Terkait Pasar Ateh, Asraferi Sabri Tulis Surat Terbuka untuk Presiden RI
BUKITTINGGI – Warga Agam Asraferi Sabri menyampaikan surat terbuka kepada Presiden RI terkait persoalan Pasar Ateh, Bukittinggi. Dalam suratnya, Asraferi menyampaikan keresahan niniak
mamak pemangku adat dari 40 nagari yang ada di Luhak Agam (Kabupaten
Agam, Sumbar sekarang) karena dugaan tindakan sepihak Pemerintah Kota
Bukittinggi menguasai lahan eks. Pusat Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi,
seluas 1,8 haktare. Cara menguasai lahan tersebut dengan meminta Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bukittinggi menerbitkan Sertifikat tanah
atas nama Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi. Padahal lahan/tanah
tersebut bukan milik pemerintah. Tanah tersebut adalah lahan/tanah Hak
Ulayat Adat bersama/serikat 40 Nagari di Agam, Sumatera Barat sesuai
Undang Adat Minangkabau.
Berikut Suratnya:
Surat Terbuka
untuk Presiden Republik Indonesia
Luhak Agam, 15 April 2018
Kepada Yth.:
Bapak Presiden Republik Indonesia
Ir. Joko Widodo
di Jakarta
Dengan hormat
Assalamualaikum wr.wb
Bapak Presiden, harapan dan doa kami kiranya Bapak
selalu sehat dan dilindungi Yang Maha Pelindung dalam memimpin Republik
ini. Amin.
Bapak Presiden, Senin pagi, 30 Oktober 2017 lalu,
Pusat Pertokoan Pasar Atas, Bukittinggi, Sumatera Barat terbakar.
Musibah itu membuat 673 orang pedagang pemilik toko tidak bisa lagi
berusaha.
Perhatian dari pemerintah pusat untuk segeranya
Pusat Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi dibangun sangat menggembirakan
sehingga perekonomian masyarakat bisa segera bangkit. Home-Industry dan
UKM/UMKM bisa berproduksi kembali.
Bapak Presiden, kami membuat surat ini karena adanya
keresahan Niniak Mamak Pemangku Adat dari 40 Nagari yang ada di Luhak
Agam (Kabupaten Agam, Sumbar sekarang).[1] Masalahnya adalah, sekarang
Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi tanpa bermusyawarah melakukan
tindakan sepihak menguasai lahan eks. Pusat Pertokoan Pasar Atas
Bukittinggi, seluas 1,8 haktare. Cara menguasai lahan tersebut dengan
meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bukittinggi menerbitkan
Sertifikat tanah atas nama Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi. Padahal
lahan/tanah tersebut bukan milik pemerintah. Tanah tersebut adalah
lahan/tanah Hak Ulayat Adat bersama/serikat 40 Nagari di Agam, Sumatera
Barat sesuai Undang Adat Minangkabau.
Niniak Mamak Pemangku Adat dari 40 Nagari Agam telah
menyampaikan dua pucuk surat yakni berupa pemberitahuan dan berupa
keberatan kepada BPN Bukittinggi, yang ditembuskan juga kepada Kepala
BPN Provinsi Sumatera Barat dan Menteri Agraria/BPN R.I. Tetapi surat
keberatan Niniak Mamak Pemangku Adat dari 40 Nagari, yang mengingatkan
dan keberatan tanah tersebut dikeluarkan Sertifikat-nya dalam bentuk
apapun untuk Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi, tidak diindahkan oleh
BPN. BPN tetap mengeluarkan Sertifikat untuk Pemerintah Daerah Kota
Bukittinggi.
Surat pertama: Nomor: 001/Agam Tuo/XII-2017,
bertanggal 27 Desember 2017 berupa pemberitahuan kepada BPN bahwa tanah
eks. Pertokoan Pasar Atas yang terbakar tersebut adalah Tanah Hak Ulayat
40 Nagari Agam. Atas surat pemberitahuan itu, BPN Bukittinggi membalas
dengan surat No; 104/13-.13.75/II/2018, bertanggal 23 Februari 2018. BPN meminta
Niniak Mamak Pemangku Adat 40 Nagari Agam menjelaskan alasan keberatan.
Melalui surat kedua: Nomor: 3/Agam Tuo/III-2018, bertanggal 10 Maret
2018, Niniak Mamak Pemangku Adat 40 Nagari Agam memaparkan sejarah dan
kronologi Tanah Hak Ulayat 40 Nagari Agam dimaksud, sebagaimana kami
paparkan di bawah ini:
Lahan Pasar Atas Eks. Pusat Pertokoan Pasar Atas
Bukittinggi yang terbakar 30 Oktober 2017, yang terletak di Kelurahan
Aua Tajungkang Tangah Sawah (ATTS), Kecamatan Guguak Panjang Bukittinggi
tersebut berada di bawah Hak Ulayat Adat secara kolektif sebagai
lahan/tanah milik bersama Serikat 40 Nagari Luhak Agam.
Dalam adat Minangkabau, harta adat termasuk dalam
bagian hak asal usul atau hak tradisional nagari, yang diakui dan
dihormati UUD 1945. Pada pasal 18B ayat 2 UUD 1945 (amandemen 4), yang
berbunyi;
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Kesatuan masyarakat hukum adat Minangkabau sampai
saat ini tetap hidup. Di mana Adat Minangkabau memiliki aturan, dan
ketetapan berkaitan kehidupan bermasyarakat. Semuanya diatur dengan
Undang Adat Minangkabau, yang sifatnya permanen dan turun-temurun. Salah
satu ketentuan berkaitan dengan harta berlandaskan Hukum Adat yang
ketetapannya diatur dalam Undang Adat Minangkabau, baik berupa harta
kolektif, harta pusaka bersama, aktivitas kolektif (bersama) masyarakat
adat, yang dapat diterang-jelaskan sebagai berikut:
PERTAMA: Pada tahun 1403 M atau 804 H, niniak mamak
Minangkabau inti (Minangkabau al-Bittah) yakni Luhak Tanah Data, Luhak
Agam dan Luhak 50 Koto[2] (dikenal dengan Luhak nan Tigo) bermusyawarah dan
melahirkan kesepakatan kolektif tentang Undang Adat Minangkabau. Dalam
kesepakatan itu juga ditetapkan falsafah Minangkabau: ‘Adat Basandi
Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah’ yang dikenal dengan Sumpah Satie
Marapalam.
KEDUA: Pengaturan dan kesepakatan tentang
perekonomian juga ditetapkan dalam Sumpah Satie Marapalam sebagai
menyempurnakan aktivitas ekonomi masyarakat dalam bentuk PAKAN (Pasa
atau Pasar, tempat bertemunya penjual dengan pembeli barang atau
transaksi jual-beli) di Minangkabau. Keberadaan atau pembangunan PAKAN
atau Pasar diatur secara adat karena ditetapkan melalui musyawarah
niniak-mamak pemangku adat.[3]
Niniak Mamak di Luhak Agam, juga di Minangkabau,
bermusyawarah menyepakati untuk membuat Pakan, Pasa atau Pasar di
nagari-nagari. Begitu juga di Luhak Agam. Sampai sekarang, penamaan nama
Pakan dan nama Nagari banyak yang identik, misalnya Pakan Sinayan,
Pakan Silasa, Pakan Raba’a, Pakan Kamih, Pakan Akaik. Nama Pakan memakai
nama hari, di mana pada hari tersebut pedagang menggelar dagangan. Ada
juga Pakan (Pasar) yang tidak mamakai nama hari seperti Pakan Kurai di
Gurun Panjang di Nagari Kurai; Pakan Ladang di Nagari Ampang Gadang;
Pakan Biaro di Nagari Biaro.
Selain menetapkan Pakan (Pasa, Pasar) di nagari,
niniak mamak dari beberapa nagari juga bermusyawarah dan bersepakat
mendirikan Pasar Serikat secara bersama beberapa nagari. Di Luhak Agam,
Pasa Baso merupakan Pasar Serikat beberapa nagari di Baso, Pasa Lasi
(bernama Pakan Silasa, Lasi) adalah Pasa Serikat beberapa Nagari di
Canduang, Pasa Padang Lua adalah Pasar Serikat beberapa nagari di
Banuhampu dan pakan lainnya.
Pasar Serikat milik nagari-nagari yang lebih besar
juga didirikan di Padang Panjang (Luhak Tanah Datar) berdasarkan
musyawarah masyarakat diwaliki niniak mamak X Koto dan Batipuah. Juga
ada Pasar Serikat milik bersama nagari-nagari di Payakumbuh (Luhak 50
Koto), didirikan Pasar Serikat oleh Niniak Mamak Koto nan Ampek, dan
Koto nan Gadang. Di Luhak Agam, niniak mamak pemangku adat 40 Nagari di
Agam, melalui musyawarah bersepakat mendirikan Pasar Serikat milik
nagari-nagari berlokasinya di Nagari Kurai yang merupakan salah satu
nagari di antara 40 Nagari di Agam Tuo. Berdasarkan kesepakatan niniak
mamak di Minangkabau, Pasar Serikat diatur dalam ‘Syarikat Haq Ummat’.
Pasar Nagari, Pasar Serikat beberapa nagari, dan
Pasar Serikat banyak nagari (dalam cakupan Luhak) di Minangkabau secara
langsung sebagai sarana ekonomi masyarakat. Manfaat lain Pasar adalah
sebagai sumber pendapatan untuk pembangunan nagari, yang berasal dari
penghasilan pasar yang dibagi ke nagari-nagari yang berserikat.
KETIGA: Salah satu dari beberapa bukit di Nagari
Kurai yakni ‘Bukit Kubangan Kabau’ dibangun jadi pasar secara
bersama-sama oleh 40 Nagari di Luhak Agam. Nagari Kurai Limo Jorong
adalah salah satu dari 40 Nagari yang berada di Luhak Agam.
Kegiatan ‘manaruko’ (yakni bergotong-royong membuka
lahan secara bersama-sama) dimulai pada pertengahan abad ke-18. Lahan
yang dijadikan Pasar Serikat 40 Nagari Agam, sesuai undang adat
Minangkabau: ‘setiap jengkal tanah di Minang’ ada yang punya.
Tidak hanya lokasi untuk pasar dibuka, dibenahi,
juga dibangun/dibuat berbagai ruas jalan besar untuk akses (jalan)
menuju pasar di Bukik Kubangan Kabau dengan cara bergotong-royong
masyarakat dari 40 Nagari Agam.
Jalur jalan ke arah Pasar Serikat 40 Nagari
dibuka/dibangun dari/ke arah Timur sehingga terbuka akses ke kawasan
nagari-nagari Ampek Angkek, dari/ke Utara ke kawasan nagari-nagari
Kamang, Tilatang Kamang, Magek, dari\ke Barat melalui Ngarai Sianok ke
kawasan nagari-nagari Sianok, Koto Gadang, Ampek Koto dan sekitarnya
serta ke Selatan ke kawasan nagari Sungaipua, dan ke arah Padang.
Pasar Serikat 40 Nagari [di] Luhak Agam yang terletak di
Nagari Kurai (Pasar Atas Bukittinggi sekarang) dibangun bersama-sama
oleh Nagari-Nagari yang ada di Luhak Agam, yakni:
1. Nagari Biaro,
2.
Nagari Balai Gurah,
3. Nagari Lambah,
4. Nagari Panampuang,
5. Nagari
Kurai,
6. Nagari Canduang Koto Laweh,
7. Nagari Sariak,
8. Nagari
Sungai Pua,
9. Nagari Batagak,
10. Nagari Batu Palano,
11. Nagari Padang Laweh,
12. Nagari Sianok,
13. Nagari Koto Gadang,
14. Nagari Guguak,
15. Nagari Tabek Sarojo,
16. Nagari Kamang,
17. Nagari Magek,
18. Nagari
Simarasok,
19. Nagari Tabek Panjang,
20. Nagari Padang Tarok,
21.
Nagari Koto Tinggi,
22. Nagari Kapau,
23. Nagari Gaduik,
24. Nagari Koto Tangah,
25. Nagari Kubang Putiah,
26. Nagari Ladang Laweh,
27. Nagari
Cingkariang,
28. Nagari Taluak IV Suku,
29. Nagari Padang Lua,
30. Nagari
Pakan Sinayan,
31. Nagari Ampang Gadang,
32. Nagari Batutaba,
33.
Nagari Pasia,
34. Nagari Lasi,
35. Nagari Bukik Batabuah,
36. Nagari
Koto Tuo,
37. Nagari Koto Panjang,
38. Nagari Balingka,
39. Nagari
Malalak,
40. Nagari Sungai Landia.
KEEMPAT: Pasar Serikat 40 Nagari Agam yang dibangun
di Nagari Kurai dan kawasan sekitarnya, sudah ada jauh sebelum
Bukittinggi menjadi kota. Artinya ketika itu masih berupa Nagari yakni
Nagari Kurai. Juga sudah ada sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.
Jika ditarik ke belakang, Kolonial Belanda baru
masuk menjajah ke Luhak Agam sekitar tahun 1823. Kolonial Belanda
menjadikan Nagari Kurai (kota Bukittinggi sekarang) sebagai basis dan
membangun Benteng Fort de Kock, sebagai barak tentara Belanda tahun
1825.
Keberadaan Pasar Serikat 40 Nagari Agam dengan
berbagai sarana dan fasilitas yang sederhana berada di Bukik Kubangan
Kabau, Nagari Kurai, dikelola dengan membentuk Komite Pasar yang
mewakili 40 Nagari yang berserikat. Sebelum memasuki abad ke-19, Pasar
Serikat Agam tersebut sudah ramai sebagai sentral perdagangan hasil bumi
di daratan tinggi pedalaman Minangkabau.
Pada tahun 1784, tepatnya 22 Desember 1784, di Pasar
Serikat tersebut berlangsung suatu musyawarah Niniak Mamak 40 Nagari
Agam. Musyawarah memutuskan mengganti nama lokasi pasar dari ‘Bukik
Kubangan Kabau’ menjadi ‘Bukik nan Tatinggi’. Peristiwa itu dijadikan
landasan historis oleh pemerintah (kota) sebagai titik bersejarah
lahirnya nama Bukittinggi (dari bahasa Minang ‘Bukik nan Tatinggi’).
Tanggal 22 Desember 1784 sebagai hari lahir Bukittinggi ditetapkan
dengan Surat Keputusan walikota Kepala Daerah Kota Bukittinggi No.
188.45-177-1988 tanggal 17 Desember 1988.
KELIMA: Hasil Pasar Serikat Agam yang terletak di
Nagari Kurai itu, setiap tahun dibagi kepada 40 Nagari di Luhak Agam
yang berserikat. Untuk mengurus Pasar Serikat, niniak mamak mewakili 40
Nagari di Agam membentuk Pengurus Pasar, yang berkantor di sebelah
Mesjid Raya Bukittinggi sekarang, terdapat bangunan kantor Pengurus
Pasar Serikat Bukittinggi, di sebelahnya kantor Pasanggrahan Angku
Palo/Wali Nagari dan pernah menjadi Kantor Walikota Administratif
Bukittinggi setelah merdeka (Kantor KPU Bukittinggi sekarang, di depan
Bioskop Gloria, tempat parkir motor saat ini).
Kantor Pengurus Pasar berdampingan dengan bangunan
Pasanggrahan Angku Palo atau Wali Nagari. Bangunan Pasanggrahan disebut
karena para Wali Nagari Agam Tuo yang datang ke Bukittinggi, singgah dan
sering menginap untuk istirahat. Di dekat kantor itu ada jenjang
sebagai akses jalan dari Kampung Cina ke Pasar Atas, diberi nama Janjang
Pasanggrahan.
Pasar Serikat 40 Nagari Luhak Agam di Nagari Kurai,
Bukittinggi, niniak mamak Luhak Agam ketika dibangun juga diberi tanda
alam atau simbol atau penanda. Selain Janjang Pasanggrahan, Pasanggrahan
Wali Nagari/Angku Palo, simbol/tanda yang dibuat adalah membangun
jenjang yang diberi nama Janjang 40 yang menandakan 40 Nagari Agam.
Selain itu juga simbol berupa harimau yang dibuat
dari semen berupa patung harimau, yang ditempatkan di setiap gerbang
dan/atau jenjang; ada patung harimau ditempatkan di gerbang depan Jam
Gadang, Janjang 40, Janjang Gudang dan di depan Pasar Ateh. Jumlah
patung harimau itu berjumlah 8 (delapan) sebagai tanda delapan tokoh
terkenal pejuang Agam Tuo yang dikenal dengan ‘Harimau nan Salapan’.
Ingatan kolektif masyarakat Agam yang tidak bisa dihapus begitu saja
adalah ‘Bukittinggi Koto Rang Agam’, yang menyiratkan dan menyatakan
kondisi ibarat ‘kuku dan daging’.
KEENAM: Kolonial Belanda yang masuk ke Luhak Agam
sekitar tahun 1823, lalu tahun 1827 Belanda membangun barak dan benteng
di Nagari Kurai, di salah satu bukit yang sekarang dikenal dengan
Benteng Fort de Kock. Setelah perang Paderi usai tahun 1843, Belanda
yang menjajah ranah Minangkabau mulai mengatur-ngatur kehidupan orang
banyak.
Antara tahun 1890-1900, Pasar Serikat Luhak Agam (di
Bukittinggi sekarang) dibangun beberapa los (los adalah bangunan besar
tanpa sekat) yang dikenal dengan nama Los Maninjau karena los tersebut
dominan orang Maninjau berdagang, Los Galuang (karena bentuknya
ber-gelung), los Ampek Angkek karena banyaknya orang Ampek Angkek
berdagang pakaian. Selain sarana prasarana ditambah, jalan diperbaiki.
Pasar ditambah dan dikembangkan sejalan kebutuhan dan peningkatan
ekonomi. Dibuat Pasa Teleng, Pasa Bawah, Pasa Taranak, Pasa Burung.
Semua pembangunan itu dilakukan saat pemerintah
Belanda berkuasa. Tetapi pembangunan tetap dilakukan di bawah organisasi
Komite Pasar Sarikat 40 Nagari Agam, dengan biaya dari organisasi pasar
yang disebut dengan nama Pasar Fonds. Juga ada dana yang dipinjam dari
perusahaan atau maskapai keuangan swasta Belanda yakni Nederland Indishe
Escompto Bank.
Pembangunan Pasar Serikat Agam di Bukittinggi itu
disebut dalam buku-buku, seakan-akan dibangun oleh Belanda di bawah
Controleur Westenenk antara tahun 1901-1908. Belanda waktu itu berkuasa,
memerintah, membuat aturan dan masyarakat akan ikut aturan atau
ketentuan. Begitu juga Pengurus Pasar Serikat membangun Pasar Atas
Bukittinggi dan Pasar-Pasar lainnya mengikuti aturan Belanda sebagai
pemerintah yang punya aturan tata-kota dan perizinan.
Controleur Westenenk berada di Fort de Kock
(Bukittinggi sekarang) antara tahun 1901-1908 adalah pejabat pengawas
pemerintah Belanda, sama dengan inspektorat atau pejabat inspeksi yang
mengawasi masyarakat ketika membangun. Ketika Pasar Serikat 40 Nagari
dibangun, memakai tenaga masyarakat dari 40 Nagari Agam, dipakai dana
pinjaman dari perusahaan swasta Belanda, semuanya diawasi Westenenk
sebagai aparat kolonial Belanda.
KETUJUH: Pasar Serikat 40 Nagari Agam di
Bukittinggi, sejak dibangun tahun 1784, kemudian Belanda mulai masuk ke
Bukittinggi tahun 1823 dan berkuasa sampai tahun 1942, Belanda tidak
pernah menguasai Pasar Serikat Bukittinggi secara total. Belanda jika
bersikap menguasai akan mendapat perlawanan dari masyarakat Minangkabau,
Luhak Agam termasuk basis utama perlawanan terhadap Belanda. Perang
dengan Belanda dilakukan masyarakat Agam, yang dicatat sejarah yakni
Perang Paderi dalam tiga periode. Periode satu (1803-1821) Perang Tuak
di mana kaum ulama memerangi beredarnya tuak, minuman keras di
tengah-tengah masyarakat, dikenal dengan gerakan ‘pemurnian Islam di
Minangkabau’ . Periode kedua (1821-1838) perang melawan Belanda, di mana
masyarakat Minang bersatu memerangi Belanda. Periode ketiga: Puncak
perang orang Minangkabau dengan Belanda antara 1838-1843 yang dikenal
dengan Perang Batipuah. Juga terjadi Perang Kamang atau Perang Belasting
dan Perang Mangopoh dikenal sebagai perang pajak melawan Belanda
(1908).
Pasar Serikat 40 Nagari Agam di Bukittinggi pada
zaman Belanda, tetap diurus oleh Pengurus Pasar di mana mereka ditunjuk
melalui musyawarah niniak mamak 40 Nagari Agam. Belanda yang berkuasa
sebagai pemerintah waktu itu hanya membuat aturan-aturan. Belanda bahkan
tidak bisa melakukan pungutan atau pajak kepada masyarakat, termasuk
kepada pedagang di Pasar Serikat Pasa Atas Bukittinggi dan pasar-pasar
lain.
Pada tahun 1914, Belanda dengan niniak mamak
Minangkabau mencapai kesepakatan. Kesepakatan itu adalah Belanda
mengakui perberlakuan Undang atau Aturan/Hukum Adat Minangkabau di
nagari-nagari. Atas pengakuan Belanda itu, niniak mamak di Minangkabau,
termasuk di Luhak Agam baru membolehkan pemerintah Belanda memungut
pajak di Pasar Serikat Agam di Bukittinggi tersebut.
DELAPAN: Sejak awal Pasar Serikat dibangun, tahun
1784, pengurus Pasar Serikat 40 Nagari tetap ada. Bahkan sejak tahun
1914 ketika Belanda mulai mengurus pajak di pasar, Pengurus Pasar
Serikat menerima pembagian dari hasil pajak Pasar Serikat yang diurus
aparat Belanda.
Hasil dari Pasar Serikat Pasar Serikat (Pasar Atas
Bukittinggi) dan pasar lainnya di Bukittinggi dibagi oleh Pengurus Pasar
kepada 40 Nagari di Agam. Bagi nagari-nagari, pembagian hasil Pasar
Serikat Bukittinggi tersebut digunakan untuk memperbaiki sarana dan
prasarana untuk keperluan masyarakat.
Setelah Belanda kalah (tahun 1942), Jepang berkuasa
dari tahun 1942-1945, Pasar Serikat Agam di Bukittinggi diurus kembali
oleh Pengurus Pasar Serikat tanpa campur tangan Jepang.
SEMBILAN: Pada masa awal kemerdekaan RI, di bawah
pemerintah Republik, sampai tahun 1960, nagari-nagari di Agam masih
mendapat pembagian dari hasil Pasar Serikat Agam yang ada di Bukittinggi
tersebut. Setelah itu, sejak 1961, tidak ada lagi pembagian hasil Pasar
Sarikat karena kondisi yakni: 1. Terjadinya Agresi Belanda tahun
1949-1951 di mana Pemerintah dalam keadaan Darurat (PDRI), 2. Meletusnya
PRRI (20 Desember 1958 – 29 Mei 1961), 3. Meletusnya G-30-S tahun 1965,
4. Perubahan Orde Lama ke Orde Baru, 1966, 5. Keluarnya UU No. 5 tahun
1979 tentang Desa, yang menetapnya sistem pemerintahan terbawah adalah
Desa sehingga Nagari tidak ada lagi di Minangkabau, termasuk di Luhak
Agam. Kondisi itu berlangsung sampai tahun 2002
Bapak Presiden yang kami hormati
Pada tahun 1972 Pasar Serikat Tradisional di Pasar
Atas Bukittinggi terbakar besar-besaran yang membuat bangunan, los-los
utama yang dibangun sejak zaman sebelum dan saat Belanda berkuasa yang
mencirikan Pasar Serikat 40 Nagari hilang. Setelah terbakar, Pasar Atas
Bukittinggi dibangun kembali dengan dana pinjaman BNI 46. Selama dua
tahun pembangunan, tahun 1974 sudah bisa ditempati pedagang. Setiap
pedagang membayar Rp4 juta ke BNI 46, ada yang membayar tunai dan ada
yang mencicil selama 5 tahun. Para padagang pemilik toko, sampai tahun
1989 tidak dikenakan pajak atau retribusi oleh pemerintah kota karena
dana pembangunannya tidak berasal dari dana Pemerintah Daerah Kota
Bukittinggi.
Tahun 1995, pusat pertokoan Pasar Atas Bukittinggi
tersebut kembali terbakar meski tidak terlalu parah. Kemudian tahun 1997
kembali terbakar, lebih parah sehingga direhabilitasi berat. Melalui
Kanwil PU Sumatera Barat turun dana Rp6 miliar untuk membantu pedagang
pemilik toko untuk merehabilitasi Pasar Atas Bukittinggi. Tahun 1999
Pasar Atas Bukittinggi bisa kembali beroperasi. Tidak ada dana
rehabilitasi bersumber dari dana APBD Kota Bukittinggi.
Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
baru melakukan pemungutan retribusi kepada pedagang pemilik toko Pasar
Atas Bukittinggi dengan dasar hukum Perda Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Retribusi Pelayanan Pasar.
Musibah kebakaran kembali terjadi 30 Oktober 2017.
Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi merencanakan Pasar Atas Bukittinggi
dibangun baru. Dana pembangunan bersumber dari APBN tahun 2018. Besar
dana APBN melalui Kementerian PU sekitar Rp342 miliar.
Bapak Presiden yang terhormat
Kerisauan Niniak Mamak Pemangku Adat di Agam,
Sumatera Barat berkaitan dengan beralihnya hak kepemilikan Tanah Milik
Adat bersama 40 Nagari di Agam kepada Pemerintah Daerah Kota
Bukittinggi.
Kami sampaikan kepada Bapak Presiden, bahwa:
1. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota
Bukittinggi menginformasikan bahwa Sertifikat Tanah Eks. Pasar Atas
Bukittinggi yang terbakar itu telah diterbitkan BPN dengan bentuk
Sertifikat Hak Pakai kepada Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
berdasarkan pengajuan yang dilakukan Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
kepada BPN Bukittinggi.
2. Kepala BPN Bukittinggi maupun BPN Sumatera Barat
tidak menjadikan surat peringatan dan keberatan dari Niniak Mamak
Pemangku Adat 40 Nagari Agam sebagai pertimbangan penting untuk tidak
mengeluarkan Sertifikat Hak Pakai kepada Pemerintah Daerah Kota
Bukittinggi karena tanah tersebut bukan tanah milik pemerintah. Selama
ini telah 25 orang Walikota Bukittinggi (definitif, dan Plt.) berganti
tidak pernah men-Sertifikat-kan tanah Pasar Atas tersebut karena tahu
bahwa tanah tersebut adalah Tanah Hak Ulayat Adat Bersama 40 Nagari
Agam.
3. Sertifikat Hak Pakai yang diberikan kepada
Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi dijadikan syarat untuk mendapatkan
dana pembangunan yang bersumber dari APBN, secara total telah
menghilangkan hak kepemilikan tanah Ulayat Hak Adat 40 Nagari Agam.
Bapak Presiden yang kami muliakan
Kami mengetahui betapa Bapak memiliki perhatian
besar terhadap hak-hak adat dan tanah ulayat adat di negeri ini.
Sebagaimana pernyataan Bapak saat penyerahan SK Hutan Ulayat Adat kepada
9 Masyarakat Hukum Adat, Jumat, 30 Desember 2016 di Istana Negara, kami
kutip dari setkab.go.id:
“Pengakuan hutan adat, pengakuan hak tradisional masyarakat hukum adat,
berarti adalah pengakuan nilai-nilai asli bangsa Indonesia.”
Dalam program Reformasi di Bidang Agraria, Bapak
sebagai Kepala Negara dan Presiden telah dan akan menargetkan
mengembalikan 12 juta hektare tanah yang selama ini dikuasai negara
yakni berupa hutan ulayat kepada masyarakat adat untuk dimanfaatkan bagi
kepentingan ekonomi masyarakat.
Dari paparan masalah yang kami sampaikan, harapan tertumpang kepada Bapak, untuk:
1. Kiranya Bapak Presiden dapat mengembalikan hak
kepemilikan tanah eks. Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi sebagai Ulayat
Hak Adat kepada masyarakat/niniak mamak Pemangku Adat 40 Nagari Agam
yang berserikat membuka dan membangun Pasar Serikat 40 Nagari Agam di
Bukittinggi sejak abad 17 silam.
2. Kiranya Bapak Presiden menegaskan kepada
Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi agar Pembangunan Pertokoan Pasar Atas
Bukittinggi yang memakai dana APBN dapat direalisasikan dengan
mempertimbangan Hak Masyarakat Adat 40 Nagari Agam sebagai pemilik tanah
di mana pertokoan Pasar Atas Bukittinggi dibangun.
DEMIKIAN semua ini kami sampai melalui surat
terbuka, agar Bapak mengetahui bahwa pasca kebakaran Pasar Atas
Bukittinggi tidak sepenuhnya aman, lancar atau tanpa masalah.
Terimakasih atas perhatian dan kemakluman Bapak Presiden.
Salam hormat
ASRAFERI SABRI
Warga Agam
Alamat; Jl. Simber Raya, Nagari Pasia, Kec. Ampek Angkek, Agam
__________________________________
Disalin dari: https://hariansinggalang.co.id
Diterbitkan pada 19 April 2018
Diterbitkan pada 19 April 2018
_____________________________________
Catatan Kaki:oleh Agam van Minangkabau
[1]
Bedakan antara Luhak dengan Kabupaten, jangan samakan batas wilayah
administratif masa kini dengan Wilayah Kebudayaan. Walau memiliki luas
wilayah yang berbeda namun Kota Bukit Tinggi dan Kabupaten Agam ialah
pemerintahan yang setara dalam administrasi masa kini Pemerintahan
Republik Indonesia. Namun apabila berbicara mengenai Luhak maka Bukit
Tinggi bagian dari Luhak Agam. Sejarah pemerintahan di kedua wilayah ini
semenjak kedatangan Belanda hampir tidak banyak berubah dimana pusat
Pemerintahan Kolonial Belanda untuk Agam Tuo (Agam Timur) yang dibedakan
dengan Agam Baruah (Maninjau, Lubuk Basung, dan sekitarnya). Semenjak
awal Belanda menjadikan Bukit Tinggi sebagai pusat pemerintahan untuk
Agam Tuo hingga sampai akhirnya dimasa Pemerintaha Republik Indonesia
kedua wilayah ini dipisah.
Bagi
generasi tua yang mendapi kehidupan yang menyatu antara Agam dan Bukit
Tinggi mereka masih melihat benang merah yang menghubungkan keduanya
dimana istilah "Bukik Tinggi Koto Rang Agam" menjadi penyalin kesatuan
diantara orang Agam. Namun bagi generasi sekarang yang sudah jauh dari
adat, mereka kurang memahami ikatan antara kedua wilayah tersebut.
[2] Hindari menggunakan angka untuk Luhak Limo Puluah karena masing-masing daerah berbeda pelafadzan. Gunakanlah huruf yakni "Limo Puluah"
[3] Masing-masing daerah di Minangkabau memiliki nama yang berbeda untuk pasar seperti; pakan, balai, atau pasa
[2] Hindari menggunakan angka untuk Luhak Limo Puluah karena masing-masing daerah berbeda pelafadzan. Gunakanlah huruf yakni "Limo Puluah"
[3] Masing-masing daerah di Minangkabau memiliki nama yang berbeda untuk pasar seperti; pakan, balai, atau pasa