Foto: wikipedia |
FB Hendra Sugiantoro - Tentara Belanda merangkak. Dari jarak dekat, Dahlan Ibrahim berhasil menembak. Sebelum itu, ia yang terkantuk-kantuk dikabari di atas tebing ada yang bergerak-gerak. Seluruh kawan bangun, menuju selokan tanpa berderak. Senyap, hari masih gelap. Wajah tak lagi lelap.
Selokan di belakang kincir padi, 15 Januari 1949. Di tempat itu ada cerita, ada pula nestapa. Saat hari terang, di balik kincir padi, Chatib Sulaiman melihat jelas tentara Belanda. Suaranya menyalakan seluruh kepala. Seperti film perang, tembakan demi tembakan berdesing. "Layar peristiwa" setiap detik hanya Tuhan yang tahu. Ada sekitar delapan pejuang tewas. Mata Dahlan Ibrahim pun berkaca-kaca.
Hari mendadak sunyi. Masih ditemukan 40 orang yang gugur di sekitar Dusun Situjuh Batur. Mendengar Chatib Sulaiman gugur, Hamka gugur terbayang. Setahun lima bulan, mereka seiring sejalan.
Sejak 12 Agustus 1947--peresmian Front Pertahanan Nasional (FPN), mereka kerap tidur setikar. Mereka lapar-haus bersama. Mereka berkeliling Sumatera Barat, menggalang kekuatan, dan memijarkan semangat. Mereka menyusun Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). Mereka menyatukan cinta dan cita.
Napas mereka adalah napas perjuangan. Mereka menyusur lereng, menaik bukit, dan mendaki gunung. Kadang berjalan kaki, kadang menaiki "auto S.B9", dan kadang dengan biduk dan sampan. Mereka menjumpai seluruh rakyat sepencil-pencilnya. Demi kemerdekaan, untuk negeri. "Banyak orang menjangka bahwa Bung Hadji kita pun turut gugur, sebab selama ini dia seperjalanan dengan Chatib Sulaiman," kenang Hamka.
Saat serangan Belanda ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948, mereka berpisah. Hamka ke Padang Panjang, Chatib Sulaiman ke Kamang untuk melanjutkan ke Koto Tinggi. Chatib Sulaiman harus ke Koto Tinggi seusai terpilih sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD).
Hanya kurang dari sebulan, jantung Hamka berdegup. Mungkin degup kencangnya melebihi saat ia harus menyelamatkan anak-istrinya saat agresi Belanda menembus Padang Panjang.
Hari ini satu temanku pergi
Pergi jauh takkan pernah kembali
Sekeras apa pun menangis
Takkan merubah yang telah terjadi
Harus kulepas
Hari ini kan kuingat kembali
Semua tempat, jalan, waktu bersamanya
(Sheila on 7 "Sampai Jumpa")
Hamka mengenal Chatib Sulaiman sejak zaman kolonial Belanda. Di Padang Panjang, mereka acap bersua. Ketika Hamka pindah ke Medan, Chatib Sulaiman beberapa kali mengirim tulisan untuk dimuat di Pedoman Masyarakat.
Dalam FPN, Hamka dan Chatib Sulaiman melekat secara batin. Suka duka saling berbagi. Pilu sendu saling memahami. Pikiran dan hati saling mengerti. Hamka kehilangan sahabat yang secara usia lebih tua ini, dan sajak pun mengalun diam-diam:
Sedang 'ngembara seorang diri//
dalam hutan belukar diri//
dari kampung menudju kampung//
mendengar kokok ajam diladang//
mendengar genta kerbau dipadang//
panas terik membelah benak//
Datang utusan membawa berita//
Sahabatku gugur mentjapai sjahid//
Chatib Sulaiman-muda budiman.//
batu karang di mulut Arau//
Ketjinduan Bunda-Kandung//
putus 'njan apa akan diulas//
Bahagia engkau, kawanku//
telah sampai apa ditudju//
merah warna langit Situdjuh//
fadjar menjingsing pelor berdesing
pahlawan gugur satu persatu//
-engkau pandunja dialam arwah
-kemerdekaan tumbuh dilembah darah//
................
Berita tertiup angin. Benak setiap orang mengira Hamka pun gugur. "Rupanya saja belum diizinkan Tuhan menjadi penjubur tanah airku ditempat itu. Saja tidak mendapat tempat buat turut bersama-sama setempat dengan pahlawan2 mulia itu," ucap Hamka. Wallahu a'lam.
(Hendra Sugiantoro, 3 Agustus malam-4 Agustus dini hari.).
Bukan karya fiktif. Tulisan menginduk kitab Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I di Minangkabau/Riau 1945-1950 II (1978) dan Kenang-Kenangan Hidup IV karya Buya Hamka (Gapura, cetakan 3, 1974).