yang hanya pintar saja, namun tidak atau kurang lihai dalam politik, umpamanya Mr. Suwandi (alrnarhurn) atau Prof. Soepomo (almarhum). [Pada delegasi inij kita kasihkan kepada orang yang sangat pintar, yang tua dan juga ikut di Hoge veluwe, Mr. Suwandi. Ada satu pertanyaan itu, mengenai apa, “lho kok ini berlainan”.
T: Kata mereka
J: Ya. “Ya itu adalah buat konsumsi dalam negeri”, jawab almarhum Mr. Suwandi. Sampai saya, aduh kok begini caranya berunding. Wah akan lain kalau politikusnya. Cuma itulah. Saya kembali ke Yogya. Terus tidak lama saya, keJakarta lagi.
T: Jadi bapak pulang ke Yogya itu, di Yogya Amir sudah jadi Perdana Menteri.
J: Ya, Amir. Waktu perginya itu [yang], memerintahkan Presiden. Ini seingat saya. Tapi jelas kami pergi ke [istana] itu setelah Sjahrir jatuh. Apa waktu itu masih repot dalam pembentukan kabinet, saya rasa begitu.
T: Waktunya pak sudah lewat. Kayaknya Bapak masih capek saya kira.
J: Ya. Saya minta maaf.
T: Kita ulang saja beberapa hari yang akan datang.
https://aswilblog.wordpress.com/2008/12/09/kenang-kenangan-dr-abdul-halim-bab-vi-2/