Gambar Ilustrasi: https://www.laduni.id |
Metroislam.id – “Saya tak takut Corona, hanya
takut Allah”. Kalimat ini kelihatannya benar dan menggambarkan keimanan
mereka yang tinggi, tapi sebenarnya “sarat akan paham Jabariyyah” dalam
kajian Aqidah. Lalu bagaimana dengan keimanan Baginda Nabi yang
mengatakan “Larilah engkau dari lepra sebagaimana larinya engkau dari
singa” (HR. Bukhari). Apakah mereka [yang mengeluarkan pernyataan tidak takut Corona tersebut] lebih tinggi keimanannya dari
keimanan Baginda Nabi?
“Tak mungkin Allah turunkan wabah kepada orang-orang shalih”. Kalimat
ini tampak seperti benar, tapi ada kerancuan. Kalau diyakini bahwa
wabah hanya akan mengenai orang kafir/ahli maksiat, lalu bagaimana
dengan Sahabat mulia Muadz bin Jabal yang wafat karena wabah penyakit
saat itu?[1] Apakah keimanan beliau lebih rendah dari keimanan mereka yang
mengatakan kalimat di atas?
“Tapi mesjid ini adalah rumah Allah, tak mungkin Allah turunkan wabah
di rumah-Nya, maka fatwa para ulama itu keliru”. Ini pun tampak manis
didengar, tapi bagaimana dengan sabda Baginda: “Janganlah kalian
mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat.” (HR. al-Bukhari).
Hadits ini bersifat umum, di semua tempat.
“Tapi tampaknya di wilayah kita aman-aman saja”, semoga kalimat ini
benar sesuai fakta. Tapi ahli virus mengatakan bahwa Corona adalah wabah
dengan sifatnya yang mudah tersebar dengan inkubasi yang cukup panjang,
sehingga orang yang terpapar baru akan ketahuan setelah 14 hari-an.
Fenomena kalimat- kalimat di atas merupakan bentuk bagaimana otoritas
keilmuan tak lagi dihargai, baik ilmu agama maupun sains, dan ironisnya
hal itu dilakukan dengan “bungkusan agama”. Padahal Allah berfirman:
“Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila engkau tak mengetahui.."
Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa pemahaman agama yang kuat.
Mesir, Saudi Arabia, Kuwait, diantara negara-negara yang lebih dahulu
mengeluarkan fatwa berkaitan dengan ibadah Jumat selama Wabah Corona
berlangsung. Mereka berfatwa dengan ilmu, ratusan hadits mereka hafal.
Tak perlu ditanya mengenai hafalan Quran mereka, jangankan ulama, disana
orang “biasa” hafal Quran bukan hal “luar biasa”. Para ulama sangat
paham bagaimana “himayatun nafs” yang merupakan salah satu “maqashid”
syariah. Malu kita kalau membandingkan ilmu kita dengan mereka. Jangankan 30
juz, juz 30 saja mungkin kita tak hafal. Jangankan hafal ratusan
hadits, hadit “innamal a’malu binniyyat … ” saja mungkin kita tak hafal.
Begitu juga dengan para ulama di MUI yang tak diragukan keilmuannya.
Atau masih ada yang mengatakan “kita tidak mengikuti ulama, tapi kita
mengikuti Quran dan Sunnah”. Kalimat ini pun sangat manis, tapi apakah
para ulama itu tidak mengikuti Quran dan Sunnah?. Siapa yang lebih paham
dengan Quran dan Sunnah? kita ataukah para ulama itu yang jelas sanad
keilmuannya?
Para ulama berfatwa berlandaskan pada pengetahuan mendalam mereka
terhadap agama setelah mendengarkan ahli virus corona. Maka merendahkan
fatwa mereka dapat dimaknai penegasian terhadap otoritas keilmuan agama
dan sains sekaligus.
Perlu diingat, Baginda Nabi pernah bertutur:
إذا وسد الأمر الی غیر اهله فانتظر الساعة
Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, nantikanlah kebinasaan yang akan datang. (shahib Khairi)
_______________________________
Disalin dari laman https://metroislam.id
Pada tanggal 18 Maret 2020
_______________________________
Catatan kaki oleh Agam van Minangkabau:
[1] Mu'adz bin Jabal meninggal karena terkana wabah Tha'un di Syam. Dimana kisah Khalifah Umar yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk memasuki Syam setelah mendapat saran dari beberapa sahabat menjadi viral pada masa corona menyebar ini.