- SATU ORANG DENGAN EMPAT PERISTIWA
[caption id="" align="aligncenter" width="438"] Picture: Tropen Museum[/caption]
T: Pada pertemuan-pertemuan yang telah lalu Bapak telah menceritakankegiatan tahun 1945. Sekarang kami mengharapkan dari Bapak cerita-cerita di tahun 1946, dan bagaimana aktivitas Bapak pada tahun tersebut, kemudian bagaimana peranan Bapak terhadap masalah-masalah besar yang telah terjadi pada tahun 1946 itu, antara lain mungkin peranan Bapak sebagai tokoh politik dalam Badan Pekerja, atau sebagai a loner seperti yang Bapak pernah bilang.
J: Baiklah. Kalau saudara mengharapkan banyak role saya, atau peranan saya di tahun 1946 sampai dengan sidang KNIP terakhir di Malang tahun 1947,maka saya kira tidak banyak. Soalnya begini. Kalau soal-soal pendirian partai-partai itu saya cuma melihat dan mengikuti. Oooo hebat. Sebetulnya kegiatan yang dijalankan oleh tokoh-tokoh politik yang akhirnya dikoordinasikan dalam Persatuan Perjuangan. Kalau saya tidak lupa, dikatakan termasuk dalam itu 144 organisasi yang hidup termasuk included partai. Jadi mereka sangat kuat dan juga bisa membuat statement yang hebat-hebat. Itu saya sadari. Saya berbicara dengan Bung Hatta dan Supeno mengenai soal ini, bagaimana kira-kira menghadapi arus yang kelihatannya bertambah besar. Tapi saya sendiri seperti yang saya katakan. saya bekerja sebagai a loner. Saya ingat di tahun 1946 yang berkesan di hati saya ialah pengungsian Presiden dan Wakil Presiden tanggal 3 Januari itu ke Yogya. Sudah itu pencarian tempat buat Badan Pekena yang lambat laun harus mengungsi pula, karena sudah terasa betul keamanan di kantor P & K ini (sambil menunjuk ke Cilacap 4) sudah sangat minim.
T: Ya. Kita mulai dengan Badan Pekerja. Bapak menyebutkan ada beberapa Komisi yang dimiliki Badan Pekerja, antara lain: Komisi Luar Negeri, Komisi Pertahanan, Sospol. Unsur budaya apa tidak ada.
J: Sudah masuk Sospol. Sebab kita tidak mau membagi begitu banyak seperti DPR/MPR sekarang, karena kita sedikit orangnya.
T: Bapak sendiri masuk komisi mana.
J: Saya ketua komisi luar negeri. Tapi juga ada kalanya saya di pertahanan. Kan berobah-obah itu.
T: Jadi anggota komisi itu tidak tetap.
J: Tidak, artinya dari periode ke periode.
T: Komisinya tetap, tapi siapa-siapa yang duduk di komisi itu tidak tetap.
Yang terbanyak perhatian Bapak dalam komisi mana.
J: Luar dan Dalam Negeri.
T: Dalam Negeri, komisi apa itu, pertahanan.
J: Ya.
T: Dan mengenai orang yang harus masuk komisi ini, si A masuk komisi ini, si B masuk komisi ini, apakah ditentukan oleh ketuanya atau oleh partainya.
J: Tidak. Ketua cuma menanya, siapa yang mempunyai perhatian terhadap ini. Tidak banyak orang yang mempunyai perhatian terhadap politik luar negeri. Dia tahu bahwa dia tidak akan bisa mengikuti, artinya orang yang akan mengetuai komisi luar negeri, paling kurang dia harus mendengarkan semua radio-radio. To keep informed, toh. Dan membuat analisa-analisa. Jika orang itu tidak pernah…
T: Mendengar radio luar negeri…
J: Atau dia tidak bisa bahasa Inggris dan sebagainya. Jadi begitu banyak kerja yang harus diselesaikan Badan Pekerja ini ya, sehingga waktunya saya kira sudah [sempit] . Sebab kan wajar seorang ketua mengadakan wawancara toh.
T: Semacam hearing.
J: Hearing atau bagaimana? Begitulah… Hal lain yang ingin saya ceritakan, tapi datanya saya tidak bisa paparkan adalah ketika Klender—Bekasi sudah diduduki oleh Sekutu, [dan] tentara kita membuat policy bumi hangus. Tidak itu saja, semua orang disuruh evakuasi. Itu atas perintah atau paling kurang persetujuan Kolonel Haris Nasution, Panglima Siliwangi, yang waktu itu berada di Purwakarta. Mereka punyapolicy agar kota yang sudah diduduki musuh ditinggalkan. Kami waktu itu tidak setuju dengan policy yang dijalankan oleh tentara. Saya katakan, orang-orang di Jakarta, antara lain orang perhubungan, [dan] salah satu top ranking offisial kita pada waktu itu bernama Ir. Abdul Kadir, dia ingin membuka kembali D.K.A. (Djawatan Kereta Api).
T: Line, antara…
J: Ya, Bekasi dan di sini [Jakarta] . Jadi dari pedalaman. Itu kan setelah pertempuran dengan pasukan kita, [kemudian] diduduki. Untuk membuka itu saya diundang, diminta untuk memimpin itu bersama dengan ajudan saya (berpikir) Mayor Utharyo. Masih ada orang itu, dia juga pernah jadi ajudan dari Kawilarang. Kita ikut naik kereta api pertama, pembukaan itu. Dan sore itu saya lihat…
T: Naik kereta api dari mana.
J : Dan Jakarta ke Purwakarta untuk menemui Panglima Haris Nasution, dan Letkol. Askari. Askari ini kawin dengan adiknya Alex Kawilarang. Nah kami lihat mulai dari Klender, pandangan yang sangat memilukan deh. Tidak ada orang. Saya bilang kepada Mayor Utharyo, saya tidak setuju dengan policy meninggalkan kota. Ini berarti bulat-bulat menyerahkan kota itu semuanya. Mestinya, biarpun sudah diduduki kita membuat orang-orang di situ ada underground. Mereka [tentara] di luar, dalam kota cooperation, di bawah tanah. Now OK. Dus Bekasi pun begitu. Nah kami sampai di Purwakarta. Saya berbicara dengan Kolonel Abdul Haris Nasution. Buat pertama kali saya bertemu dengan dia. Dan saya harus akui, dia itu tidak merasa bahwa tentara saja yang benar, dia lebih tahu. Tapi sudah saya ceritakan kerugian-kerugian dari policy seperti ini sangat besar. Itu berarti Belanda sekarang enak saja. Merokok-merokok begitu. Sedangkan kalau kita masih di situ, terang [mereka] menjalankan patroli dan sebagainya. Dan kalau ada orang-orang kita yang berada di kota yang didudukinya itu, [mereka] akan memberikan info kepada kita toh. OK. Nah kita kembalinya sore.Yang mau saya ceritakan, di situ, aduh… saya lihat sapi-sapi, lihat ayam-ayam bertenggek-tenggek tanpa ada orang begitu, memilukan deh…
T: Sepi…
J : Sepi. Sesudah kami kembali besok harinya, barn kita mulai kembali ke Bekasi, Cakung, Klender. Ada tiga kota kecil di sini: Klender, Cakung, Kranji dan Bekasi. Bekasi yang terbesar. Cuma Bekasi yang tetap diduduki. Tambun masih tetap di tangan kita. Dan itulah yang saya kerjakan sebagai anggota Badan Pekerja. Sudah itu yang saya kerjakan di akhir tahun 46 adalah menjelang tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia. Saya kira mereka meninggalkan Indonesia formal de factoitu 30 November 1946. Pada suatu ketika, di sinilah saudara lihat sendiri, kedudukan saya sebagai a loner, itu Bogor ditutup oleh Inggris, sudah diduduki. Ada 19 atau 12 tentara Inggris, yang bukan orang Inggris, tentara Inggris tapi bukan Inggris, bukan Gurkha tapi Pakistan dan India; mereka itu menyeberang kepada kita…
T: Di mana itu.
J: Bogor, menyeberang kepada tentara kita di bawah Alex Kawilarang 5?, yang mempunyai markas besar waktu itu somewhere di Cicuruk, pendeknya sebelum Cicuruk, antara Cicuruk dan Cigombong. Inggris tidak bisa mentolerir itu tanpa punishment, tanpa hukuman. Tentara tidak ada artinya kalau orang-orang bisa begitu saja lari.
Dus karena itu is tutup kota Bogor, tidak boleh in and out. Nah saya dipanggil ke Pegangsaan Timur 56 [oleh] Sutan Sjahrir. Saya dapat surat perintah, buat Alex Kawilarang. Surat perintah dari Perdana Menteri untuk mengembalikan orang-orang Pakistan dan orang-orang India itu kepada tentara kerajaan Inggris. Nah saudara bisa bertanya kenapa saya yang dikirim. Saya juga, I don’t know, kenyataannya saya pergi. Nah dengan ajudan saya ini, Mayor Utharyo juga. Juga Mayor itulah yang berhubungan dengan Rapwi dan sebagainya, teman karib saya. Kami pergi ke suatu jalan di Bogor, Di situ masih tinggal pada waktu itu, apa saudara kenal Idham namanya, putih orangnya. Sekarang top man dari Asuransi Bintang di jalan Gajah Mada. Na itu sebuah rumah di mana kami menginap sebelum besoknya menghadap ke Istana Bogor. Nah ini lagi yang mesti dicari, apakah [komandan] di situ dulu namanya Kolonel West atau Thomson, saya sudah lupa. Dus, top ranking English officer di sana. Pendeknya kami pergi dengan otonya Idham, di antar. Kami pergi ke istana, menghadap Kolonel Inggris itu. Setelah ngobrol keadaan begini begitu, saya tanya berapa orang [tentaranya] yang lari. Dia bilang, “tuan sudah mengerti bahwa tentara tidak bisa begini. Kita harus bertindak. Kami tidak mau lagi berperang, jemu sudah, apalagi dengan Indonesia. Kami tidak mau perang, kita mau damai saja.”
T: Kata dia.
J: Ya. “Kami betul tidak mau, kalau bisa kami hindarkan, tapi kalau begini tidak bisa, tuan bisa bayangkan, tentara apa yang begini.” Terus dia tanya, “apa pekerjaan saudara dr. Halim di Republik.” Itu persis Bahasa Inggris dia bilang, “What is exactly your official job in the government of the Republic of Indonesia” Saya bilang cuma, I am only a member of the working committee.” You have no executive Power, do you?’
Tidak, saya bilang, “And you think you will succeed,”dia bilang. “Tuan sangka tuan akan berhasil.” Saya bilang, paling kurang I make a try, ya toh. “Saya tidak percaya,” [katanya] . “That is up to you.” Wah kalau kita melihat intel kita ini, jago dia punya intel. Yang hebat lagi dia berkata, “di sini tentara ini.” Tapi yang dia bilang adalah Letkol Sukardi beserta stafnya berada antara Cigombong dan Cicuruk. Dia bilang, “as far as we know” itu kalau sejauh jembatan di Cigombong, kalau you sesudah Ciawi ke kanan. Di situ ada danau apa itu, sebelah kiri ke arah Sukabumi, sebelah kiri ada mandi-mandian, danau-danauan. Lebih lanjut lewat jembatan Cigombong, di bawahnya jalan kereta api, dia kasih tahu saya.
T: Apa Cimelati.
J: Tidak. Lido. Akhimya dia bilang, “dr. Halim, kami tidak mau nanti tuan-tuan masuk perangkap. Sebab di mana-mana oleh mereka ditarok ranjau besar di bawah jalan.”
T: Kata dia.
J: Kata dia. Sebab dia takut. Bagaimana. Ya OK deh. Kami pergi ke Ciawi. Saya enak saja waktu itu. Tiga kilometer dari Ciawi sudah tidak ada manusia lagi ke arah Sukabumi. Betul, not a single person, and kami melihat di mana aspal irregular, tidak rata, kami cepat berhenti. Lihat dulu, minggir jalannya. Kami takut kena ranjau, ya toh. Di Cigombong itu separo dari jembatan sudah dirusak. Jadi [hanya] bisa separo-separo dipakai dan itupun mesti hati-hati deh. Supaya Inggris jangan leluasa bawa tank ke situ deh. Akhirnya kami sampai, dengan jalan kaki sedikit dari jalan besar [ke] markas Alex Kawilarang dan Sukardi. Sukardi apa masih hidup saya tidak tahu, Alex Kawilarang masih hidup. Nah, saya cerita apa yang terjadi, Bogor ditutup. Memang terus diserang gerilya tiap malam [di] gempur ke sana. Dan mereka senang serdadu Inggris melakukan [desersi] . Tapi mesti dikembalikan…
T: Yang desersi itu.
J: Ya. Kemudian Alex Kawilarang memanggil seluruh stafnya. Reaksi pertama adalah, “ah mana bisa. Orang mau bantu kita, kok sekarang kita kembalikan, dan dihukum nanti. Kan dapat military punishment.” Nah, sudah lengkap, OK.
T: Jumlah [serdadu Inggris] itu berapa…
J: 19 orang yang seingat saya. [Sebetulnya] saya juga bisa kasi surat perintah atas nama Dewan Menteri Republik Indonesia, Perdana Menteri Sutan Sjahrir sama Alex Kawilarang. Itu [ada] di kantong saya. Reaksi anak-anak “tidak mau,” sangat logis kalau dipandang dari [sudut] mereka. Kemudian saya bawa mereka ke arah pemikiran baru. [Saya bilang], langkah-langkah perjuangan itu tidak bisa dikuasai emosi, oleh kesenangan, oleh kesepian, tidak bisa. Dus kalau kita dengan sikap diplomasi, melalui rapat, akan berhasil mencapai tujuan kita, kita tentu akan ambil itu. Hendaknya Indonesia merdeka itu, sedikit mungkin korban lahiriah dan sebagainya. Nah dengan ini, andaikata [mereka] ini kalian kembalikan, kita akan menunjukkan kepada Inggris, sebab kalian kembalikan itu atas perintah Perdana Menteri, bahwa tentara taat kepada Perdana Menterinya. Dus, itu berarti kalian ini betul-betul tentara. Jangan apa yang disebutkan “ektremis-ektremis,” masih saya pakai perkataan itu. Ramai! Saya ingin tahu pada kalian, berapa betul keuntungan materil fisik, strategis, taktis, berupa fire power, dan sebagainya dengan 19 orang ini. Apakah kalau kalian setuju saya ini, berarti [keuntungan] lebih besar. Terang Kolonel West atau Thomson akan mengakui. Dia lihat tentara itu dapat perintah dari Perdana Menterinya, [patuh] , biarpun [punya pendapat lain] . Itu kan suatu pengakuan yang besar. Kalau kita berkelahi, kita harus mencari sebanyak mungkin kawan, sedikit lawan. Yang akan kita hadapi Inggris, sedangkan Inggris bukan musuh kita. Melawan Belanda saja sudah kedodoran, kenapa Inggris kita ikut sertakan. Termakan oleh mereka. Akhirnya “OK”. Sudah. Kata Kawilarang, “ini hanya mungkin baru besok [pelaksanaannya] , besok sebelum matahari terbenam kita antarkan 19 orang”. Agreed. Tapi secondly, “dr. Halim jangan berangkat dulu, makan sate, kita potong kambing,” kata Alex Kawilarang. Saya enak saja, OK. Setelah itu baru saya kasih lihat kepada Alex, Lex ini surat dari Perdana Menteri (sambil tertawa). Kata dia, “Kenapa tidak lebih dahulu kasi lihat.” Kalau saya perlihatkan lebih dahulu, you sebagai militer, ya bapak kamu militer, terang OK, tapi akan nyumpah-nyumpah. Saya sendiri [ akan ] Bung sumpah-sumpah. Kalau sekarangjullie [setuju] karena keinsyafan sendiri. Dus saudara taat. “Wah dokter ini lebih jahat ini.” Lho you lebih puas ini apa tidak? “Ya, terang, tapi [kalau] you kasih lihat itu surat perintah Perdana Menteri lebih dulu saya akan laksanakan.” Yes I Know, tapi dengan cara begini anak-anak ini kan lebih puas.
[Kemudian] kembali ke Kolonel West atau Thomson. Dia bilang, “apa jaminan [buat] saya. Tuan percaya [pada] Letkol Alex Kawilarang.”Of course I do.”, Dia tidak percaya pada saya. Itu hak Kolonel percaya [atau] tidak toh, seperti hak saya juga untuk mempercayai tentara saya. Tapi saya akan buktikan bahwa ini bisa. “OK, saya akan buka kota sore ini juga,” dia bilang, “tapi jika orang-orang kita tidak kembali, kota akan saya tutup kembali dan segera akan saya serang itu tentara R.I. semua.” Saya bilang, it is your right. Kemudian kami kembali ke rumah. Kira-kira pukul 5.30 sore, atau lebih cepat pukul 5 sore, saya lupa, dapat telepon dari Kolonel West atau Thomson itu. Dia bilang, “Congratulations dr. Halim”. Nah, saya [bilang] , I am happier than you are, saya lebih puas. Nah terus ditanya, “you pulang kapan.” Besok. Dia bilang, “datang saja ke istana dulu.” Di sana… (sambil ketawa geli) rupanya the23rd Indian Division sedang akan ditarik dari Bandung, sudah tiba di Bogor, mau dipulangkan. Baru [pertama] saya melihat tank-tank sebesar-besar begituan, baru pertama kali seumur hidup. Saya ditarok di tengah-tengah, di dalam jip. Jadi kami kembali dengan konvoi. Aduh brisik bunyinya. Kami tiba di Pegangsaan Timur, dan saya melapor kepada Perdana Menteri. Inilah yang antara lain yang masih lekat dalam ingatan saya, di dalam perjuangan. Ini pasti betul tahun 46, artinya betul-betul beberapa hari atau beberapa minggu sebelum tentara sekutu, Belanda—Inggris akan ditarik dari seluruh Jawa yang terjadi pada tanggal 30 November 1946.
Pada pelepasan [mereka] itu Bung Sjahrir masih mengadakan pidato. Jadi itulah role saya. Sebagai [anggota] Badan Pekerja di dalam tahun ’46 itu sebetulnya tidaklah begitu banyak, [kecuali] kadang-kadang personal approach di sini, personal approach di situ. Umpamanya saya bicara dengan Mr. Moh. Yamin. Dia bilang, “Sjahrir terlalu lembek terhadap Belanda.” Dia mempunyai lasykar di Karawang, Lasykar Jawa Barat (sambil ketawa) Nurdin Pasaribu itu dia punya komandan, botak. Suatu ketika berkenalan juga saya dengan lasykar ini. Setelah lewat Tambun itu kereta [api] dilingkari oleh anak-anaknya, terus saja saya dibawa ke markas [mereka] di Karawang. Mereka ekstrim. Nurdin Pasaribu, saya masih ingat dia itu pakai topi merah. Mereka tidak begitu senang politik Sjahrir, dianggap terlalu lemah.”Mestinya barn berunding kalau Belanda sudah di laut,”begitulah dia punya pendirian. Jadi di markas mereka saya terpaksa ramai. Mula-mula mereka itu sangat sinis terhadap saya. Saya kasi kuliah, bahwa politik luar negeri dan dalam negeri itu sebetulnya adalah dwi tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Dan saya dalam itu lebih pintar dari mereka semua. Ini gampang saja. Banyak saya ceritakan sehingga mereka sangat puas, malah mengundang saya datang kembali. Saya dianggap sebagai orang dekat dengan Sjahrir. Nah ini Yamin tahu (sambil ketawa), Yamin tahu itu. Terbukti ketika kita berapat di Solo mengenai Persatuan Perjuangan…
T: Sidang pleno KNIP di Solo.
J: Di Solo. Yang terjadi dalam suasana yang bergelora…
T: Bapak waktu itu hadir.
J: Hadir. Oooo …. saya yang sangat ingat ialah soal-soal kecil. Ketua pada waktu itu adalah Mr.
Assaat. Supeno tentu hadir. Saya lebih banyak di luar sidang daripada di dalam sidang, di rumah Komisariat R.I., Raden Pandji Suroso…
T: Kenapa lebih banyak di luar…
J: Oleh sebab saya sudah tahu apa yang akan terjadi. Saya dengar Karni, mereka mengajukan program, program Persatuan Perjuangan, yang bagi kami impossibleuntuk menerimanya. Ya secara kasarnya: berunding atas dasar kemerdekaan 100%. Itu sangat ekstrim. Sebetulnya tidak mungkin. Boleh buat gagah-gagahan, tapi ituimpossible…
T: Kenapa impossible.
J: Ya, kita mesti ingat Republik Indonesia barn disamakan dengan seorang bayi. Bayi, itu tidak bisa diadu dengan orang-orang dewasa, diadu dengan lawan kayak Inggris dan Amerika Serikat, dan sebagainya. Jadi kita mesti can jalan diplomasi, di mana kita bisa mencari simpati sebanyak mungkin. Sebab kita juga hams mengerti bahwa tenaga kita sebagai tentara belum bisa dibanggakan. Memang dengan latihan yang kurang, [dan] dengan persenjataan yang kurang. Jadi Karni dan Chairul Saleh tidak begitu dekat dengan Sjahrir…
T: Apakah Sukarni mengajukan Tan Malaka.
J: Pada waktu itu Impossible.
T: Impossible karena apa.
J: Suasana. Suasana tidak akan bisa menerima Tan Malaka pada waktu itu menurut saya. Saudara jangan salah atau lupa bahwa banyak anggota KNIP adalah pegawai negeri dari Nederlands Bestuur dahulu…
T : Yang pada saat itu masih pegawai negeri…
J: Ya. Bupati, eh regent, mereka dengar Tan Malaka… (tertawa). Sjahrir mengadakan pidato, yang mempertahankan policy dia, [ bahwa] tujuan hanya bisa dicapai dengan keuletan dan dengan tingkah laku yang diperhitungkan. Bukan didorong oleh emosi saja, dan [bukan] oleh rasa patriotisme yang tidak terarah. Pidato Sjahrir itu cukup panjang. Beliau meletakkan jabatan di situ, ya toh. Tapi saya sudah tahu Bung Karno akan menunjuk dia lagi…
T: Kenapa.
J: Oleh sebab Bung Karno bilang pada saya, “itu pidatonya Bung kecil, tidak satu jarumpun bisa kita masuki, untuk mendebatnya.” Itu Presiden himself yang bilang sama saya, di rumahnya Pandji Suroso. Karena itu, Yamin meminta waktu itu, “Kabinet Sjahrir hendaknya ditukar dengan spectraal. Jadi semua warna spektrum harus ada…
T: Koalisi.
J: Ya. Dijawab oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Seingat saya… (sambil ketawa) dia menanya, “Ya saya tahu; apa gunanya di sini mengacung-acungkan pistol kepada orang yang tidak punya pistol,”kata Sjafruddin menyindir Sukarni,. “Dan berhubung dengan permintaan Moh. Yamin itu saya kira barangkali Mr. Moh. Yamin bermaksud bukan membuat spectraal kabinet, [tapi] spektakel kabinet.” dia bilang. Wah ramai perdebatan. Pendeknya, di Solo setelah itu, Presiden menunjuk lagi Sjahrir sebagai formateur kabinet. Saya kebetulan pulang ke Jakarta satu kereta api dengan Mr. Yamin. Dia turun di Karawang. Dia bilang, sama saya, “kalau berani, turun di sini,” kata dia. Saya bilang, nantilah saya datang, kata saya… (sambil ketawa). Dia tidak ke Jakarta, [tapi] turun di Karawang. Sebetulnya bagi saya, yang benar-benar banyak yang saya kerjakan, persis menurut jiwa daripada anggota Badan Pekerja itu adalah ketika… (diam sebentar).
T: Di Jakarta…
J: Di sini, di Cilacap 4. Setelah ke… [Purworejo] , sudah lebih banyak kerjaan yang lain. Di Purworejo itu soalnya lagi lain, dalam tahun ’46 itu (diam).
T: Mengenai [situasi] sebelum sidang itu pak, [ada] sikap Badan Pekerja yang ingin merubah KNIP dan Pemerintah. Kenapa ada usul begitu.
J: Asal saya tidak salah, itu untuk mengambil angin dari layar Persatuan Perjuangan.
T: Maksudnya.
J: Kita dahulu, Badan Pekerja sendiri juga ingin, kalau saya katakan over role tidak baik, tapi terang dikuasai oleh orang-orang yang sealiran dengan Sjahrir. Jadi kalau kita mengatakan,”kita ingin pemerintahan”; saya yakin sudah ada understandingdengan Sjahrir, sekaligus mengambil angin dari layar Persatuan Perjuangan. Toh dari Badan Pekerja sendiri. Mengerti yang saya maksud?
T: Artinya merangkul Persatuan Perjuangan begitu.
J: Ya, dalam arti kata bukan merangkul. Kita satu line-lah dengan mereka, hampir seakan-akan satu line. Sedangkan kita pada waktu itu… (diam sejenak) aliran Sjahrir dan kawan-kawannya, kedudukannya di dalam tubuh Sukarno—Hatta sangat kuat. (diam). Yang saya maksud begini, saya itu termasuk, boleh saya katakan dan mungkin benar, saya paling dekat dengan Hatta, Sukarno. Dus kita sangat kuat. Dan asal tidak salah, [waktu] penambahan anggota Badan Pekerja sampai begitu banyak, itu line dari kita. Itu adalah siasat dari Supeno. Juga daftar orang-orang dari kami. Dus kami kuat. [Dibuat] begitu rupa, sehingga waktu itu kami adalah the ruling class,the ruling clique begitulah.
T: Di dalam Badan Pekerja.
J: Dalam Badan Pekerja dan di dalam KNIP yang diperluas. Sebab di Malang ketika [menyidangkan] Linggarjati, mereka tidak mau stemming, voting. Barisan Banteng, Masyumi dan PNI kan meninggalkan [sidang] Karena kami kuat di dalam KNIP, sehingga Quorum tetap cukup, jadi disetujui dengan aklamasi. Kami atur umpamanya pembicaraan-pembicaraan itu.
Kita tahu Ki Hajar tidak setuju umpamanya, Diah tidak setuju. [Sebelum] Diah pidato, Subadio dulu, sudah [itu] Diah, [kemudian] saya. Diatur begitu rupa, sehingga saya bisa pukul lagi.
T: Yang mengatur siapa
J: Kitalah. Kita dengan pimpinan, Mr. Assaat, Supeno sangat dekat di situ. Jadi orang-orang [itu] kan menunjuk nama-nama, siapa-siapa yang akan bicara. Kan dicatat, kita atur toh, begini-begini kita atur. Dus besok mau main, saya sudah lihat daftar, kita robah…
T: Susunannya.
J: Ya, susunannya, urut-urutannya kita robah. Saya ingat, sebelum saya [berpidato] juga Ki Hajar pidato… (diam sejenak). Setelah pak Mangun pidato mereka meninggalkan sidang beramai-ramai.
T: Jadi kenapa keanggotaan KNIP itu harus diperluas.
J: Untuk membuat lebih representatif, lebih banyak. Itu juga karena kita mendengar suara-suara dari luar.
T: Antara lain seperti dari…
J: Ya, dari partai-partai, dan juga orang-orang daerah itu, kami tidak bisa elakkan deh waktu itu. Barangkali sampai 400 atau 500, saya lupa.
T: Kenapa mereka menganggap KNIP tidak representatif.
J: Oleh sebab KNIP yang ada itu dibentuk dengan “kesusu” di Jakarta. Jadi tidak mempunyai pandangan cukup luas dan tidak tentram memilih atau menunjuk mereka. Memang itu suatu hal yang benar. Kami kan waktu itu seperti kata Mr. Kasman Singodimedjo, “harus cekat-ceket.”
T: Sikap the ruling class tadi bagaimana terhadap keinginan itu.
J: Tidak keberatan.
T: Kenapa tidak keberatan.
J: Oleh sebab kami merasa cukup kuat, untuk menghadapi dan merasa diri kami benar (diam sejenak). Di situ kan sebetulnya di Malang seperti Linggarjati dan sebagainya itu tidak relevan dalam arti kata, kami kan mau debat mengenai Linggarjati, ya toh. Saya bisa mengatakan kepada saudara, saudara tahu Burhanuddin Harahap dari Masyumi, anggota Badan Pekerja KNIP, sesudah itu jadi Perdana Menteri. Di Purworejo dia telah bilang, “saya Lim, bagaimanapun pembicaraan di dalam Badan Pekerja KNIP, PNI, Masyumi tidak akan menerima Linggarjati.” (sambil mengetok meja). Ini omongan dari Burhanuddin Harahap seorang Masyumi yang tindak tanduknya selalu sederhana.
T: Apa jawaban Bapak pada waktu itu.
J: Saya tanya atas dasar apa. Apapun keterangan yang akan diberikan, mereka sudah bertekad untuk menolak Linggarjati; itu nyata dalam perdebatan di KNIP Malang. Dikatakan kenapa orang ini tidak bisa terima. Tapi jangan ada pikiran ya, “ini di bawah roknya Juliana.” dan sebagainya, yang dikeluarkan di situ. Dus debat di situ, saya anggap tidak tinggi. Saya ambil contoh kayak si BM Diah akan bicara [di KNIP Malang] di depan saya. Dia lihat Subadio sebelum saya, seterusnya. Dia akhirnya tidak pidato. Dia juga anti Linggarjati.
Dus semua orang yang nasional dan orang-orang Masyumi, rasa-rasanya mereka mempunyai hubungan rapat pada waktu itu. Apakah di Barisan Banteng mereka sama-sama. Dus di situ tidak ada yang menyerang, kayak Sjafruddin tidak ada yang menyerang, [juga] Roem tidak. Burhanuddin Harahap sendiri orang Masyumi juga tidak menyerang. Kalau Masyumi sih Sukiman yang tidak setuju. Ya, kalau PNI itu hampir semua. Kecuali Lukman Hakim, Subagio Reksodipuro, malah mengerti, bisa mengikuti kami.
T: Kalau latar belakang PP No. 6 Tahun 46 itu apa pak…
J: Saya tidak ingat lagi apa itu.
T: Penambahan anggota Badan Pekerja KNIP.
J: Oh ya, itulah, seperti saya katakan untuk membuat KNIP lebih representatif. Dalam arti kata memang suara-suara sudah banyak dari daerah maupun dari partai-partai, bahwa masih banyak orang sebetulnya lebih pantas dijadikan anggota KNIP, tetapi belum menjadi anggota KNIP.
T: Kalau ada yang menyebutkan bahwa PP No. 6 tahun 1946 itu sebagai salah satu usaha untuk mencapai legitimacy terhadap Linggarjati itu bagaimana pada waktu itu, artinya untuk mengesahkan tindakan Sjahrir terhadap [hasil] perundingan Linggarjati itu.
J: Kalau kita lihat personalia, yang saya tahu itu lebih kurang 500, dari anggota-anggota itu, oposisi bisa berkata begitu. Tidak terlalu menghe rankan buat saya. Cuma setahu saya apa yang saya bicarakan dengan Supeno adalah hendaknya penerimaan Linggarjati oleh suatu badan yang lebih representatif dari KNIP yang ada, maka itu diperluas. Hanya saja terang menurut paham saya, orang yang di belakang itu adalah almarhum Supeno. Terang Supeno akan membuat begitu rupa, karena Sukarno—Hatta setuju dengan Linggarjati.
T: Tadi Bapak menyebutkan [bahwa] yang dianggap ruling class, ya katakanlah kelompok Sjahrir di KNIP itu cukup kuat. Apakah dengan anggota yang ada tidak bisa menggolkan Linggarjati.
J: Dengan anggota kami yang ada jelas bisa.
T: Terus kenapa harus ditambah lagi dengan bantuan PP No. 6 Tahun 46.
J: Itu menambah anggota parlemen. Disamping itu memang seperti yang saya katakan itu, [ada] suara-suara yang mengatakan masih banyak lagi orang yang representatif yang belum diikut sertakan. Hanya saja tentu berlainan dengan apa yang terjadi. Supeno tentu akan lebih banyak memilih orang-orang yang mempunyai pendapat sendiri, dan kalau bisa cocok dengan pendapat dia toh, tanpa menyolok.
T: Jadi arsiteknya sebetulnya Supeno.
J : Menurut saya. Saya sendiri tidak begitu aktif. Walaupun yang memperjuangkan Linggarjati di situ adalah saya, dalam arti kata pidato saya [atau] pidato saya dengan mosi yang saya ajukan.
T: Kenapa Bapak setuju Linggarjati.
J: Ya, karena isinya dan sebagainya saya lihat dalam fase perjuangan itu yang bisa kita capai andaikata dijalankan betul-betul jujur, memberikan harapan yang baik pada perjuangan selanjutnya. Di samping itu, bagi saya Linggarjati berarti seperti yang saya katakan; pengakuan [terhadap] Republik, jadi juga pengakuan terhadap Presiden. Pengakuan bagi Presiden. Dengan itu the big boss is safe. Seperti yang saya katakan, saya berpendapat, jika Amerika [yang] ke sini, Bung Karno akan dijadikanwar criminal. Dus Linggarjati agreement, dengan sendirinya Bung Karno [diakui] jadi Presiden. Buat saya itu bukan soal, tapi buat big boss penting. Big boss bukan orang bodoh, dia tahu, saya kasi lihat macam kwalifikasi yang memungkinkan orang dianggap sebagai war criminal. Kalau tidak salah telah distensil Tan Ling Djie yang mendapatkan itu dari Allied Forces.
T: Tapi di pihak lain Linggarjati dianggap mengurangi daerah Republik.
J : Itu jelas. Sumatera—Jawa, kan begitu. De facto kita juga pada waktu itu berkuasa di sana. Di luar itu kita tidak punya hubungan waktu itu, praktis. Jadi kita yakin. Dulu saya juga ada sebabnya [kenapa] saya harus memperjuangkan Linggarjati.
T: Sementara itu waktu sudah lewat lagi nih pak….
J: Ya.
T: Jadi kita sambung masa berikutnya,
Red: (omong-omong perpisahan)
https://aswilblog.wordpress.com/2008/12/08/kenang-kenangan-dr-halim-bab-iv/