Emeraldy: Gaya Balai Masuk Surau dan Kampus
“Tidak akan ada seorang niniak mamak bercarut-carut meskipun dia sedang di pasar,”
bakaba.co
| Dalam masyarakat berkebudayaan Minangkabau ada dua gaya atau langgam
bahasa komunikasi utama: Gaya atau langgam surau dan langgam balai.
Kedua gaya ini berbeda.
Komunikasi
gaya balai atau pasar bersifat bebas, langsung, tidak berbasa-basi.
Sementara langgam surau penuh tata-krama, sopan-santun, tidak langsung
pada maksud.
“Sekarang,
dengan terjadinya infiltrasi gaya balai, pola komunikasi orang Minang
juga berubah. Langgam balai makin meluas, tidak hanya dipakai di pasar.
Tetapi sudah masuk ke kantor pemerintah, ke mesjid, juga ke kampus.”
Demikian disampaikan Dr. Emeraldy Chatra, M.I.Kom, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP Unand, dalam dialog dengan YouTubers Arif Permana.
Langgam
surau kata Emeraldy, juga disebut langgam niniak-mamak, sarat dengan
aturan main. Sarat tata-krama. Kadang harus memakai perumpamaan.
Berkias-kias. Tidak tembak langsung. Apalagi, di saat mengatakan sesuatu
yang akan membuat orang tersinggung. Maka diperlukan gaya berputar dan
cenderung melereng-lereng. Sangat hati-hati. Takut orang tersinggung.
Diksi atau kata-kata dipilih yang sebaik-baiknya.
“Sekarang,
generasi milenial banyak yang tidak paham dengan gaya atau langgam
surau ini. Padahal ini kearifan lokal, sebenarnya, luar biasa dalam
konteks harga menghargai, hormat menghormati orang lain,” kata Emeraldy.
Sementara
langgam balai blak-blakan, cendrung tidak banyak aturan. Lugas.
Langsung. Pilihan kata juga bebas. Mulai dari kata yang sopan sampai
kata sangat buruk misalnya caruik. Lalu, dalam berbicara dengan seseorang, belum selesai orang berbicara sudah dipotong. Kadang dengan cimeeh.
“Gaya
berkomunikasi balai ini biasa ditemukan di pasar. Ada orang yang
disebut preman balai, itu lebih kasar lagi bahasanya. Sudahlah preman,
balai lagi, carut-marut bahasanya,” kata Emeraldy.
Saling Bersaing
Di masyarakat Minang, dua model langgam ini penting karena saling bersaing. Dulu, langgam surau atau langgam niniak-mamak yang mendominasi. Anak-anak diajari berbahasa yang sopan, bahasa yang sangat memperhatikan perasaan orang. Bagaimana saat berkata-kata orang tidak tersinggung. Ucapan maafnya banyak, bahkan sebelum berkata sudah minta maaf.
“Sekarang,
langgam surau sudah berkurang dipakai. Kini, yang mendominasi gaya
orang berkomunikasi di Sumatera Barat, cenderung memakai langgam balai.
Gaya pasar,” ujar Emeraldy.
Jika kita lihat dari sisi kebudayaan, langgam niniak-mamak itu sangat spesifik. Spesifik Minang. Dia seperti tidak berkawan.
Sebaliknya,
langgam balai punya kawan. Balai itu seperti punya jaringan, di
mana-mana ada. Di Sumbar ada balai, di Jambi, di mana-mana ada balai.
Suasana kebatinan balai itu sama saja di mana-mana bahkan di Amerika,
dan Eropa. Jadi, semacam sudah berbentuk sistem bahasa komunikasinya
sendiri.
Kondisi
itu yang kemudian masuk ke Sumatera Barat. Dan tidak hanya di pasar,
langgam balai sudah masuk ke kantor-kantor pemerintah. Masuk ke
perguruan tinggi. Bahkan masuk ke surau, mesjid.
“Jangan
heran, jika bertemu pejabat yang bahasanya kasar. Jangan heran ada
dosen kasar, berbicara dengan langgam balai. Ada yang lucu, seorang
niniak mamak memakai langgam balai, bahasanya kasar,” kata Emeraldy
sambil tertawa.
Identitas
Gaya bahasa dalam masyarakat Minang, itu menunjukkan identitas. Orang surau, orang pengajian, atau orang adat meskipun berada di pasar, tidak akan meninggalkan begitu saja langgam bahasanya. Dalam rapat di pasar misalnya, dia paham mangango dulu sabalun mengecek.
“Tidak akan ada seorang niniak mamak bercarut-carut meskipun dia sedang di pasar,” kata Emeraldy.
Jika
orang balai ke surau dia juga akan hati-hati, tidak sebebas di pasar.
Spektrum bahasa balai mulai dari yang baik sampai yang kasar, ada.
Lebih
jauh Emeraldy mengatakan, dua macam langgam komunikasi itu membawa pola
pikir dan kultur sendiri. Langgam balai, langgam surau, itu diwariskan
alam terhadap kebudayaan Minangkabau. ABS-SBK itu sangat dekat dengan
budaya Islam. Kearifan lokalnya ada pada adat itu sendiri.
Instrumen Budaya
Apa yang terjadi jika langgam balai yang mendominasi di Minangkabau? Menurut Emeraldy, mindset manusianya akan ikut gaya balai. Di mana mereka tidak peduli dengan nilai-nilai, dengan nilai kultural, mereka menginginkan kebebasan, ingin serba cepat menyampaikan sesuatu. Karakter balai itu akan terkoneksi secara global. Di sini, melalui bahasa balai ini pintu masuk paham-paham dari luar yang tidak terbendung. Karena dia punya perangkat untuk menyampaikan pesan-pesan itu ke pikiran orang.
Meski
begitu, pola komunikasi balai tetap perlu karena kita berada dalam
sistem global. Ada pasar global, pasar bebas. Sekarang yang
diperdagangkan tidak hanya barang. Tetapi juga pikiran, ideologi. Semua
yang diperdagangkan itu sangat mudah masuknya melalui pasar. Kultur
misalnya, dia masuk dulu ke pasar, setelah itu baru masuk ke pikiran
orang.
Dalam
pandangan Emeraldy, instrumen atau alat untuk menyampaikan nilai-nilai
budaya Minangkabau ke generasi muda adalah gaya komunikasi surau itu.
Jika langgam surau tidak ada maka alat untuk mentranfers kearifan lokal
Minangkabau jadi hilang, habis. Kebudayaan Minangkabau tidak bisa
diwariskan dengan bahasa pasar apalagi langgam sembarangan.
Hadang Budaya Global
Dunia yang kita hadapi sekarang, Emeraldy mengingatkan, sangat tidak bersahabat dengan budaya lokal. Budaya global punya kecenderungan yang sangat kuat untuk menghabisi budaya budaya lokal. Misi budaya global itu banyak dihalangi oleh budaya lokal. Satu contoh, untuk mengambil tanah orang Minang itu sulit sekali. Para investor mau investasi tapi mereka maunya tanah mereka beli.
“Orang
Minang tak mau jual tanah. Secara kultural tanah adat tidak boleh
dijual. Ini satu contoh, bagaimana budaya lokal bisa menghalangi
ekspansi kebudayaan global,” kata Emeraldy.
Kita
tahu kebudayaan global itu kebudayaan yang pragmatis, hedonistik. Bagi
semua halal saja. Semua diukur dengan uang. Uang dalam budaya global
derajatnya sama dengan Tuhan.
Kalau
kita mau merdeka, artinya tidak terjajah, sebagai sebuah bangsa maka
gaya komunikasi surau atau langgam niniak-mamak harus direvitalisasi.
“Bukannya
dibiarkan hilang tapi diperkuat dan diajarkan kembali kepada generasi
yang muda. Jika mereka tidak mengerti ya harus diajar untuk mengerti,”
ujar Emeraldy.(*)
________________________________
disalin dari bakaba.co
diterbitkan pada Selasa 15 Oktober 2019