*Pasang Surut Kerajaan Champa*
Dalam Kronik Chu-Fan-Chi karya Chou-Ju-Kua yang ditulis pada 1225, Champa disebut Che -Lan, Satu dari lima belas kota utama, bagian dari Kerajaan Melayu Dharmasraya. Ada sekian Banyak Jejak yang berkaitan dengan wilâyah Sumatera, oleh karena itu Champa dikaitkan dengan Kerajaan kerajaan yang ada di Sumatera. Asal usul Harimau Campa sebagai salah satu tokoh dalam Tambo Yang Ikut Serta Rombongan Sultan Maharaja Diraja, kemudian dikaitkan dengan pendirian Kerajaan Inderapura. Selain itu terdapat Kesamaan Sistem kekerabatan matrilineal dan kesamaan Sistem Konfederasi nagari. Selain itu, pengaruh Champa sangat terasa di wilayah Aceh yang konon merupakan akronim dari Arab-Champa-Eropa-Hindustan. Istilah umum Bungong Jeumpa yang populer di Aceh disinyalir berasal dari “Bunga Champa”.
Kerajaan Champa didirikan di Sekitar delta sungai mekong, Vietnam Selatan oleh orang-orang Cham yang memiliki hubungan dengan orang-orang Khmer (Chenla) yang berada di sebelah barat Champa. Selain dengan Sumatera, Selama 1600 tahun sejarahnya juga mendapatkan pengaruh dari Tiongkok. Karena itu, Champa harus mengimbangi kekuatan di antara dua negara tetangganya dalam hal jumlah penduduknya dan pola militer: Đại Việt (Vietnam) di sebelah utara dan Khmer di sebelah barat. Seperti Khmer, kerajaan Champa menggantungkan ekonominya dari perdagangan dan pelayaran.
Keunikan sistem pemerintahan Champa adalah karena Champa terdiri dari persekutuan berbagai kaum yang dikenal majemuk sebagai 'Urang Champa'. Selain orang Cham sendiri, penduduknya juga terdiri dari berbagai etnis dari rumpun lain yang juga terdiri dari rumpun bahasa Austronesia yaitu orang bukit yang terdiri dari suku Chru, Edê, Hroy, Jörai, Rhade (Koho), dan Raglai dan termasuk juga dari rumpun bahasa Austroasiatic seperti orang Dera atau montanagards yang terdiri dari suku Ma, Sré dan Stieng.
Dalam tradisi pemerintahan Champa, hanya raja yang memiliki kekuatan tentara dan kekuasaan politik sebagai 'Raja bagi Raja-raja ( ' Rajatiraja ') Champa '("Raja Para Raja Champa"). Berdasarkan manuskrip-manuskrip yang merupakan berkemungkinan besar setelah kejatuhan Vijayanagara, kekuasaan ini pernah dipegang oleh raja yang beragama Islam. Kerajaan Champa merupakan kerajaan maritim sehingga mahir dalam pelayaran. Pelabuhan Utama Champa adalah Phan Rang dan Nha Trang. Pelabuhan ini merupakan pemasok utama pendapatan kerajaan ini. Quang Nam dijadikan pelabuhan transit perdagangan antar negara di mana kapal dari India, Sumatra, Jawa, dan Cina berlabuh disana.
Meskipun ada raja, yang memerintah Champa secara keseluruhan, ada juga raja-raja kecil seperti Raja Bao Dai, yang menjadi raja untuk kaum etnik yang tertentu. Ini diduga memiliki pengaruh pada orang Batak Toba di Sumatera, yang memiliki raja-raja mereka sendiri, tetapi hanya-mata sebagai raja adat. Dalam mengkaji sejarah Champa mungkin mengkaji sejarah tidak menentukan kedudukan raja pada masing-masing dan masing-masing hal ini telah menimbulkan kekeliruan di sebabkan dalam satu zaman yang sama akan rujukan pada dua atau tiga raja yang berlainan nama.
Pada pertengahan abad ke 8 merupakan waktu yang kritis bagi Champa dan Khmer. Champa terlibat konflik dengan Sriwijaya atas kontrol pada jalur pelayaran di Laut Cina Selatan (dulu laut champa). Champa dan Khmer menghadapi sejumlah serangan dari Sriwijaya dibawah dinasti Sailendra. Kemudian mereka mengakui takluk kepada Sriwijaya. Di akhir Abad ke 8 Champa bersama dengan Sriwijaya menyerang Đại Việt dan beberapa provinsi Tiongkok bagian selatan dan mendapat kemenangan.
Pada awal abad ke 9 Khmer menyatakan memutuskan hubungan dengan Sriwijaya dan berhasil memukul mundur Sriwijaya hingga ke kota Ligor, ibukota Sriwijaya kala itu. Tidak lama setelah itu Sriwijaya memindahkan ibukotanya ke Jawa. Atas hal ini, Champa dibawah Hariwarman I kemudian melakukan penyerangan ke Khmer di bawah pimpinan Jayawarman II, pendiri dinasti Angkor namun dapat dipatahkan Khmer. Saling berbalas serangan tersebut terjadi sampai masa pemerintahan Indrawarman II.
Hubungan dengan Sriwijaya dibawah dinasti Sailendra menjadi erat dan bersahabat selama pemerintahan Jayasimhawarman I. Ia mengirim seorang anggota keluarga dan permaisurinya untuk berziarah ke Jawa dan kembali dengan jabatan tertinggi dengan sebagai raja bawahan. Hal ini menjelaskan hubungan Sriwijaya pada kesenian Champa. Raja-rajanya lebih aktif dari yang sebelumnya dalam perhatiannya pada kehidupan di negeri itu. Mereka bukan hanya membangun tempat-tempat suci baru, tetapi juga memperbaiki bangunan keagamaan yang rusak karena ulah dari para perampok.
Di bawah Indrawarman II (854-893), didirikan ibu kota Indrapura di provinsi Quang Nam. Ia memperbaiki hubungan baik dengan Tiongkok. Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang damai, sebagian besar dengan dirikannya bangunan-bangunan besar Buddha, sebuah tempat suci, yang reruntuhannya terdapat di Dong-duong, di sebelah tenggara Mison. Ini adalah bukti keberadaan pertama Buddha Mahayana di Champa. Indrawarman II menyusun enam dinasti dalam sejarah Champa.
Selama abad 10 terjadi banyak peristiwa penting di Champa. Tahun 907 dinasti T'ang jatuh, orang-orang Annam mengambil peluang itu untuk maju dan mengabil alih kerajaan Đại Việt di tahun 939. Perubahan awal ini hanya menawarkan sedikit pada Champa akan kemudian muncul konflik antara Champa dengan kerajaan baru itu. Champa berusaha memperoleh pengakuan dan perlindungan dari Tiongkok. Pada 988 terjadi pembalasan oleh Champa di bawah raja Vijayottunggawarman (Binh-dinh). Setelah masa damai yang singkat, ia memperbaiki kota Indrapura. Pada saat yang bersamaan dikaitkan dengan keberhasilan Sriwijaya pada 1005 menghalau ancaman dari Jawa yang sempat menduduki kota Palembang (Ku-Kang), ibukoya Sriwijaya kala itu, selama 15 Tahun. Pada 1016, setelah mendapat persetujuan dari Tiongkok, Vijayottunggawarman melakukan pembalasan dengan memimpin armada Sriwijaya menyerbu Jawa (Medang). Setahun kemudian ia diangkat menjadi Maharaja Sriwijaya yang pada saat itu berkedudukan di Kedah.
Pada pertengahan Abad 11, bersamaan dengan keruntuhan Sriwijaya akibat serbuan Rajendra Cola merupakan masa kemunduran Champa. Pada 1030 Đại Việt bersekutu dengan Suryawarman I dari Angkor menyerbu Champa merebut propisinya di utara. Tahun 1044 Đại Việt kembali melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Champa. Ibukota Vijayanagara direbut dan Raja Jayasimhawarman II diturunkan dari tahta. Dinasti VIII, dimulai oleh seorang pemimpin perang yang bergelar Parameswaraman I mulai menghidupkan kembali kerajaannya. Ia menentang pemberontakan di provinsi bagian selatan dan sulit mengembangkan hubungan dengan Đại Việt dan Tiongkok dengan sering-sering mengirim misi diplomatik.
Seorang pangeran bernama Thang mendirikan dinasti IX. Dia mengambil gelar Hariwarman IV dan segera mengembalikan kekuasaannya dengan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh penyerangan dan meningkatkan kesejahteraan negerinya. Kebangkitan Champa sangat cepat, setelah berhasil mengusir Đại Việt dari Champa, selanjutnya menghancurkan Khmer dan membalasnya dengan mengirim pasukan penyerang ke Khmer. Hariwarman IV lebih memilih hubungan yang lebih baik dengan Đại Việt. Karena itu dengan sedikit keraguan kemudian ia bersekutu dengan Tiongkok dan meminta penyerangan terhadap Đại Việt. Ketika gagal, ia bertanggung jawab atas persetujuan Đại Việt dengan mengirimkan tawaran perdamaian dengan memberikan upeti kepada Đại Việt secara teratur karena menilai ancaman dari Khmer lebih nyata. Pada saat itu bagian utara Champa telah berada di bawah kekuasaan Khmer. Namun di bagian selatan Panduranga.
Jaya Hariwarman I, bangkit tahun 1147. Kemudian setelah berhasil keluar dari pasukan Khmer, ia terus menyerang dan memulihkan Vijayanagara dan menyatukan kembali kerajaan. Kesulitan Jaya Hariwarman I belum teratasi, tahun 1155 Panduranga mulai memberontak. Namun ia dapat memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan karena menggunakan sebagian besar barang jarahannya untuk memperbaiki candi dan membangun yang baru. Dia juga mengirim persetujuan ke Tiongkok. Đại Việt diperbarui perjanjian damai dengan membayar upeti secara teratur. Ketika Jaya Hariwarman I mangkat, ia digantikan oleh seorang raja yang cerdik, Jaya Indrawarman IV putera Jaya Hariwarman I. Kemauannya yang lebih besar menggantikan dendam dengan Khmer yang telah diprotes Champa oleh Suryawarman. Akan tetapi penyerangan tersebut gagal.
Setelah melakukan persiapan lama, Jayawarman VII, pendiri Angkor Thom, melancarkan serangan besar-besaran terhadap Champa. Sekali lagi Champa jatuh ke tangan Khmer. Suryawarman memutuskan untuk bersekutu dengan Khmer. Namun Khmer menyerang Champa lagi, dan Champa dikuasai oleh Khmer selama 17 tahun. Karena beberapa alasan yang tidak disebut dalam catatan, pasukan Khmer pulang dan memberikan kendali pemerintahannya secara sukarela. Banyak yang mempertimbangkan alasan pengunduran ini. Kesimpulan oleh Cœdes, adalah tekanan San-fo-tsi (Dharmasraya) yang sebelumnya sudah memiliki persetujuan dengan Tiongkok. Kepada Khmer, San-fo-tsi menuntut atas Champa sebagai bagian dari naungan nya. Namun, runtuhnya dinasti Song di Tiongkok oleh Mongol diduga menjadi penyebab disintegrasi Kerajaan Melayu Dharmasraya pada pertengahan abad ke 13. Hal ini membuatnya kehilangan hampir seluruh pengaruhnya di luar pulau Sumatera. Pada 1281. Kublai Khan mengirim marsekal “Sogatu” untuk melanjutkan ekspedisi Mongol di negeri negeri di selatan diduga menjadi penyebab terhentinya perang antara Đại Việt dan Champa.
Jaya Simhawarman III yang baru naik tahta didesak untuk bersekutu dengan Đại Việt. Tahun 1301 ia menerima kunjungan dari Tran Naon-Ton, yang t mengirimkan puteranya Tran Anh Ton, dan pura-pura mencari kebajikan dengan berziarah keliling tempat suci di negeri tetangganya itu. Ia menjanjikan pada raja Champ salah seorang putrinya untuk dijadikan istri raja Cham. Dalam perkawinan itu, ia terbujuk untuk memberikan dua buah provinsi Cham di utara Col des Nuages sebagai nilai tukar penyerahan puteri Tra Trah-Ton. Kemudian pemerintahannya digantikan oleh putranya Che-Chi, namun putranya kurang berhasil dalam memimpin. Pada 1312, Đại Việt.menyerbu Champa, menurunkan Jaya Simbhawarman IV dari tahtanya dan menggantinya dengan adiknya. Cue Nang. Champa sekarang menjadi provinsi Đại Việt yang ditunjuk sebagai “pangeran pembayar pajak kelas dua”. Namun Che Nang tetap setia kepada Champa dan tidak mau tunduk pada Đại Việt. Ia memberontak dan berusaha mengembalikan dua provinsi yang sebelumnya diambil lawan. Che Anan adalah pendiri dinasti XII merupakan pembuka bagi Cham yang mengambil keuntungan atas berdirinya dinasti Ming di Cina. Dengan memulai serangan yang sukses datas Đại Việt.
Negara yang tetap dalam keadaan teror terus berlanjut hingga tahun 1390, raja Cham terbunuh dalam perang di laut. Kemudian Champa kehilangan provinsi Indrapura (Quang Nam). Tahun 1441, pemerintahan Jaya Simhawarman V berakhir. Pada 1471, Đại Việt dibawah Dinasti Le menaklukan kerajaan Champa. Sekitar 60.000 orang tentara Champa terbunuh, termasuk Raja Champa sementara 60.000 orang ditawan dan dijadikan budak. . Dengan kejatuhan Vijayanagara pada 1471 maka luas wilayah Kerajaan Champa semakin mengecil dan ibu negara Champa beralih jauh ke selatan ke Panduranga.
Semenjak Po Tri sebagai raja Champa kemudian beralih menjadi kerajaan yang baru, maka bermulalah perkembangan Islam dengan besar-besaran di Champa. Bahasa Sanskerta yang selama ini menjadi bahasa rasmi Champa juga tidak digunakan lagi. Semenjak itu Champa berganri corak. Tidak pasti sama dengan Champa terus diperintah oleh raja Islam diperuntukkan bagi sistem pemerintahan yang dijalankan wilayah di wilayah itu. Kemungkinan sebagai raja-raja Islam Champa terjadi pada tiga abad setelah kejatuhan Vijayanagara. Kerajaan Champa diperkecil wilayahnya, yang sekarang dikenal dengan nama Nha Trang. Pada tahun 1720 terjadi serangan baru dari tentara Đại Việt yang menghapuskan kerajaan Champa. Seluruh Bangsa Cham beremigrasi ke Arah barat daya, ke wilayah utara danau Tonle Sap yang sekarang bagian dari Kamboja
Disalin dari kiriman FB: Raff ben Dahl