Ilustrasi Gambar: pariamankota |
Disalin dari kiriman Ayo ke Pariaman
JEJAK GAJAH RAJA ACÈH DI PARIAMAN
Oleh: Sadri Chaniago (Dosen jurusan Ilmu Politik Unand/Anak nagari IV Angkek Padusunan)
Gajah merupakan hewan yang sangat familiar dan banyak terdapat di kerajaan Aceh, sehingga Valentijn pernah mengatakan bahwa kerajaan Aceh pernah memiliki 1000 ekor gajah yang dapat digunakan dalam peperangan (M. Junus Djamil, 1958:61).
Dan, di antara berbagai jenis gajah yang dimiliki oleh raja Aceh tersebut, salah satunya adalah Gajah putih “Biram Sattany”, gajah yang menjadi tradisi dan simbol kebesaran bagi raja Aceh Darussalam, yang sering digambarkan sebagai gajah sakti (M. Junus Djamil, 1958:52).
Di antara raja Aceh yang pernah menjadikan Gajah putih “Biram Sattany” ini sebagai kendaraan “dinas” kebesarannya adalah: Sulthan Alauddin Ri'ayat Syah Al-Qahhar (M. Junus Djamil, 1958:85-86), raja ke-3 yang memerintah pada tahun 1537-1571 M (Rusdi Sufi, 1995:12).
Sulthan Alauddin Ri'ayat Syah Al-Qahhar merupakan ayah dari Sultan Mughal (dikenal juga dengan nama Moghul/Abangta Abdul Jalil/Abangta Pariaman Syah/ Sri Alam), raja muda Aceh di Pariaman yang jabatannya berakhir tahun 1579 Masehi (Amirul Hadi, 2010:50; Zakaria Ahmad, 1972: 93 ; M. Junus Djamil, 1958: 104-105).
Ia kemudian ditabalkan menjadi Raja Aceh Darussalam yang ke-6, dengan gelar “Sri Alam” (Mohammad Said, 1981:205). Sultan Mughal digambarkan berperangai amat kejam dan jahat, sehingga mengakibatkan para pembesar kerajaan dan rakyat Aceh melakukan huru hara dan pemberontakan terhadap kekuasaannya (M. Junus Djamil, 1958:106).
Sultah Mughal akhirnya mati dibunuh pada tahun 1579 M, setelah berkuasa sebagai raja Aceh Darusssalam hanya dalam waktu 2 bulan saja (Raden Hoesein Djajadiningrat, 1983:27-28).Dalam huru hara dan pemberontakan tersebut, Gajah Putih dan beberapa gajah lainnya menjadi tidak terurus, sehingga hilang melarikan diri ke hutan rimba (M. Junus Djamil, 1958:106)
Kemudian, Darma Wangsa Perkasa (Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, berkuasa 1607 M - 1636 M) yang gilang gemilang membawa kerajaan Aceh Darussalam kepada masa keemasannya (Mohammad Said, 1981:244) berhasil menemukan kembali gajah putih “Biram Sattany” yang telah hilang lepas ke hutan rimba, dalam satu perburuan di lembah Seulawah di Reubée, Aceh.
Hari ini tempat itu dikenal dengan nama Gunung “Biram" (Glee Biram) di atas Lamtamot. Kemudian, Iskandar Muda Meukuta Alam yang merupakan cucu dari Sultan Sri Alam ini ( Sultan Mughal/ Sultan Moghul/Abangta Pariaman Syah) selalu menggunakan gajah putih sebagai kendaraannya dalam setiap pertempuran dengan musuh, dan dalam arak arakan kebesarannya (M. Junus Djamil, 1958:118). Kelak di kemudian hari, gajah putih ini juga telah dijadikan sebagai lambang dari Kodam Iskandar Muda, dan juga dalam Panji Sanggamara (M. Junus Djamil, 1958:5).
Sepertinya, jenis gajah putih raja Aceh yang bernama “Biram Sattany” inilah yang disebut-sebut pula dalam “tambo” pusaka sebuah kaum di Pariaman, di mana isi Tambo bertulisan Arab Melayu tersebut (ditulis pada tahun 1866 M), antara lain menjelaskan tentang asal muasal gelar datuak mereka yang berhubungan erat dengan gajah milik Raja Aceh. Gelar pusaka tersebut diberikan oleh raja Aceh kepada ninik moyang mereka, yang berkemungkinan peristiwa ini terjadi ketika raja Aceh tersebut berkuasa di Pariaman.
Kemudian, gajah milik raja Aceh itu pulalah agaknya yang disebut sebut dalam memori kolektif masyarakat Pariaman, berkaitan dengan riwayat terbentuknya daerah: Lambang, Air Santok, Kajai, Sungai Pasak, Sungai Sirah, Kampuang Sato, dan Gantiang Gajah Mati (Jati), dalam daerah kota Pariaman sekarang.
Menurut Letkol (purnawirawan) Syofyan Idris & Taheruddin (Bagindo Armaidi Tanjung, 2012:114,117), berdasarkan tutur lisan dari generasi sebelumnya, asal usul pembentukan nama daerah tersebut berasal dari peristiwa “perburuan gajah” raja Aceh/panglima Aceh. Apakah perburuan terhadap gajah itu disebabkan oleh terlepas dari ikatannya, atau kah karena peperangan, belum penulis temukan juga keterangan setentang hal ini.
Riwayat “gajah” sebagai penyebab nama-nama beberapa daerah tersebut sepertinya cukup masuk akal, karena secara fisik didukung oleh adanya beberapa situs “Kuburan Aceh”, yang dikatakan sebagai kuburan prajurit/orang Aceh di Air Santok dan Kampuang Kandang.
Selain itu - seperti yang telah dijelaskan sebelumnya - kerajaan Aceh memang familiar dengan gajah, yang mereka gunakan sebagai kendaraan untuk berperang dan tunggangan para rajanya. Sementara itu di Minangkabau sendiri, nampaknya kurang lazim dikenal tentang keberadaan gajah ini, dan agak jarang disebut dalam berbagai berita tambo maupun kaba klasik yang ada.
Riwayat tentang “perburuan gajah” ini sepertinya memberikan satu petunjuk bahwa ketika Raja Muda Aceh /para panglima Aceh berkuasa di Pariaman, agaknya ia juga telah membawa gajah ke Pariaman sebagai kenderaan tunggangannya.
Dari Riwayat perburuan “gajah” Aceh ini juga, sesungguhnya memberikan sinyal bahwa daerah-daerah tersebut di atas baru dibuka ataupun terbentuk sekitar pertengahan abad 15-16 M, karena pada abad itulah Pariaman dan beberapa daerah pelabuhan di sepanjang pesisir Barat Sumatera (Singkel, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang) secara de facto dan de jure berada dalam kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam, di bawah perintah Sultan Alauddian Ri’ayat Syah Al Qahhar, (memerintah tahun 1537-1571 M) (Rusdi Sufi, 1995:12).
Ketika itu Pariaman menjelma menjadi bagian wilayah penting kekuasaan Aceh di Pantai Barat Minangkabau, dengan hasil produksi lada yang diperdagangkan ke India, Tiongkok, dan Eropa (Zakaria Ahmad, 1972:52).
Oleh karena memandang pentingnya posisi Pariaman tersebut, maka Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al Qahhar menempatkan anak kandungnya yang bernama Sultan Mughal sebagai raja muda atau wakil Sultan Aceh Darussalam di Pariaman (Amirul Hadi, 2010:50; Zakaria Ahmad, 1972: 93 ; M. Junus Djamil, 1958:104-105). Tugas Sultan Mughal adalah melakukan kontrol terhadap roda pemerintahan, termasuk aspek politik, administrasi, dan ekonomi (Amirul Hadi, 2010:50).
Jabatan Sultan Mughal sebagai Raja Muda di Pariaman ini berakhir pada tahun 1579 M, karena ia “mendapat promosi” ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam yang ke-6, dengan gelar “Sultan Sri Alam”, yang menggantikan kekuasaan keponakannya yang bernama Sultan Muda (Sultan ke-5, anak dari Sultan Husein Ali Ri’ayat Syah / Sultan ke-4). (Mohammad Said, 1981:205).
Namun, Sultan Sri Alam akhirnya mati dibunuh pada tahun 1579 M itu juga, setelah berkuasa hanya dalam waktu 2 bulan saja. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Zainal Abidin (Sultan ke-7, memerintah dalam waktu singkat, berakhir tahun 1579), anak dari saudaranya yang bernama Sultan Abdullah (Raja Aru) (Raden Hoesein Djajadiningrat, 1983:27-28).
Kekuasaan Aceh di Pariaman berakhir pada era pemerintahan Sulthanah (Ratu) Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M), di mana ketika itu hampir semua daerah di pantai barat Minangkabau terlepas dari kekuasaan kerajaan Aceh (Zakaria Ahmad, 1972: 86 : A. Hasjmy, 1977:32). Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat ini merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari istrinya yang bernama Puteri Sani (Putri Sendi Ratna Indra) (A. Hasjmy, 1977:33).
Kemudian, sejak Abad 17, wilayah pantai Barat Sumatera, yaitu: Painan, Padang, Pariaman, Tiku, Air Bangis, Natal, Tapian Na Uli (Poncan/Sibolga), Nias, Barus, Tapus, Singkel, Trumon, telah berada dalam gengaman Belanda (Mohammad Said, 1981:825).
Diakui atau pun tidak, inilah salah satu di antara berbagai jejak dan tanda Aceh Darussalam ketika berkuasa di Pariaman, yang masih bisa ditelusuri bukti-buktinya,“dicaliak tampak, di awai taraso.” “Jauhnyo bisa ditunjuk an, dakeknyo dapek dikakok kan.”
Walaupun beberapa bukti fisiknya sudah susah untuk ditemukan, namun bukti “sosial dan budaya” masih banyak berserakan dan terpakaikan oleh masyarakat Pariaman hari ini. Dengan demikian, tak salah jika para pendahulu orang Minangkabau mengatakan: Jikok habih bana coreang di batu, dalam limbago talukih Juo !
Adanya jejak dan pengaruh kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam di Pariaman ini bersesuaian dan mendukung pendapat Mohammad Said (1981:349) yang menegaskan bahwa Pariaman merupakan daerah yang terlihat jelas mendapat pengaruh dari kekuasan Aceh.
Ini juga salah satu pembuktian dari pendapat Hamka (1982:107) yang menyatakan bahwa di Pariaman pengaruh Aceh amat nyata terasa. (Gambar hanya pelengkap)