Gambar Ilustrasi: IAIN Tuban
FB: Al Fatah - Yang membuat hati ini bertanya, apa iya di Minang itu "Adat Bersendi Syara' - Syara' Bersendi Kitabullah"??
Ada orang meninggal, dibuat acara makan-makan untuk mengingat kalau dia telah meninggal sekian hari, sekian bulan, atau sekian tahun. Kalau tidak ada uang untuk menyelenggarakan acara tersebut, maka digadaikanlah harta, atau meminjam uang kepada jiran kiri dan kanan. Biarlah susah, asal yang meninggal tidak disebut mati hewan.[1] Padahal membuat acara memperingati kematian, termasuk kategori meratap. Siapa yang meratap maka jenazah kerabat yang meratap akan di azab dalam kubur kata hadis dari Imam Bukhari. Bisa diazab dalam makna sebenarnya, bisa pula azab dalam makna bahasa.[2]
Mencoba berdalih dengan mengatakan "Kami membaca tahlil, shalawat dan mengaji, selepas itu berniat bersedakah, menghidangkan makanan ke orang datang"
Membaca tahlil itu haq, membaca shalawat itu haq, membaca Qur'an apalagi, termasuk perkara yang haq. Bersedekah demikian pula, amalan yang haq. Tetapi memperingati kematian itu adalah kebathilan. Mengerjakan yang haq dalam rangka merayakan yang bathil, itu tidak boleh. Kita dilarang mencampur yang haq dengan yang bathil, apalagi mengerjakan hasil pencampuran tersebut.[3] Yang jelas si mayat tidak mendapat untung kalau diratapi memakai acara peringatan. Tapi hendak bagaimana lagi, dianya sudah tradisi.[4].
Dahulu, Pagaruyuang terbakar, konon kabarnya kena tembak petir, secepanya dibangun kembali. Terkumpul uang banyak dalam waktu sangat singkat, ketika hendak menegakkan Tunggak Tuo, ditanam kepala kerbau sebagai tumbal atau apalah namanya, heboh dan gemparlah orang yang hadir.[5] Karena ada ulama suluh bendang yang menonton. dalam kaji ulama, segala tumbal manumbal termasuk kategori sihir level atas.
Dalam skala lebih kecil, ada orang membangun rumah, dan tukang memintak ayam digantung dengan sesajen lainnya, tidak boleh pakai ayam potong, apalagi ayam kate, harus ayam jago yang pandai berkukuk membangunkan orang untuk shalat Subuh. Kalau tidak digantung, nanti yang bekerja tidak selamat, terjatuh atau tertusuk paku. Sudah jelas yang seperti ini syirik namanya, tapi apa hendak dikata itulah yang menjadi tradisi semenjak dahulu.[6]
Tertawa orang ramai, karena ada yang sedang baralek (kenduri/pesta) berbahagia, anak daro dan marapulai sedang duduk bersading di pelaminan. Kenapa 'anak dara' ia disebut dahulunya? Konon kabarnya karena beban lebih berat yang dipikul, ditambah dengan simbo sunting yang dipakai. Ada yang beratnya sekilo, ada jua yang dua hingga tiga kilo, ada yang dari baja murni, ada pula yang basi 'abal-abal'. Kata orang, itu untuk mengajari anak daro kalau rumah tangga itu adalah beban berat.[7] Kita tengok marapulainya, adakah beban berat padanya? Tidak! Karena saluak yang dipakainya hanya seberat dua ons kurang sedikit. Kenapa tidak merapulai yang diaja, diingatkan kalau rumah tangga itu adalah tanggung jawab yang berat? Dia sebagai kepala keluarha, dia yang mencari perempuan untuk dinikahi, dia yang mengeluarkan uang membayar mahar, dia pula yang kemencukupkan kebutuhan pokok isterinya, memberi makan, memberi baju dan bedak, dia yang membuatkan rumah, dia yang mengeluarkan uang akikah kalau lahir anak, dia yang wajib memberi nafkah. Kenapa tidak disuruh sahaja marapulai memakai saluak seberat sepuluh kilo, sebagai tanda kalau jadi kepala rumah tangga bebannya lebih berat, agar berfikir pula dia kalau hendak berpoligami. Sepuluh kilo yang akan dijunjung seharian, ya tak sanggup.[8]
Sunnatullah kalau laki-laki umumnya secara fisik lebih kuat dari perempuan. Perempuan lemah fisiknya dari laki-laki. Kenapa kerja yang butuh tenaga fisik sarupo menjunjung besi diberikan ke perempuan? Penghormatankah? atau apa?[9]
Ada pula adat marapulai memijak telur sampai pecah, sesudah itu datang anak daro membersihkan kakinya sebersih-bersihnya, simbol bakti isteri kepada suami. Dari sisi lain, ada yang tidak setuju, kenapa? Suami yang membuat masalah memecahkan telur, mengapa pula isteri yang disuruh menyelesaikan masalah, apa tidak bisa dia membersihkan sendiri?[10]
Ada pula yang lain, tapi sama, sebelum anak dara dan marapulai naik ke rumah untuk duduk bersanding, ada tukang lempar beras, dilempar ke anak daro dan marapulai yang sedang berjalan. Katanya supayo rumah tangganya langgeng, sainah mawaddah wa rahmah. Bukannya itu kerja mubazir, dan orang mubazir itu saudaranya setan, demikian kata Al Qur'an, kecuali nanti ada ayam yang memakan beras itu.[11]
Tidak sesuai dengan agama sahaja kerja, tapi apa hendak dikata itulah yang jadi adat tradisi semenjak dahulu.
==============
Catatan kaki oleh admin:
[1] Dalam menyikapi perkara adat, kami sarankan untuk mempelajari bentuk ketatanegaraan di Minangkabau. Minangkabau ialah federasi dari sekian banyak nagari, dimana masing-masing nagari merupakan republik otonom yang memiliki wewenang luas dalam menentukan arah kebijakan dan undang-undang mereka sendiri. Hubungan nagari-nagari ini dengan Rajo Alam yang bertahta di Nagari Pagaruyuang atau kerabat kerajaan dan Orang Besar lainnya hanyalah berupa simbolis sahaja. Raja di Minangkabau didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Tidak ada hak ataupu wewenang raja dalam menginterfensi kebijakan pada tiap-tiap nagari. Maka setiap nagari memiliki undang-undangnya sendiri, sehingga corak adat sangat beragam terasa. Satu adat (kebiasaan/ritual) yang ada pada satu nagari bisa saja tidak terdapat pada nagari lain. Ataupun terdapat adat yang sama antara nagari yang satu dengan nagari yang lain namun bentuk pelaksanaannya berbeda. Demikian pula dalam kasus Adat Selepas Kematian ini, sudah jarang diselenggarakan di Minangkabau, kalaupun ada hanya beberapa nagari sahaja.
[2] Baiknya Si Penulis menerangkan apa itu Azab dalam Makna Sebenarnya dan Azab dalam Makna Bahasa. Dan sangat menyesatkan apabila Tahlilan disamakan dengan Meratab. dalam tahlilan orang membaca Surah Yasin, do'a, dan shalawat sedangkan meratap ialah menangis meraung-raung meluapkan kesedihan atas kematian orang yang dikasihi. Sungguh mengherankan, dari sudut pandang mana terlihat sama dua perkara yang jelas-jelas berbeda ini. Belum pernah kami dapati ahli keluarga meraung-raung meratapi dan menyesali kematian si mayit dikala acara tahlilan.
[3] Kekacauan berfikir no.2 (nomor satu pada catatan kaki no.2) dengan menyamakan Tahlilan dengan Peringatan Kematian. Mungkin karena inilah si penulis salah faham mengenai acara tahlilan ini. Ditambah yang bersangkutan menganut Manhaj yang mengharamkan tahlilan sehingga sangat tampak subjektifitas manhajnya dalam tulisan ini. Terkait tahlilan silahkan klik DISINI, penjelasan dari Buya Samad, salah seorang ulama yang sangat dibenci oleh manhaj ini.
[4] Ketidak mampuan dalam memahami, menyamakan fenomena yang terjadi di rantau dengan di kampung. Kemungkinan si penulis melihat fenomena di rantau dan kemudian memukul rata bahwa hal tersebut juga menjadi adat di kampungnya. Atau si penulis hingga kini masih tinggal di rantau.
[5] Silahkan baca kembali catatan kaki No.1, kami sendiri mencoba menyelidiki kembali perihal kepala kerbau yang ditanam ini namun hingga kini masih belum didapat. Sebagai catatan, kata 'tumbal' tidak ada dalam perbendaharaan bahasa orang Minangkabau, ianya bahasa dari Jawa. Dan agaknya si penulis mengalami kesulitan dalam mencari padanan dalam Bahasa Minangkabau. Setidaknya membuktikan bahwa si penulis tak faham adat Minangkabau dan tidak tinggal di kampung. Sejauh pengetahuan kami, tatkala menegakkan (mendirikan) Tuggak Tuo tidak ada ritual penanaman kepala kerbau.
[6] Orang Minangkabau tidak mengenal sesajen dan ayam jago, jago sendiri bukan Bahasa Minangkabau. Tapi kalau ayam jantan berkukuk ada. Terkait apa yang dijelaskan oleh si penulis, kami semakin yakin bahwa apa yang disampaikannya dalam tulisannya ini merupakan pengalaman yang didapatinya pada adat di negeri tempat ia merantau. Dan lazimnya para perantau Minangkabau yang terjangkiti xenocentrism, suatu faham yang memandang rendah adat sendiri dan memandang tinggi faham-faham, ideologi, ataupun peradaban yang berasal dari luar. Dalam pengalaman kami, sama sekali tidak kami dapati hal semacam itu, yang ada ialah menggantungkan anak kelapa (cikal kelapa) di 'kudo-kudo' rumah dan selepas atap terpasang diturunkan dan kemudian ditanam di pekarangan atau kebun keluarga. Salah satu maknanya ialah sebagai penanda umur dari rumah tersebut. Sama sekali tidak ada hal magis.
[7] Baca kembali catatan kaki no.1, tidak semua nagari di Minangkabau memiliki adat menyandingkan marapulai dan anak daro disebuah singgasana yang disebut dengan 'pelaminan'. Sebagian nagari hanya menggunakan hamparan kasur kapas, diberi alas yang bagus dan didudukkan keduanya disana. Mereka tidak duduk lama, karena kemudian si marapulai akan turun dan duduk di dekat mamaknya setelah mengganti pakaian marapulainya. Setelah jamuan selesai, beberapa saat sebelum turun dari rumah, si marapulai akan kembali menggenakan baju kebesarannya dan kembali duduk dekat anak daro. Suntiang yang dimaksud berat, pada masa sekarang tidak sebesar dan seberat dahulu, bahkan cenderung ringan. Telah banyak modifikasi dilakukan oleh orang-orang pada masa sekarang.
[8] Beban laki-laki dan perempuan tidak dapat disamakan, karena keduanya memiliki beban berbeda dan memiliki tantangan, hambatan, dan rintangan yang berbeda. Adapun terkait destar yang dipakai marapulai, pada masa sekarang telah terjadi perubahan. Tiap-tiap luhak dan bahkan nagari memiliki corak pakain berbeda, termasuk destar. Pada masa sekarang lazim didapati saluak sebagai destar marapulai, padahal saluak hanya boleh dipakai oleh para datuk. Pada masa dahulu, destar marapulai memiliki ragam yang berbeda tapi tak ada yang memakai saluak. Semisal di Luhak Agam, dipakai destar yang lancip pada bagian atasnya, atau orang mengumpamakan dengan 'destar cindua mato'.
[9] Adab adalah ketinggian ilmu, apabila ilmu yang disombongkan maka iblis jauh lebih berilmu dari pada manusia. Ketidak fahaman terkait perkara adat dan ketidak mahu tahuan soal hal-hal yang berada diluar pengetahuan agama telah menyebabkan si penulis seperti katak dalam tempurung atau melihat melalui kaca mata kuda.
[10] Kami tidak pernah menjumpai adat semacam ini di Minangkabau, namun dari tontonan di televisi, adat serupa ini dikerjakan orang di Pulau Jawa. Kecil kemungkinan orang Minangkabau yang memuliakan perempuan akan memakai adat serupa ini. Benar kiranya, si penulis berdomosili di rantau atau pernah merantau dan telah tercuci otaknya dari para gurunya di rantau sana. Sehingga menganggap segala adat istiada itu sama dan tentunya fenomena adat yang ditemuinya di negeri rantau disangkanya berlaku pula di kampung halamannya.
[11] Baca kembali catatan kaki No.1
=======================
Kiriman Asli:
Nan mambuek hati batanyo, apo iyo di Minang ko adaik Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah ??