(Kesan pascamenonton ILC tadi malam)
Oleh Hendri Burhan
Seketika forum ILC menjadi hening, ketika Tuan Guru Ustad Abdul Somad begitu bernas dan santun menguraikan bagaimana peran masyarakat Sumatera Barat untuk Republik Indonesia dari kacamata beliau sebagai orang Melayu. Tak pelak lagi, kualitas keilmuannya memang tiada banding, literasinya sungguh tiada tanding, dan akhlaknya dalam berbicara benar-benar bikin bergeming. UAS tahu benar bagaimana menempatkan diri dalam kapasitasnya sebagai ‘orang luar’ di tengah tokoh-tokoh Minang yang hadir. Ia menalar dengan logika dan literatur tak terbantahkan. Tak hanya di studio TV One tempat forum itu dilaksanakan, hening dan kagum yang sama juga terjadi pada mereka yang menonton di rumah-rumah dan lapau-lapau kopi di seluruh sudut nagari Sumbar, yang dipadati orang-orang bak menonton piala dunia. Singkat kata, beliau semalam menjadi bintang.
Tak cuma UAS, banyak juga wawasan baru yang diperoleh dari narasumber lainnya, Hasril Chaniago misalnya, tokoh pers Sumbar itu bagai kitab hidup yang mengupas sejarah, silsilah, dan intrik rahasia yang membuat hadirin terperangah. Beliau juga menyampaikan dengan prinsip ‘kato nan ampek’, prinsip dasar etika dan akal budi urang awak yang diajarkan turun temurun.
Sayangnya, pas momen beliau menyampaikan hal yang sangat sensitif, live streaming langsung macet seakan disengaja. Tak ketinggalan pula Effendi Ghazali yang malam itu mengucapkan pepatah minang yang segera viral di jagad twiter: ‘Urang minang pandai basilek, indak pandai manjilek’. Pepatah yang benar-benar ‘tembak 12 pas’ ke beberapa narasumber yang hanya memancing emosi seluruh penonton.
Bahkan, kalimat UAS “Jika tak bisa berbicara, pakailah teks. Cara berbicara seseorang merepresentasikan isi kepalanya” langsung mengena di hati pendengar. Cerdas sekali, membuat malu tanpa mempermalukan, bahkan seorang narasumber perempuan yang komisaris sebuah BUMN pun ikut terpesona mendengarkan. Saya jadi teringat kata-kata Ali bin Abi Thalib, “Diamlah kamu sampai orang menyuruh bicara, daripada terus berbicara sampai disuruh diam”.
Yang disayangkan, sumber utama yang menyulut kalimat kontroversi itu malah tak hadir, dan hanya mengirim utusan yang sudah pasti ‘bersilat lidah’ membela mati-matian dengan poin-poin yang kebanyakan mengada-ada, hingga makin jelas bagi orang bagaimana mereka sebenarnya.
Seorang yang Pancasilais itu tahu adat, tahu di ‘kato nan ampek’, yaitu mandata, manurun, malereang, dan mandaki. Mandata (mendatar) artinya ‘ba’a mangecek jo kawan samo gadang’ atau bagaimana bicara dengan rekan sebaya, manurun (menurun) artinya ‘ba’a mangecek jo nan mudo’ atau bagaimana berbicara dengan yang muda, malereang (melereng) artinya ‘ba’a mangecek jo urang asing/baru dikenal’ atau bagaimana berbicara dengan orang asing atau umum, dan yang terakhir mandaki (mendaki) yang artinya ‘ ba’a mangecek ka nan tuo’ atau bagaimana berbicara ke yang lebih tua atau dituakan.
Pepatah minang menyebutkan,
barakyat dulu mangko barajo
jikok panghulu bakamanakan
kalau duduak jo nan tuo
pandai nan usah dipanggakkan.
yang artinya, sewaktu duduk bersama orang tua, janganlah membanggakan kepandaian kita sendiri. Kesannya nanti ‘cindo manantang matoari’ atau seperti menantang matahari.
Untuk apa terus berbicara memutar-mutar tanpa arah, padahal sidang semalam itu bisa dibuat sederhana, yaitu meminta maaf saja dengan ksatria. Takkan jatuh harga diri dengan mengakui khilaf tanpa berkilah. Urang minang itu pemaaf, Buya Hamka, orang Maninjau yang sangat melegenda namanya di nusantara ini pernah dinista di zaman orde lama, Soekarno yang menjadi presiden kala itu memenjarakannya dengan alasan radikal. Namun ketika pada detik-detik sakratul maut, Soekarno berpesan agar jika ia meninggal, mintalah Buya Hamka yang menjadi imam salat jenazahnya. Bung Hamka yang berjiwa luar biasa tanpa ragu mengabulkan permintaan itu. Itu sejarah yang meski tak tertulis namun tak terbantahkan.
Sebagai orang minang yang lahir dan besar di Bumi Melayu, tulisan ini bukanlah bermaksud untuk mengusung primordialisme, namun lebih mengedepankan bagaimana bersikap dan berkata jika kita berada di ‘atas’. Kata-kata yang terucap ibarat anak panah yang lepas dari busur, takkan ada istilah kembali. Terlebih jika kata-kata itu melukai hati orang atau suatu kaum. Pesan moralnya: ‘bakato bapikiri dulu, ingek-ingek sabalun kanai, samantang kito urang nan tahu, ilmu padi nan ka dipakai.”
Bangkinang, 09092020
Disalin dari Kiriman FB: Hen Burhan