MEMBACA DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Bagian 1)
Perdebatan Antara Islam dan Panca Sila
Oleh : Saiful Guci
Asiknya membaca sebuah buku lama yang saya peroleh dari penjual Buku loak di Blok M Jakarta. Buku membicarakan tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Kontituante Jilid II. Buku yang terdiri dari 500 halaman ini sangat menarik untuk dibaca karena dihalaman pertamanya tertulis “Bahagialah Orang Yang Banyak Membaca”
Buku Dasar Negara Republik Indonesia berisikan pendapat pribadi tidak kurang dari 100 orang anggota konstituante yang berbicara tentang dasar negara pada sidang konstituante pada 11 November hingga 6 Desember 1957. Saking sengitnya, kritik terkadang dilancarkan bukan pada gagasan, tetapi pribadi.
Persoalan tentang dasar negara tertumpu kepada yang telah dirumuskan oleh Komisi I dari Panitia Persiapan Konstituante, yaitu mengerucut pada tiga pilihan;
1. Negara Republik Indonesia Berdasarkan Sosial Ekonomi;
2. Negara Republik Indonesia Berdasarkan Islam; dan
3. Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila.
Negara Republik Indonesia Berdasarkan Sosial Ekonomi di dukung oleh Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) dan Partai Buruh.
Negara Republik Indonesia Berdasarkan Islam didukung oleh Partai Madjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa partai lainnya seperti Partai Politik Tharikat Islam (PPTI), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis) yang mencoba bersikukuh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Masyumi dan NU merupakan dua kekuatan besar yang kukuh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. M. Natsir, juru bicara anggota Masyumi mengingatkan pada pendukung Pancasila agar bisa menerima Islam. Kata Natsir, penerimaan terhadap Islam akan membuat pendukung Pancasila tetap menjadi seorang yang beragama, bahkan mendapatkan “state philosophy yang berjiwa, berisi tegas dan mengandung kekuatan.” Lima sila tak akan gugur jika seseorang menerima Islam sebagai dasar negara.
Tak hanya kepada pendukung Pancasila, Natsir juga mengalamatkan pentingnya Islam sebagai dasar negara kepada pendukung Sosialisme. Kata Natsir, dalam Islam, mereka akan bertemu dengan konsep sosial ekonomi yang progresif. Negara yang berdasarkan ajaran Islam inilah yang oleh Natsir disebut sebagai “theistic democracy.”
Kiyai Haji Muhammad Isa Anshary dari Masyumi menyebutkan bila dasar Negara Indonesia adalah Islam Negara akan aman dan sentosa karena Islam tidak memisahkan antara Agama dan Negara. Sebagaimana Islam memperkatakan tentang tuhan dan Ke Tuhanan, menetapkan ke-Esaan itu.
Kiyai Haji Muhammad Isa Anshary dalam pidatonya menyerukan Kepada umat Kristen di Indonesia, baik Khatholik atau Protestan “Kami kaum muslimin menyampaikan dengan tulus, agar kita bekerjasama membina kemanusian di dunia dan di Indonesia. Seperti yang pernah diteladankan oleh sejarah yang baik dari kedua Agama ini.
Krisis semesta yang menimpa hidup dan kehidupan kemanusian di dunia sekarang adalah, kegoncangan hidup kerohanian karena adanya filsafat materialisme dan atheisme yang juga langsung mengancam kehidupan manusia Indonesia. Untuk itu kita perlu bekerja sama agar paham materialistik dan atheisme, filsafat yang menyesatkan itu tidak berkembang di Indonesia.
Usaha untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah menjalankan agama dengan kuat dan sungguh-sungguh untuk memerangi paham materialisme dan atheisme yang secara histori adalah paham Marxisme-Komunisme yang ditegakkan di atas pandangan hidup yang sesat itu, maka bangsa Indonesia akan tetap berada di tepi jurang keruntuhan kemanusian. Dengan filosofi tersebut, kaum komunis seluruh dunia memandang umat manusia dan kehidupan ini dari lapangan yang dangkal dan ringan, hendak membentuk dan menyusun dunia menurut cetakan akal dan kebendaan semata “ terangnya
R.M.Ali Mansyur dari fraksi Nahdlatul Ulama (NU) turut menyampaikan gagasannya. “Fraksi NU, menghendaki Dasar Islam sebagai dasar Negara adalah untuk menjamin kebahagian umat dan rakyat seluruhnya, bukan untuk mencari lawan dengan agama lain atau paham dan Ideologi lain. Menyatakan perseorangan, berumah tangga dan berkaum, bersuku, bermasyarakat dan bernegara, baru bisa terjamin kesempurnaannya apabila seluruhnya diatur dan disusun menurut unsur-unsur Islam. Sebab Islam yang dapat menyelamatkan dunia ini. Dasar dasar lain adalah merupakan dasar yang kabur tidak tegas dan tidak dapat menjamin kebahagian masyarakat.” Ujarnya
Titik temu antara Islam dan Panca Sila dijelaskan dalam lima point. Islam dan Pancasila sama-sama menghendaki negara yang makmur, pemerintahan demokratis, anti kapitalisme, kehidupan yang disusun atas dasar kekeluargaan serta menghendaki agar kehidupan rumah tangga bangsa kita memiliki akhlak yang tinggi.
Haji Mansur Dt. Nagari Basa dari Fraksi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) karena tingal lagi yang terbanyak dua pilihan yaitu: Islam dan Pancasila sebagai dasar Negara maka dia mengajak umat Kristen dan Khatolik untuk mendukung Islam sebagai Dasar Negara. Karena telah menjadi pengetahuan umum, bahwa Islam dan Kristen itu tidak banyak bedanya, Islam mempunyai Tuhan, sedang Kristen begitu pula. Islam menetang “Atheisme” sedang Kristen pun begitu; Islam mempunyau Quran, sedang Kristen mempunyai Bibel: Islam mengkakui Kesucian Nabi Isa, sedangkan Kristen Begitu Pula.“ Ujarnya
Ditambahkannya “Marilah kita balik sejarah pendirian Panca Sila. Ketika Panitia Perumus akan merumuskan Dasar Negara dan Konstitusi Negara Indonesia yang merdeka, pada bulan Juni 1945, maka lahirlah apa yang dinamakan “ Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945, yang beris kata-kata “ ke Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”. Tetapi entah dimana sebabnya, ketika dilahirkan Undang-undang dasar sehari sesudah Proklamas 17 Agustus 1945, maka kata-kata“ ke Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” sudah hilang begitu saja.
***
Pada pemilu 1955, PKI mendapatkan suara, lebih kurang 16%, baik untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat maupun Konstituante. Mereka mendapatkan kursi 39 kursi DPR dan mengirim 80 anggotanya menjadi anggota Konstituante. PKI menghendaki agar dasar negara tetap Pancasila. Wikana, KH. Dasuki Siradj, bergiliran mewakili partai berlambang palu arit untuk menyampaikan ide dan gagasan politik mereka.
Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), adalah dua partai besar yang berkeinginan agar dasar negara tetap Pancasila dan didukukng oleh Partai kecil. Namun tidak Jelas Panca Sila dalam rumusan yang mana bahkan Partai Komunis Indonesia ingin menukar sila pertama dari Pansasila dengan “Kemerdekaan Beragama”
Wikana menyampaikan pidatonya pada Rabu 27 Nopember 1957. Menyatakan “Bahwa Dasar Negara kita Panca Sila ini terdiri dari pokok pokok Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, Prikemanusian dan Keadilan Sosial.
Wikana yang memiliki peran penting dalam proklamasi kemerdekaan itu menepis anggapan sebagian anggota yang lain perihal keinginan PKI yang mencoba memasukan unsur kebebasan beragama. Ia menyampaikan kalau klausul tersebut sama sekali tidak dimaksud dengan anti agama. “PKI tidak akan mengusulkan adanya ketentuan kebebasan melakukan propaganda anti-agama. Ini bukan siasat, dalam arti ngapusi dalam bahasa Djawanya, akan tetapi karena PKI tahu apa artinya agama dalam masyarakat dan keadaan Indonesia ini,” kata Wikana menjawab keraguan Kiyai Haji Muhammad Isa Anshary dari Masyumi.
"Indonesia," lanjut Wikana, "bukan Uni Soviet .Tidak usah ada kekuatiran PKI akan meniru negara itu. Di Cina sekarang ini di dengungkan semboyan dan dilaksanakannya: Biarlah berbagai bunga berkembang, Dan ketika kepada para pemimpin komunis di Cina di ajukan pertanyaan “Apakah pelaksanaan semboyan itu tidak akan membahayakan perkembangan Komunisme?” Jawabannya ialah:” Kami kaum komunis yakin akan kebenaran komunisme dan kebenaran tidak akan terkalahkan. Dengan berkembangnya berbagai bunga itu, manusia akan dapat menyaksikan kebenaran yang cocok buar umat manusia”. Terang Wikana.
KH. Achmad Dasuki Siradj mulai mengkritik Masyumi yang menurutnya sangat lunak terhadap kelompok Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII). “Masjumi yang katanya tunduk pada ajaran Islam, kepada para anggotanya tidak mengusulkan demikian (melawan DI/TII), melainkan mengusulkan kepada pemerintah akan pengampunan terhadap DI/TII,” terang politisi asal Solo tersebut
Kemudian KH. Achmad Dasuki Siradj mengkritik pribadi Mr.M.Nasir tokoh Masyumi ”Apa gunanya Saudara Ketua, apabila petunjuk Quran dikemukakan sebagai petunjuk yang baik dengan contoh yang baik pula, tetapi yang mengemukakan itu tidak suka melakukannya. Bukan saja tidak suka melaksanaknnya Saudara Ketua, tetapi bahkan apa yang diperbuat mereka bertentangan diameteral dengan apa yang dikemukankannya. Saya sangat bergembira dan berterimakasih kepada Saudara M.Natsir yang telah mengemukakan alasan alasanya dengan mengunakan ayat Al Quran. Sebab, hal demikian itu bagi bagi Madjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tidak lain kecuali pernyataan yang berarti penelanjangan diri. Sudah jelas kiranya untuk dipahami, apabila Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak dapat menerima Islam untuk dijadikan Dasar Negara Itu“ ujarnya
Terakhir KH. Achmad Dasuki Siradj mengucapkan terimakasih kepada H.Moh.Thaha dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) kawan sekampungnya di Solo “Saya sampaikan terimakasih atas ajakan Saudara untuk saya kembali kepada Islam. Tetapi Saudara H.Moh.Thoha sendiri tahu bahwa saya sendiri belum pernah pergi dari Islam. Maka saya yang telah 33 tahun berpolitik di PKI hanya disitulah tempat mengamalkan hukum Allah dalam arti politik, bukan ditempat yang lainnya” imbuhnya
Dekret Presiden
Kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota Konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956, tetapi pada kenyataannya hingga tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Ir. Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45.
Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak, pemungutan suara ini harus diulang karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum.
Kuorum adalah jumlah minimum anggota yang harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, pada tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (masa perhentian sidang parlemen; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang kemudian ternyata untuk selama-lamanya.
Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), mengeluarkan peraturan No.Prt/Peperpu/040/1959 yang berisi larangan melakukan kegiatan-kegiatan politik. Pada tanggal 16 Juni 1959, Ketua Umum PNI Suwirjo mengirimkan surat kepada Presiden agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Akhirnya demi keselamatan negara berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah dekret yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekret ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD '45.
*****
Catatan
Tulisan di atas merujuk pada beberapa pendapat anggota Konstituante yang terhimpun dalam buku Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid II. Dalam buku tersebut bagaimana pandangan Islam, partai Politik dan pada Lampirannya kita bisa baca bagaimana program komunisme di Indonesia yang sampa saat ini kita perdebatan.
Jika sahabatku yang hobby sejarah dan mempunyai buku Djilid I mohon bisa kita saling berbagi fotocopynya. Begitu juga jika ada yang menyimpan naskas Risalah Sidang Konstituante tahun 1957 Jilid, I sd VI.
Ohya bagi pencinta sejarah yang menginginan foto copy buku ini untuk memperkaya informasi Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Boleh akan saya bantu mencopynya dengan mengirmkan ongkos foto Copy dan jilid dan ongkos kirimnya @Rp.200.000 dalam Sumatera @Rp.250.000,- di luar pulau Sumatera. Buku tebal 500 halaman.
“BAHAGIALAH ORANG YANG BANYAK MEMBACA”
Saiful Guci- 20 Juni 2020.