Ilustri Gambar: https://thedailybreakingnews.com |
AIR MATAKU MENETES PAGI INI
Imam B Prasodjo
Pagi ini, seorang dokter senior mengirimkan berita duka pada saya sambil melampirkan foto wajah seseorang yang tersenyum
sambil menyilangkan tangan di dadanya. Kalimat pendek tertulis di bawah
fotonya: "Innalillahi wainna ilaihi rojiun." (Sesungguhnya kami adalah
milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.").
Orang muda berwajah tampan yang tampak sehat dalam foto itu, rupanya
seorang dokter, neurolog, baru berumur 34 tahun. Pada Sabtu 21 Maret
2020 kemarin, ia dikabarkan meninggal dunia karena terinfeksi virus
Corona. Namanya pendek saja: Hadio [Hadio Ali Khazatsin]. Sebelum meninggal dunia, ia bekerja
sehari-hari di Rumah Sakit Premier Bintaro.
Saya kembali
mengamati foto yang mengabadikan senyuman orang muda itu. Tak terasa air
mata saya menetes membasahi kedua kelopak mata. "Dokter semuda ini
harus meninggalkan kita?" Saya berbisik dalam hati. Saya pun terbayang
wajah anak lelaki saya yang juga tahun ini persis berumur 34 tahun.
Kemudian, saya juga terbayang tangisan kedua orang tua dokter Hadio yang
tentu saat ini tengah bersedih begitu dalam.
Ooohh... Saya tak
kuat ikut membayangkan luka dan duka mereka. Buah hati, tumpuan harapan
dan kebanggan yang selama ini tertanam dalam dada keluarga dokter Hadio,
tiba-tiba hilang. Dokter Hadio kemarin pergi selamanya, tak hanya
meninggalkan keluarganya, tetapi juga meninggalkan kita semua.
Wabah virus Corona yang selama ini telah menjadi bahan berita dunia tak
henti-henti di layar kaca, kini ternyata berada di sekitar kita. Korban
demi korban berjatuhan dan diberitakan, ibarat nomor-nomor undian yang
diumumkan tak berkesudahan.
Dalam keadaan seperti ini, entah
mengapa tiba-tiba ingatan saya kembali ke masa awal ketika Indonesia
pertama kali digemparkan berita adanya warga Indonesia terindikasi
terinfeksi virus Corona. Reaksi yang hingga kini terus mengiang di
telinga adalah ucapan seorang pejabat negeri yang berkata bahwa:
"Tak
perlu takut dan paranoid hadapi Corona,"
"Virus Corona penyakit yang
bisa sembuh sendiri,"
"Dipteri saja kita tidak takut, apalagi Corona."
Rupanya virus Corona terus bergerak dan membuktikan siapa yang berkata
penuh kepalsuan.
Di tengah air mata yang kini jatuh mengalir di
pipi, saya kembali menatapi foto dokter Hadio yang terus tersenyum
ramah, menebar kedamaian. Sungguh, bagi saya, senyuman itu seperti
tengah menjawab semua lontaran kata-kata pejabat itu. Dokter Hadio
seakan berpesan pada kita semua bahwa virus Corona (Corvid-19)
jelas-jelas tak boleh diremehkan. Daya tularnya luar biasa ganas dan
begitu cepat bergerak menyerang siapa saja.
Dokter Hadio yang
tentu sangat memahami keganasan virus, tetapi menjadi terpaksa menjadi
korban karena ia tak ketat terlindungi saat berhadap dengan para pasien
yang ia coba berikan pertolongan.
Apa pesan tersirat yang ingin
disampaikan Dokter Hadio? Kita semua harus berhati-hati dan harus
memperkuat perlindungan diri. Perkuat daya tahan tubuh. Selalu bersihkan
telapak tangan. Kenakan masker untuk melindung diri dari percikan batuk
dan bersin dan jaga jarak agar tak terpapar. Jangan dengarkan
suara-suara yang meremehkan virus ini. Siapapun mereka, tak perduli
pejabat atau orang biasa!
Saat saya menulis catatan ini, saya
mendengar kabar bahwa kemarin juga ada dua dokter lagi yang meninggal
dunia karena terjangkit virus Corona. Namanya dokter Adi Mirsa Putra
asal Bekasi dan dokter Djoko Judodjoko asal Bogor. Seminggu sebelumnya,
seorang perawat berusia 37 tahun asal Bekasi juga meninggal dunia karena
terjangkit virus ini. Putra-putri terbaik
negeri ini yang kini berada di medan terdepan dalam perang melawan
virus Corona mulai berguguran. Berapa lagi jumlah yang harus gugur untuk
membuat kita sadar bahwa mereka memerlukan bantuan kita?
Semua
kejadian ini jelas harus membangkitkan kita agar kita bergerak lebih
aktif secara bersama-sama, membantu para dokter, perawat, dan bahkan
petugas kebersihan di rumah sakit untuk mendapat perlindungan
sebaik-baiknya. Alat pelindung diri (APD) yang kini masih jarang
tersedia, harus segera diadakan.
Coba lihat! Sebagai pembanding,
para tim medis di luar negeri saat menangani pasien Covid-19, mereka
semua terlindungi dengan berpakaian Hazmat (Hazedhazarous Materials
Suit). Pakaian ini dibuat khusus agar tak tembus percikan apapun yang
berpotensi terkontaminasi virus Corona. Mereka juga mendapat prioritas
utama untuk mendapatkan masker, sepatu, sarung tangan dan kelengkapan
pelindung diri lain dengan standar WHO. Karena itu, walaupun mereka
harus bekerja menghadapi tantangan penuh resiko siang-malam, namun
perasaan mereka lebih tenang. Mereka yakin dengan alat perlindungan diri
yang baik, mereka tidak mudah tertular. Bagaimana dengan para dokter
dan perawat kita? Lihatlah sendiri!
Dalam situasi kritis semacam
ini, saya tidak ingin terpancing untuk berdebat dan saling menyalahkan
berkepanjangan. Para pejabat dan petugas pemerintah yang
bertanggung-jawab mengurus urusan ini pasti sudah memahami. Apalagi,
sudah banyak pihak, termasuk Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Daeng M Faqih, yang mengingatkan bahwa para pejuang di garis terdepan
ini harus mendapatkan prioritas memperoleh Alat Perlindungan Diri (ADP)
yang cukup. Apalagi, Menteri Kesehatan kita yang paling
bertanggung-jawab dalam urusan ini adalah seorang dokter militer, yang
tentu sangat memahami bahwa alat perlindungan diri sangat penting dalam
menjalankan tugas di medan pertempuran. Bayangkan, apa jadinya bila ada
seorang prajurit TNI yang bertempur di garis terdepan medan perang tak
dilengkapi rompi dan topi anti peluru?
Karena itu, daripada
energi kita habis untuk memaki, mari kita salurkan energi kita untuk
membantu para dokter kita, para perawat dan para petugas kebersihan
rumah sakit yang saat ini tengah mengahadapi situasi rentan. Mari kita
sempatkan waktu untuk mengamati keadaan para pejuang kita yang kini
tengah bekerja di rumah sakit dan klinik di sekitar rumah kita. Lihatlah
keadaan mereka. Apakah cukup memadai kelengkapan dasar yang harusnya
mereka miliki? Mari kita saweran semampu kita untuk membelikan alat
perlindungan diri bila ternyata mereka belum memiliki.
Pemerintah yang diamanahi menggunakan uang pajak kita secara cepat dan
tepat guna, pasti akan bergerak sigap kalau kita juga sigap. Fokuskan
tujuan gerakan kita untuk menyelamatkan para pejuang yang kini
siang-malam tengah bekerja untuk melindungi kita, menjaga dan
menyelamatkan yang sakit. Peran mereka sangat vital. Jangan biarkan
mereka mati di tengah pasien-pasien yang sedang membutuhkan pertolongan.
Perjuangan masih panjang.
Dokter Hadio, dokter Adi Marsa Putra,
dokter Djoko Judodjoko, para perawat dan petugas kebersihan rumah sakit
serta tenaga medis lain yang telah gugur di medan perang, terimakasih
atas darma bakti yang telah anda berikan. Terimakasih atas perjuangan
anda untuk kami semua.
Kami tak mampu memberi penghargaan dalam
upacara apapun. Kami juga tak mampu memberi plakat sebagai tanda jasa
yang terukir dalam tinta emas dan logo kebesaran. Tapi ketahuilah, kami
selalu berdoa setulus hati kami untuk anda semua. Memang hanya doa
itulah yang bisa kami panjatkan. Semoga anda di alam baka mendapat
ketenangan dan kedamaian abadi. Terimakasih pahlawan!
________________________________
Disalin dari kiriman facebook Komarudin Deka
Pada hari Ahad 22 Maret 2020
Pada hari Ahad 22 Maret 2020
Baca Juga: