Gambar: https://historia.id/ekonomi |
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arif Poyuono. Dilansir suara.com, Arif mengajak masyarakat tidak membayar pajak sebagai bentuk penolakan terhadap pemilihan presiden 2019.
Dalam sejarah, aksi menolak
bayar pajak pernah terjadi di Sumatra Barat. Pada 1908, rakyat Minang
menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menaikkan pajak.
Sekitar seribu orang terlibat. Kebanyakan dari mereka luka berat, namun
tak sedikit yang meninggal dunia.
“Yang menjadi sebab
pemberontakan itu ialah peraturan yang diadakan oleh pemerintah Hindia
Belanda, yang mewajibkan rakyat Minangkabau membayar pajak langsung,”
kata Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Mula Peristiwa
Pada Oktober 1888, pemerintah
Hindia Belanda mendapat panggilan dari pemerintah pusat di Den Haag.
Mereka dimintai pertanggungjawaban atas penurunan budidaya kopi di
wilayah Sumatra. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa pemerintah akan
mengganti pajak pertanian dan menerapkan pajak perorangan kepada seluruh
rakyat Minang. Itu dilakukan untuk menutupi kerugian akibat kualitas
kopi dari Sumatra yang menurun dan pemasukkan dari cultuurstelsel (tanam paksa) yang terlampau kecil.
Untuk menghindari konflik,
Gubernur Sumatra Barat W.J.M. Michielsen menerapkan peraturan baru itu
secara perlahan. Mulanya diadakan jajak pendapat untuk mendengar
penilaian rakyat akan pajak perorangan yang bakal diberlakukan.
“Praktis para wakil (rakyat)
itu menolak membayar pajak karena ekonomi yang berat. Kalau toh ada yang
tidak menentang, ini lebih disebabkan karena takut pada para penghulu
kepala (baca: Belanda),” tulis Rusli Amran dalam Pemberontakan Pajak 1908.
Michielsen berusaha
menjelaskan alasan pemerintah mengambil kebijakan itu. Namun rakyat
tidak mendengarnya karena takut pajak itu akan memberatkan hidupnya.
Pendekatan pemerintah yang tadinya berjalan damai berubah menjadi panas.
Malah di beberapa tempat terjadi aksi anarkis yang membuat geram
pemerintah.
Gubernur tetap memberlakukan pajak perorangan. Dia memerintahkan tentara bersiaga manakala terjadi pemberontakan.
Pada 1897, rakyat mulai
bergerak menyebarkan berita perlawanan. Melalui para tokoh kharismatik,
mereka berusaha mengumpulkan kekuatan dari berbagai daerah. Menurut
laporan Residen Prins dalam “Surat Rahasia” No. 67 tahun 1897, salah
satu tokoh yang merencanakan perlawanan adalah Tuanku Padangganting.
Tuanku Padangganting merupakan
bekas murid Tuanku Syekh Nuruddin dari Tilatang, yang dikenal sebagai
ulama Kotolaweh. Tuanku Padangganting menyiapkan sekitar 600 orang Aceh
di bawah pimpinan Teuku Husin. Dia berencana membuat kekacauan di
Padangpanjang dan Padang pada 1 Agustus 1897.
Baca juga: KTP dan Pajak Anjing
Rencana itu digagalkan setelah
guru Tuanku Padangganting, Yunus Tuanku Sutan, membocorkannya.
Pemerintah menangkap Tuanku Padangganting dan beberapa tokoh lainnya.
Setelah peristiwa itu,
Michielsen menerima instruksi dari Menteri Jajahan Negeri Belanda:
“jangan dulu menjalankan pajak langsung berupa uang sebagai pengganti
sistem kerja paksa kopi!” Belanda khawatir timbul perlawanan
rakyat Minang saat mereka sedang memusatkan kekuatannya di Aceh.
Puncak Perlawanan
Sejak pemberontakan pertama
digagalkan, ketegangan di Sumatra Barat terus meningkat. Pemerintah
semakin memperketat penjagaan di sejumlah tempat, terutama Kamang, Agam,
Tilatang, dan Banuampu.
Namun, rakyat Minang semakin
gencar merencanakan penyerangan. Pedagang asal Pahambatan (Agam), Angku
Haji Saidi Mangkuto, menjadi tokoh penting dalam gerakan pemberontakan
kedua. Dia beberapa kali menginisiasi rapat sembunyi para penghulu
andiko (tokoh masyarakat) di Agam. Keyakinkan rakyat untuk menolak pajak
pun semakin besar.
Namun, seorang penghulu
membocorkan informasi rapat sembunyi itu kepada pemerintah. Pada 22
Maret 1908, pemerintah menangkap para penghulu andiko. Tindakan itu
memancing emosi rakyat Minang. Sekitar 3.000 penduduk turun ke jalan.
“Di mana-mana beduk ditabuh memanggil penduduk berkumpul, ramai-ramai
unjuk rasa ke Bukittinggi,” tulis Rusli.
Baca juga: Sriwijaya Genjot Pajak
Mereka mendatangi kantor
kontrolir menuntut pembebasan penghulu andiko sekaligus menegaskan
penolakan membayar pajak. Untuk meredam kemarahan massa, pejabat
setempat berjanji membebaskan para penghulu andiko pada 26 Maret 1908.
Namun, saat hari yang dijanjikan tiba, para penghulu andiko malah dibawa
ke penjara di Padang.
Rakyat yang geram kembali
unjuk rasa di Bukittinggi. Pemerintah menurunkan tentara bersenjata
lengkap yang diizinkan bertindak keras. Akibatnya banyak rakyat terluka.
Keadaan serupa terjadi di
Laras Kamang. Daerah paling utara kecamatan Agam itu menjadi yang
terdepan dalam menolak pajak. Tokoh Kamang, Kari Mudo, paling vokal
menyuarakan penolakan. Dia mengajak rakyat agar tak mengeluarkan sepeser
pun untuk pajak.
Pada 20 April 1908, pejabat
pemerintah datang ke Kamang untuk memberi tahu rencana pemungutan pajak
perorangan. Namun, pejabat daerah Kamang yang prorakyat dianggap
mempermalukan pemerintah. Bahkan pidato Kari Mudo, yang kemudian mati,
telah menghina pemerintah.
Baca juga: Protes Pajak Penulis di Masa Lalu
Merasa di atas angin, Kari
Mudo mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat khususnya ulama untuk
menghadapi Belanda. Termasuk Haji Abdul Manan, ulama terkemuka di
Bukittinggi. Selama Mei-Juni, dia berhasil mengumpulkan massa yang
sangat banyak dari berbagai daerah.
“Haji Abdul Manan memberikan
pidato terakhir sebelum konfrontasi lawan Belanda. Dia minta semua
jangan ragu-ragu mati sahid,” tulis Rusli.
Pada 16 Juni 1908, pemerintah
mengeluarkan perintah menyerang Kamang. Tindakan itu diambil setelah
mata-mata melaporkan bahwa penduduk Kamang telah menyusun rencana
pemberontakan.
Baca juga: Jejak Pengampunan Pajak
Sebanyak tiga pasukan,
masing-masing 50 tentara, dikerahkan dari Bukittinggi. Dari laporan
kontrolir tanggal 25 Juni 1908 No. 1012/8, diketahui bahwa Kamang
berubah menjadi medan pertempuran yang besar. Sekitar seribu orang
penduduk bersenjata tajam menyerang tentara. Jumlah korban di pihak
penduduk lebih dari 200 orang. Sementara korban tewas di pihak Belanda
hanya sembilan orang.
Namun sumber lain, 70 Tahun Perang Kamang Manggopoh: Peringatan Perlawanan Rakyat Indonesia di Minangkabau, menyebut tentara Belanda yang tewas tidak kurang dari 425 orang.
__________________________________
Disalin dari: https://historia.id